Chapter 1 Penawaran tak terduga.

1534 Words
"Saya membutuhkan wanita cantik sepertimu untuk dijadikan calon pengantin," ucap seorang lelaki tua yang berdiri tepat dihadapan Clarissa Anastasya. Gadis itu melotot sempurna dengan tangan mengepal menatap berang ke arah lelaki itu. Clarissa telah berkeliling mencari pekerjaan, rehat sejenak di sebuah Cafe menjadi pilihannya. Bagai disambar petir di siang hari, tawaran menjadi pengantin datang dari seorang lelaki yang sudah sangat sepuh bahkan lebih cocok dipanggil seorang Kakek. Abraham Reevand, seorang pebisnis nomor satu yang terkenal dengan karakter tegas dan arogant. Sangat menjaga martabat dan kehormatan keluarga hal itu menjadi prioritas utamanya. "Anda siapa? Datang-datang bicara tentang pernikahan, apakah Anda tidak bisa berkaca!" Clarissa menatapnya kesal. Abraham menyukai sikap galak itu dan mengeluarkan cek dari saku jasnya. "Aku akan memberikan uang berapa pun yang kau minta asal kau mau menjadi bagian dari keluarga Abraham Reevand." Clarissa mengerutkan kening, nama itu tidak asing baginya. Clarissa adalah gadis sederhana. Impiannya yang selalu ingin menjadi seorang model membuatnya selalu menyisihkan uang untuk membeli majalah ternama. Nama Abraham tidak asing terdengar di telinga. "Anda jangan kurang ajar, ya! Apakah saya terlihat seperti wanita matre!" Clarissa tidak tahan lagi, entah mimpi apa dia semalam hingga bertemu dengan lelaki ganjen seperti Abraham. Mimik tak suka jelas terpancar di wajah Clarissa, walau Abraham masih terlihat tampan dan berkarisma. Dia tidak pernah terpikirkan untuk menjadi istri seorang om-om. "Saya tahu kau kesusahan, orang-orangku telah mengawasimu cukup lama. Kau telah mencari pekerjaan beberapa hari belakangan ini. Saya tawarkan uang dan kemewahan, tentu beserta dengan kehormatan dan fasilitas. Kau hanya perlu setuju dengan tawaran saya maka setiap keinginanmu akan menjadi nyata." Cek dengan nominal satu milyar terpampang di depan mata. Clarissa terbelalak, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan kesempatan emas seperti ini. 'Mimpi apa aku semalam,' batinnya. Tertunduk dan melamun, Clarissa kembali ke akal sehatnya. 'Tidak, uang bukanlah segalanya!' batin gadis itu. "A-anda pasti sedang bercanda, uang sebanyak itu. Apakah Anda sedang mempermainkan saya!" Tatapan tajam tak lepas dari sorot mata indah Clarissa. Abraham menjentikkan tangannya, dalam sekejap. Seorang lelaki dengan setelan jas yang sangat rapi. Tinggi dan tanpa ekspresi datang membawa koper di tangannya. Lelaki itu membuka koper dan memperlihatkan uang yang sangat banyak. Clarissa lagi-lagi dibuat melongo. "Saya sangat serius, semua ini akan menjadi milikmu, beserta ceknya. Jika kau mau menerima tawaranku." "Gila!" Clarissa berdecak. Gadis itu menelan salivanya berkali-kali. Clarissa kini melipat kedua tangannya ke d**a menyembunyikan rasa gugup yang melanda hatinya. Abraham terlihat santai dengan kedua bodyguard yang selalu stay menemani. Uang itu sangat banyak bahkan bisa menghidupinya dengan sang kakak yang telah berjuang keras membiayai sekolahnya. Sesaat Clarissa goyah dan berpikir. Dia masih muda, menjadi istri seorang kakek-kakek tak pernah terlintas di kepalanya, Clarissa mundur dan bergidik ngeri. "Maaf, saya tidak mau, silahkan pergi dan bawa uang itu pergi!" Clarissa menolak dengan lantang. Ya, dia masih punya harga diri. Perasaan kakaknya pasti akan hancur jika tahu dia menerima lamaran dari seorang kakek-kakek, plus Clarissa tidak mengenal siapa lelaki itu. Abraham tidak menyerah, dia mengeluarkan kertas dan menulis nomor telepon di sana. Lalu menyerahkannya pada Clarissa. "Ini, simpan saja. Jika kau berubah pikiran, orang-orangku akan datang menjemputmu kapanpun kau bersedia." Abraham berlalu setelah mengatakannya. "Cih." Clarissa membuang pandangan. Abraham sangat percaya jika Clarissa akan menghubunginya suatu saat nanti. Wangi parfum dari lelaki itu menusuk penciuman Clarissa. Cek dan uang tunai hilang dari pandangan, Clarissa menghembuskan napas kasar. "Huh, andai dia seorang Pangeran. Tentu aku tidak akan berpikir dua kali untuk menerima," ucapnya. Clarissa memandang nomor ponsel itu lama. Dia sangat frustasi saat ini. Kakaknya sedang sakit di rumah dan dia tidak punya simpanan uang. Cafe yang tadi menyediakan lowongan pekerjaan tiba-tiba saja mencopot kertas pemberitahuan itu dari pintu kaca. "Apes banget," ucap Clarissa dan meninggalkan tempat itu. Perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan begitu sulit, apalagi ditengah pandemi seperti sekarang. Clarissa berjalan ditengah teriknya panas mentari. Betis gadis itu mulai pegal, lantaran selalu berjalan kaki demi menghemat ongkos. "Jika terus begini, bagaimana bisa membawa Kak Helena ke Dokter." Clarissa Anastasya adalah gadis yatim. Hidup berdua di pinggiran kota bersama kakak perempuannya yang bernama Helena Aurora. Mereka kehilangan kedua orang tuanya saat kecelakaan beberapa tahun silam. Saat itu, Helena sudah tamat sekolah menengah atas sedang Clarissa baru duduk di bangku menengah pertama. Tidak ada warisan atau simpanan uang, mereka hanya memiliki rumah sederhana yang dibangun oleh ayahnya. Hanya berdua dan berjuang untuk tumbuh bersama. ** Hari hampir gelap saat Clarissa tiba di rumah, suara perabotan yang di banting membuat langkah gadis itu kian cepat. suara gaduh terdengar dari dalam membuat gadis itu kaget dan berlari kecil. "Kosongkan rumah ini! Kalian tidak berhak lagi tinggal di sini!" Helena dilempar keluar beserta pakaian yang ikut berhamburan. Tampak beberapa orang lelaki terlihat sangat sangar berjaga di depan pintu. Clarissa yang baru tiba, bingung melihat apa yang terjadi. Helena tersungkur di tanah. "Apa-apaan ini! Kalian siapa?" tanya Clarissa. Gadis itu membantu kakaknya bangkit, Helena sangat lemah karena demam dan asma yang dideritanya. "Ha! Tanya saja pada wanita yang ada disampingmu. Rumah ini telah menjadi milik Bos kami. Helena telah menggadaikannya dan dia telat membayar hampir satu tahun lamanya." Clarissa melotot dengan mulut menganga, gadis itu mendadak lemas, seolah tulang belulangnya lepas dari tubuh. Rumah itu adalah harta mereka satu-satunya. Clarissa tidak ingin percaya apa yang baru saja didengarnya. Netra gadis itu mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin, pergi kalian atau aku akan berteriak!" Clarissa mengancam dengan napas memburu. Bukannya takut, preman-preman itu malah menertawakannya. "Haha haha coba saja jika kau berani. Kau hanya akan membuang tenaga saja, Nona." Clarissa mengepalkan tangan. Pandangannya dan ketua preman itu sedang beradu. "Kak, katakan sesuatu. Mereka berbohong kan? Kakak nggak mungkin menggadaikan rumah kita." Clarissa nyaris putus asa. Airmata kini menganak sungai. Helena berusaha mengatur napasnya. Sangat sulit baginya untuk bicara. "Gembok rumah itu! Jangan sampai mereka memasukinya kembali," titah seorang lelaki yang dianggap Bos. "Baik, Bos." Clarissa bangkit dan menghalangi orang-orang itu. "Tidak! Ini rumah kami, Ayah membuatnya untuk kami. Kalian tidak berhak mengusir kami." Helena sangat sedih melihat Clarissa yang berkeras di depan sana. "Kalau kamu mau rumah ini kembali, bayar dulu hutang-hutang kalian!" Clarissa di tarik dan di dorong keluar. Gadis itu meringis saat lututnya mendarat di tanah. "Kalian kejam!" Helena semakin lemah dan tidak kuat untuk berdiri. "Kami hanya menjalankan tugas, ingat! Tinggalkan rumah ini segera." Bruk Helena terjatuh dengan memegang dadanya, napasnya makin sesak. Dan suhu tubuhnya makin panas. Clarissa yang melihatnya kaget, segera dia menolong sang Kakak yang terbaring di tanah. "Kak, apa kau baik-baik saja?" Clarissa melupakan soal hutang, dia fokus pada kesehatan Helena. Satu-satunya keluarga yang dimiliki sekarang. "Urus, tu. Makanya kalau udah penyakitan jangan ngitang!" Preman itu mencela sebelum berlalu meninggalkan mereka. Clarissa tidak dapat membalas, hatinya diliputi rasa takut yang kian menjadi. "Maaf, Cla. Kakak terpaksa mengambil pinjaman untuk biaya sekolahmu." Helena berusaha menyelesaikan ucapannya. Airmata Clarissa jatuh berlinang, semenjak kehilangan kedua orang tuanya. Helena mengambil peran dan tanggung jawab lebih. Helena selalu bilang jangan memikirkan soal biaya, apapun itu. Biarkan saja dia yang mengurusnya. Tapi, dia tidak pernah menyangka jika sang kakak akan menggadaikan harta mereka Satu-satunya. "Maafkan kakak, Cla." Bibir Helena bergetar, wanita itu kedinginan dengan wajah memucat. Clarissa membayangkan hal yang paling terburuk. Dia tidak mau kehilangan kakaknya. "Kakak bertahan, kita akan ke Rumah Sakit." Clarissa berusaha tegar. Gadis itu mulai panik dan melihat ke sekitar. "Tolong! Siapapun itu tolong kami," teriak Clarissa sekuat tenaga. Tidak ada yang datang, tetangga terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang ingin pusing dengan kehidupan Clarissa dan kakaknya. Clarissa mencari selimut atau pakaian yang bisa membantu menghangatkan tubuh Helena. "Bertahan, Kak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi," ucapnya menangis pilu. "Seseorang, tolong kami!" teriakan gadis itu tak berarti. Tidak ada yang datang membuat Clarissa mengutuk hari itu. "Kenapa tidak ada rasa iba untuk kami, Tuhan." Gadis itu mengeluh, entah kenapa tidak ada yang peduli dengan mereka. Helena berusaha bernapas, sesak membuatnya sangat tersiksa. "Kak aku akan keluar mencari bantuan," ucap Clarissa tiba-tiba. Helena menggeleng dia tidak setuju dan sangat takut akan di tinggalkan. "Aku harus keluar kenjalan raya untuk mendapatkan taksi, Kak. Aku tidak mau terjadi sesuatu kepadamu." Tangan Helena mengenggamnya erat. Clarissa tidak bisa pergi. Di tengah kekalutannya, Clarissa teringat dengan nomor telepon yang ditinggalkan Abraham. "Ya, sebaiknya aku menghubunginya." Dengan cepat, Clarissa merogoh tas dan mengeluarkan ponsel jadul miliknya. Jari-jarinya dengan cepat menekan tombol angka dan menunggu panggilan bersambut. Detik demi detik berjalan terasa sangat lama. [Hallo,] sapa Abraham di ujung sana. Clarissa gemetar, dihadapkan antara dua pilihan. 'Oh Tuhan, inikah akhirnya,' batin Clarissa. Waktu seakan berhenti saat ini. "Uhuk uhuk uhuk." Helena terbatuk menyadarkan gadis itu dari lamunan. [Siapa di sana?] tanya Abraham. Clarissa menarik napas panjang, nyawa kakaknya lebih penting dari segalanya saat ini. Tidak ada uang dan kendaraan, gadis itu gundah, menyerahkan hidup sebagai seorang pengantin membuatnya semakin tersiksa. [Ini saya, tolong kirimkan bantuanmu. Kakak saya sekarat dan saya tidak mau kehilangan dia.] Clarissa meremas celana kain yang dipakainya. Tangisnya luruh tanpa suara. [Apa kau gadis yang ada di Cafe tadi?] Clarissa menyeka air matanya dan mengangguk. [Ya, ini aku. Tolong kirimkan bantuanmu. Kakakku sedang sakit.] [Apa artinya, kau menyetujui tawaranku? Aku tidak akan datang jika ini tidak ada sangkut pautnya dengan obrolan kita.] Clarissa menoleh melihat wajah pucat Helena, bahkan selimut yang di pakainya tidak berpengaruh. Clarissa meyakinkan diri untuk menolong Kakaknya lebih dulu. [Ya, asal kau bisa menyelematkan nyawanya.]

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD