Aku Tak Suka Hidup Ini

1194 Words
Semua anak selalu ingin hidup dengan harapan dan dukungan dari orang tua begitu juga Asa Al Jiddan yang hanya bisa menatap kedua orang tuanya dengan tatapan datar sebab lagi-lagi permintaannya di tolak oleh abahnya. "Aku tidak ingin menjadi tentara abah, aku ingin belajar menjadi dokter! Masa aku tidak boleh ikut les agar nilaiku menjadi lebih baik! Kakak boleh masa Jiddan tidak? Apakah abah tidak ingin nilai Jiddan seperti kakak? Tolong izinkan Jiddan," gumam Jiddan takut. "Kamu ini bicara apa sih, Asa?! Tidak semua les itu membantu menaikkan nilai kamu dan harusnya kamu tau bukan tempat yang menjadi alasan nilai kamu menjadi lebih baik seperti Zubair! Belajarlah dengan giat tanpa harus mengeluh terus!" sahut Rafandri tegas. Mendengar ucapan kepala keluarga itu sontak membuat kakak dari Asa Al Jiddan hanya bisa menatap adiknya iba walaupun mereka bukanlah saudara kandung tetapi tetap saja Zubair menyayangi adiknya dan ia khawatir di masa depan hati adiknya terguncang di sebabkan ucapkan abah mereka. "Abah sepertinya terlalu tegas mendidik Jiddan ya? Bukankah setidaknya abah tak perlu begini karena khawatir jika nantinya Jiddan menjadi anak yang sering pemberontak jika di larang saat ia memiliki keinginan seperti ini? Apakah ke depannya Jiddan akan baik-baik saja? Aku tak tega melihatnya sedih begitu," batin Zubair khawatir. Sayangnya Rafandri bukanlah orang yang mudah menuruti keinginan kedua putranya dan di matanya permintaan Jiddan sangat tak berguna dan akan lebih baik jika putra yang ia harapkan tak perlu melakukan hal tak bermanfaat seperti itu. "Mau dibelajar dibawah pohon sekalipun kalau kamu tekun belajar maka nilai kamu bagus! Sudah belajar saja di rumah! Kamu ini baru 7 tahun, Asa! Jadilah anak yang nurut dan tak perlu melakukan hal yang tak bermanfaat seperti itu ngerti?!" ujar Rafandri serius. Tanpa mengatakan apapun Jiddan memilih pergi dari sana dan berlari ke taman bermain sebab ia sangat kesal karena menurut Jiddan permintaannya bukanlah hal besar lalu kenapa abahnya malah melarang keinginannya. "Masa ikut les di anggap gak berguna sih abah? Memang kenapa dengan umur? Apakah kalau umurku 7 tahun lalu aku tak boleh belajar di tempat yang aku inginkan? Lagipula keinginanku hanya hal kecil bukan masalah! Kenapa di larang abah?!" omel Jiddan kesal. Sesampainya di taman bermain ia melihat seorang kecil seperti lebih kecil dari usianya saat ini membuat Jiddan mengabaikannya sebab ia berpikir paling anak sekecil itu hanya akan menangis saja nantinya. "Loh ada anak kecil lain juga ya? Sepertinya dia lebih kecil di bandingkan aku umurnya? Yaudahlah biarin aja dia mau apa terserah toh aku tak akan mengganggunya karena pasti anak seusia dia cuma akan menangis aja nantinya! Menyebalkan," batin Jiddan datar. Sementara gadis kecil yang ternyata bernama Cahaya Trivia Ashaf itu hanya bisa terdiam saat memandangi kehadiran anak laki-laki yang terlihat sedih entah apa yang terjadi pada anak itu, tetapi Cahaya berusaha mengakrabkan dirinya dengan anak laki-laki itu. "Wajahmu terlihat muram begitu kak? Apakah sesuatu terjadi padamu? Oh iya aku Cahaya Trivia Ashaf, kalau kakak namanya siapa? Kakak bisa memanggilku Cahaya atau Aya kak! Biasanya aku main dengan kakakku hanya saja dia pergi les jadi aku main ayunan sendiri saja deh," sapa Cahaya lembut. Mendengar ucapan gadis kecil yang berusaha ramah padanya entah mengapa membuat Jiddan teringat dirinya yang sering di abaikan abahnya jadi ia memutuskan menyahuti gadis kecil itu santai karena ia tak ingin gadis itu sedih karenanya. "Tidak kok, aku tidak muram! Oh jadi kamu Cahaya, namaku Asa Al Jiddan dan kamu boleh memanggilku Jiddan! Ya sudah kamu bermain saja sampai kakakmu datang dan menemani kamu main lagipula les tidak akan lama jadi tunggu saja," sahut Jiddan santai. Cahaya tersenyum lembut menyadari ada anak lain yang mau mengobrol padanya selain Khalid yang selalu mengajaknya bermain, sedangkan di lain sisi Jiddan mengerutkan alis miliknya dengan tatapan bingung bagaimana bisa ada anak yang tersenyum padahal apa yang di ucapkannya bukanlah hal yang ramah. "Apa yang lucu? Kenapa kamu tersenyum begitu? Lagipula ucapan aku juga gak ada yang layak buat dibalas senyum sama kamu kok? Terus buat apa kamu senyum begitu sama orang yang tidak kamu kenal Cahaya? Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Jiddan bingung. Mendengar pertanyaan yang terasa mudah dijawab oleh Cahaya membuatnya menyahuti dengan santai sementara di lain sisi Jiddan yang melihat mata indah itu untuk pertama kalinya merasa iba dan entah mengapa ia ingin berjanji bahwa apapun hal yang di hadapi Cahaya maka gadis itu boleh meminta bantuan padanya. "Kakak bilang senyuman itu hal yang baik jika kita tak bisa memberikan banyak hal dan mungkin orang lain bisa salah berpikir jika aku tak tersenyum kak lagipula jika kita tak bisa jadi alasan orang lain tersenyum maka kita saja yang senyum," sahut Cahaya santai. "Apa yang dikatakan kakakmu sebenarnya tidak salah, tetapi jika kamu tak sedang tidak ingin tersenyum maka tidak perlu melakukannya, Cahaya! Atau begini saja jika kamu sedang mengalami kesulitan dan butuh bantuan datang padaku! Kapanpun kau butuh aku maka aku akan ada untukmu! Janji?" tutur Jiddan serius. Dalam diam baru kali ini ada anak lain yang memperhatikan dirinya sampai seperti ini lalu dengan yakin Cahaya mengulurkan jari kelingkingnya dan ia juga berjanji akan ada di setiap hal yang di hadapi Jiddan hingga akhirnya tertawa sambil bermain pasir bersama. "Jiddan sepertinya anak baik ya? Baru kali ini Cahaya bertemu teman sepertimu! Kalau begitu kalau Jiddan sedang muram dan ingin berbagi cerita maka Jiddan boleh cerita ke Cahaya! Dengan begini kita adilkan? Jiddan juga mau berjanjikan?" ucap Cahaya lembut. "Oke janji! Kalau begitu bagaimana jika bermain di taman ini sampai kakakmu datang? Mau aku bantu dorong ayunanmu? Besok kita main lagi ya! Ternyata kamu anak yang baik ya? Aku kira kamu cengeng! Oh iya bagaimana main di seluncuran ini? Mau aku bantu tidak? Ini seru sekali loh," sahut Jiddan semangat. Entah mengapa rasanya hari ini meskipun perasaan Jiddan terasa kesal dengan abahnya, tetapi ia merasa rasa kesalnya sedikit berkurang berkat kehadiran dan janji gadis kecil yang mengingatkan dirinya bahwa hidup tak selalu tentang kebahagiaan saja. "Ternyata bermain dengan Cahaya bukanlah ide yang buruk ya? Waktu rasanya bergerak dengan cepat deh! Kehadiran Cahaya sedikit mengurangi rasa kesalku dan berkat gadis itu aku jadi paham kalau hidup ada susah sedihnya wajar ya? Ternyata dia anak baik tidak seperti yang aku pikirkan sebelumnya," batin Jiddan senang. Hari itu menjadi hari pertama Jiddan memiliki teman baru dan menghabiskan waktu dengan senyuman lebar di wajah tampannya tanpa perlu merasa sebal saat harus mengerjakan tugas sekolah di sore hari seperti ini lagipula Jiddan tetap akan mengerjakan tugas sekolahnya sebelum ia tidur. "Oh jadi seperti ini ya memiliki teman? Pantas saja kak Zubair sering pergi main karena ini toh, aku juga tetap akan mengerjakan tugas sekolahku kok! Kenapa ya abah menyebalkan sekali padaku sedangkan pada kakak saja tidak?! Rasanya tidak adil sekali," gumam Jiddan sebal. Cahaya yang tanpa sadar mendengarkan keluhan teman barunya membuatnya gadis itu menanyakan apa yang Jiddan ucapkan barusan sementara Jiddan hanya menjawab seadanya dan berjanji jika besok mereka akan bermain bersama lagi seperti hari ini lalu Cahaya menyahutinya dengan semangat. "Jiddan barusan bilang apa? Apanya yang tidak adil? Abah itu ayah Jiddan ya? Kenapa abah Jiddan menyebalkan?" tanya Cahaya bingung. "Oh bukan apa-apa kok! Besok kita bermain bersama lagi ya? Jiddan senang berteman dengan cahaya," sahut Jiddan santai. "Ayok! Janji ya! Cahaya juga senang kok berteman dengan Jiddan," ucap Cahaya semangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD