Pelangi Baru

1198 Words
Sejak pertemuannya dengan Cahaya rasanya Jiddan seperti memiliki pelangi baru di saat masalah dan amarah abahnya datang bertubi-tubi bahkan tak jarang ia mengurung putra kandungnya hanya karena nilai Jiddan tak sebaik nilai Zubair. "Sudah berapa kali abah katakan, Asa! Kamu seharusnya memiliki nilai sebagus Zubair! Bukan malah tak lebih baik seperti ini! Bagaimana bisa kamu hanya mendapat nilai biasa seperti ini?! Kalau begitu abah akan mengurung kamu di kamar agar kamu menyadari betapa salahnya sikapmu ini! Masuk ke kamarmu dan berpikirlah!" ujar Rafandri tegas. "Aku hanya berbeda nilai sedikit dengan kakak saja kok, bah! Nilaiku di kelas sudah paling tinggi! Lalu kenapa aku masih saja di kurung di kamar hanya karena tak sebaik kakak nilaiku! Apa yang perlu aku pikirkan lagi? Aku sudah berusaha semampu yang aku bisa abah! Apa itu masih tidak cukup juga dimata abah ya," gumam Jiddan sendu. Di taman bermain Cahaya hanya bisa memandang kursi ayunan yang ada di sebelahnya dengan tatapan khawatir karena tak biasanya Jiddan tak datang di waktu janjian mereka walaupun pemuda itu belum pernah bilang kalau ia kadang tak bisa datang, tapi hati Cahaya tetap saja merasa tak tenang. "Bukannya ia akan datang bermain bersamaku lagi hari ini ya? Lalu kenapa ia belum datang juga? Tidakkah kemarin ia berjanji pergi main dengan aku lagi? Padahal aku tak bersikap tak baik padanya? Dia dimana ya? Apa aku ada salah kali ya?" lirih Cahaya sedih. Ingin rasanya gadis itu mencari keberadaan Jiddan saat ini sayangnya gadis itu merasa akan tidak baik jika dirinya bertindak tanpa sepengetahuan teman barunya yang ada nanti mereka hanya salah paham satu sama lain. "Kalau saja aku tau dia ada dimana, rasanya aku ingin pergi mencari keberadaan Jiddan! Sayangnya bertindak gegabah juga tidaklah baik ya? Apalagi dia teman baruku? Mungkin nanti Jiddan malah salah paham dengan sikapku! Hanya saja aku khawatir dengan dia! Apakah dia baik-baik saja ya di sana? Jiddan kamu di mana," ujar Cahaya khawatir. Di saat gadis itu sibuk dengan berbagai pertimbangan, di lain tempat Jiddan lagi-lagi di marahi karena mendapat nilai ulangan di bawah Zubair yakni kakaknya 95 sedangkan Jiddan hanya dapat nilai 93 dan mau tidak mau ia di kunci di kamarnya dan memandang ke arah luar jendela dengan pandangan sedih. "Tentu saja tidak cukup! 93 itu bukanlah nilai yang besar dan mau nilaimu itu paling tinggi di kelas, abah tidak perduli! Sudah puluhan kali abah bilang kalau nilaimu harus lebih tinggi dari Zubair! Kenapa kamu masih tak paham juga?! Sudah jangan banyak bertanya pada abah! Tanyakan saja pada dirimu sendiri apa kesalahanmu itu!" omel Rafandri kesal. "Abah sih benar-benar keterlaluan! Hanya karena kurang dua poin saja di kurung begini! Padahal kemarin aku berjanji akan bermain bersama Cahaya lagi! Terus bagaimana cara aku ke sana jika di hukum begini! Tidakkah abah menghargai usahaku? Lupakah ia bahwa tiap kemampuan anak itu berbeda dan tidak bisa disamakan," batin Jiddan sendu. Entah mengapa abahnya selalu menyebalkan dan Jiddan tak mengerti mengapa hanya ia yang diperlakukan tegas begini, dulu ia pernah dapat nilai di atas kakaknya yakni 98 dan Zubair hanya 95 sayangnya kakaknya tidak pernah di kurung begini. "Sepertinya abah lupa! Kalau nilai aku lebih tinggi daripada kak Zubair, dia gak pernah tuh di hukum kayak aku begini!! Kenapa hanya aku yang diperlakukan tegas begini! Abah curang banget dah! Masa bisa bersikap beda-beda begitu si Abah?!" gumam Jiddan kesal. Dalam diam rasanya Jiddan ingin pergi ke taman dan bertemu pelangi barunya, tetapi jika ia pergi pasti hukuman esok hari akan lebih merepotkan lagi jadi ia hanya bisa memohon maaf dan berharap jika Cahaya tak sendirian di sana. "Gak seru nih abah! Masa aku gak boleh pergi main, padahalkan aku pengen banget pergi main ke taman bermain dan bertemu pelangi baru aku di sana! Cuma kalau aku tidak nurut nanti yang ada bakalan repot banget jadi aku harus sabar dulu di sini dan semoga Cahaya gak sendirian di sana ya kasihan! Dia baik-baik aja kan ya," lirih Jiddan khawatir. Sayangnya apa yang diharapkan Jiddan tidaklah benar karena Cahaya masih menunggu teman barunya sendirian bahkan gadis itu terlihat gelisah, tetapi ia tak bisa pergi semau dirinya atau ia hanya akan mengalami kehilangan teman baiknya. "Ya ampun Jiddan ke mana sih? Masa dia belum datang juga? Apakah dia beneran gak apa-apa ya? Kalau saja aku tau di mana keberadaan Jiddan pasti aku udah pergi ke sana dan bertindak semau aku, tapi aku gak mau kehilangan dia jadi aku harus lebih sabar di sini mungkin ya," ujar Cahaya serius. Jam terus bergerak dan Jiddan tak juga hadir sedangkan langig mulai terlihat mendung membuat Cahaya menundukkan kepalanya sedih lalu dengan langkah enggan ia berjalan menjauhi taman bermain itu untuk bergegas pulang sebelum hujan turun. "Sudah terlalu lama aku bermain sendirian di taman dan sepertinya sebentar lagi akan turun hujan jadi aku harus bergegas pulang ya? Padahal aku masih ingin bertemu dengan teman baruku walaupun hanya bisa sebentar saja, tapi yasudahlah tak apa! Kadang tak semua hal berjalan sesuai keinginan," lirih Cahaya sendu. Terkadang langit tak selalu cerah begitu juga bahagia tak selalu hadir setelah seharian berlalu dengan cukup menyebalkan menurut Jiddan akhirnya ia boleh keluar pergi main dan dengan langkah cepatnya ia bergegas menemui Cahaya. Rasanya Jiddan benar-benar menyesal karena tak bisa memberitahu Cahaya perihal ia tak bisa bermain sesukanya lalu sesampainya Jiddan di taman ia melihat jika pelangi barunya sedang menundukkan kepalanya sedih lalu ia menyapa Cahaya Riang. "Cahaya Trivia Ashaf! Akhirnya kita bisa bertemu lagi ya! Wah senangnya dan aku minta maaf karena tak bisa memberitahumu sebelumnya ya, oh iya kamu mau aku bantu dorong ayunannya tidak? Ayok kita bermain sepuasnya di sini!" ucap Jiddan semangat. Sementara Cahaya yang mendengar suara Jiddan membuat gadis kecil itu menatap teman barunya dengan mata yang berkaca-kaca lalu ia memeluk Jiddan erat seolah ia takut jika apa yang Cahaya lihat hanya hayalannya saja lalu tanpa sadar ia bergumam-gumam perihal kekhawatirannya kemarin. "Jiddan!! Kamu kemana saja? Aku kesepian tanpamu kemarin dan tolong jangan pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku lagi ya! Aku tidak ingin kehilangan temanku lagi jadi tolong tetaplah menjadi asa dibalik gelapnya hari-hariku ya," gumam Cahaya sendu. Pelukan teman baru yang sudah Jiddan anggap sebagai pelangi barunya di tambah ucapan Cahaya yang terdengar seperti ia begitu sedih semakin membuat Jiddan menyesal sebab ia tak berpikir jika Cahaya sampai seperti ini hanya karena kemarin masalahnya. "Aku tak menyangka jika Cahaya sampai seperti ini? Kalau saja aku bisa memberinya kabar kemarin, baru kali ini rasanya ada orang lain yang mengkhawatirkan diriku sampai sesedih ini! Maaf ya Cahaya mungkin bukan saat ini untuk kamu mengetahui kesulitanku? Cukup kamu tau bahwa kamu seperti pelangi baru untukku yang lainnya belum bisa aku ceritakan pada Cahaya," batin Jiddan ikut sedih. Sementara Cahaya yang tidak mendengar ucapan apapun dari Jiddan membuatnya mempertanyakan apakah Jiddan marah padanya atau ia yang memiliki salah pada teman barunya itu dan Jiddan berusaha untuk menenangkan gadis mungil itu sedangkan Cahaya yang mendengar nada lembut dan sikap baik Jiddan semakin membuatnya kembali menangis. "Jiddan marah sama Cahaya? Atau Cahaya ada salah ya sama Jiddan makanya Jiddan diam begini? Maaf Jiddan! Maafin Cahaya ya," gumam Cahaya sedih. "Bukan! Jiddan bukan marah sama Cahaya kok, udah jangan nangis ya! Cahaya gak harus minta maaf begini! Loh? Kenapa Cahaya jadi nangis lagi? Udah-udah jangan sedih Cahaya," tutur Jiddan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD