BAB 7: Berulah

2567 Words
Victor berjalan mengikuti seorang dokter yang berada di hadapannya, pemuda itu melihat keseliling, memperhatikan ruangan-ruangan yang dilewati. “Sekarang pak Damian sudah cukup stabil setelah dipindah ruangakan, saya harap ini sebuah pertanda baik,” ucap sang dokter. “Saya harap begitu,” sahut Victor semakin jauh mengikuti langkah dokter. Dokter yang membawa Victor segera berhenti di depan sebuah ruangan khusus dan membukanya dengan kartu akses keamanan tingkat tinggi hingga harus menggunakan sensor mata. Begitu pintu terbuka. “Waktu Anda dua puluh menit, jika butuh bantuan tekan monitor yang sudah saya berikan,” kata sang doker menjelaskan. Victor mengangguk mengerti, pemuda itu segera masuk ke dalam ruangan sendirian. Ruangan yang dimasuki Victor cukup besar dan nyaman layaknya apartement, terdapat sebuah ranjang besar yang mengarah keluar, ada deretan buku di dalam rak dengan beberapa kanvas yang berjajaran. Dinding-dinding kamar dihiasi oleh beberapa photo sepasang suami isteri yang berpakaian pengantin, ada pula yang bersama seorang anak laki-laki. Perhatian Victor langsung tertuju pada seorang pria paruh baya yang tengah membaca buku dan tidak mempedulikan kedatangan Victor. Pria itu terlihat fokus meski bibirnya sesekali bergumam tidak jelas, sorot matanya yang tajam itu tidak teralihkan sedetikpun dari buku. Tangannya yang kurus kering memiliki bekas luka bakar yang sudah lama, dan sisi wajahnya terlihat memiliki sebuah jahitan. Victor mendekat dengan hati-hati, memperhatikan ketenangan ayahnya yang kini terlihat sedikit membaik usai diberikan kegiatan untuk melukis dan ruangan baru layaknya kamar pribadi. “Ayah,” sapa Victor pada Damian. Damian menengok dan terseyum lebar tanpa bicara, pria itu kembali melihat buku di tangannya dan membacanya. Victor membuang napasnya dengan berat merasakan sesak menyakitkan yang sama setiap kali dia melihat keadaan Damian. Victor sangat ingin memeluknya, dan menghibur Damian, namun Victor tidak bisa melakukannya karena alergi sentuhan yang di alaminya. Victor tertunduk tersenyum ironis, sorot matanya berubah sendu begitu melihat lukisan yang dibuat oleh ayahnya adalah wajah cantik ibunya. Victor membuka tas yang dibawanya dan mengeluarkan tumpukan cat lukis. “Ini cat untuk Ayah melukis, dan ini makanan kesukaan Ayah.” Damian masih tidak berbicara, namun kali ini dia beranjak dari duduknya dan mendekati Victor. Damian mengambil makanan yang diberikan oleh Victor dan membawanya pergi ke tempat duduk favoritnya di sisi jendela. “Ayah makanlah dengan baik, setelah Ayah sembuh, kita akan pergi liburan dan mengunjungi ibu. Ayah mau kan?” tanya Victor dengan ceria. “Bunga, bunganya mana?” tanya Damian terlihat panik mencari-cari bunga, namun tidak berapa lama dia kembali melanjutkan makannya lagi seakan tidak terjadi apa-apa. Pahit dan sakit, selalu itu yang Victor rasakan di setiap kali dia melihat Damian. Damian yang dulu begitu gagah dan kuat, dia terkenal cerdas berwibawa, dihormati dan menjadi orang yang sangat bisa di andalakan disetiap pekerjaan yang ada. Namun semua itu hanya berlaku dulu. Kini, semuanya sudah berubah.. Damian yang luar biasa sudah tidak ada lagi.. Damian yang gagah kini berubah menjadi kurus kering, selalu berpakaian serba hitam sepanjang waktu seakan dia tenggelam dalam rasa berkabungnya. Damian berambut cepak dengan wajah yang penuh tekanan, tidak lagi bisa di ajak berkomunikasi dengan normal, dan kini dia adalah pasien rumah sakit jiwa. Semua yang terjadi ini disebabkan oleh satu tragedy pada empat tahun yang lalu, tepatnya di hari perayaan pernikahan Damian dan Sisil yang ke Sembilan belas. Pada saat itu, Victor masih berusia empat belas tahun. Di siang hari itu, Victor dan keluarganya pergi melakukan liburan sederhana di sebuah villa untuk merayakan pernikahan Damian dan Sisil yang ke Sembilan belas. Ketika Victor dan Damian pergi jalan-jalan mencari bunga untuk Sisil, di dalam villa, Sisil yang tengah sendirian memasak dan membuat kue untuk menyambut kedatangan anak dan suaminya. Sayangnya, moment manis yang terjadi pada keluarga Victor mendadak menjadi suram dan menakutkan. Tanpa sengaja Sisil meninggalkan dapur tanpa mematikan kompor, Sisil pergi ke kamar untuk menghubungi temannya. Sisil tidak menyadari bahwa dia lupa mematikan kompor sampai akhirnya percikan api keluar karena wajan cokelat yang dia panaskan mengering, dengan cepat api membakar dengan cepat dinding-dinding bangunan yang terbuat dari kayu dan menyebabkan konsleting listrik. Sisil yang baru menyadarinya langsung masuk ke dalam dapur, wanit itu mencoba menyelamatkan kue kesukaan Damian. Kabut asap dan api yang menyala-nyala membuat Sisil tidak bisa melihat dengan jelas pintu keluar, wanita itu mengalami sesak dan terjatuh pingsan tanpa sempat meminta bantuan. Damian dan Victor yang baru pulang tidak lagi disambut oleh kebahagiaan yang sempat mereka rencanakan, mereka disambut oleh kobaran api yang menyala-nyala membakar Villa tengah berusaha dipadamkan oleh pemadam kebakaran. Victor berteriak bertanya kepada semua orang di mana ibunya sekarang karean dia tidak ada. Damian yang tersadar jika Sisil masih berada di dalam villa, pria itu memaksakan diri masuk ke dalam dan mencari Sisil, sementara Victor yang berdiri di depan villa hanya bisa mematung menatap merahnya api di hadapannya berkobar panas hingga membuat seluruh permukaan kulitnya bisa merasakan panas terbakar. Teriakan histeris menangis Damian yang tidak bisa menemukan keberadaan sisil membuat Victor semakin ketakutan. Damian keluar tanpa membawa Sisil, tubuhnya yang mengalami luka bakar terjatuh dihadapan Victor, Damian menangis memeluk Victor menanyakan di mana keberadaan Sisil. Menyedihkannya, tidak berapa lama setelah itu, pemadam kebaran yang sudah lama mencari-cari keberadaan Sisil di dalam Villia akhirnya datang membawanya tubuhnya yang kaku terbakar dan tidak berwujud lagi. Victor berteriak menangis histeris, merasakan kulitnya terbakar hebat tidak bisa memeluk tubuh ibunya yang tidak bernyawa lagi kini panas berasap layaknya sebatang pohong. Damian kehilangan akal, pria itu mengamuk dan memeluk tubuh Sisil tanpa mempedulikan diri jikat itu akan melukai tubuhnya juga. Sejak saat kejadian itu, keadaan Victor dan Damian seperti berada dalam kegelapan. Victor mengalami trauma. Rasa panas dari api yang dia lihat terasa masih ada di sekitarnya, ketidak mampuannya memeluk ibunya yang sudah meninggal membuat Victor merasa tidak pantas menyentuh siapapun lagi. Apa yang dialami Victor mungkin tidak seberapa, karena Damian jauh lebih terpuruk. Sejak kepergian Sisil, perlahan Damian lebih suka mengurung diri, tenggelam dalam duka dan kehilangan orang dicintainya. Mungkin Victor masih bisa mengatasi rasa takut dan traumanya atas kejadian itu, namun tidak dengan Damian. Dari hari kehari keadaan Damian memburuk dan dia mengalami halusinasi, lambat laun akhirnya dia mengalami gangguan jiwa. Kini, tinggal Victor sendirian yang sedang berusaha bangkit atas tragedy yang telah terjadi. *** Cayra duduk dalam kecanggungan setiap kali tidak sengaja bertatapan dengan Lilian yang beberapa menit lalu sudah berkenalan dengannya, keduanya tidak terlibat percakapan apapun lagi. Ariana terlihat bersemangat membicarakan apa yang telah terjadi selama dia mencari Lilian dan berusaha mengenalnya sejak mereka dipertemukan. Hezberg yang baru bertemu dengan Lilian terlihat cukup terharu dan beberapa kali menyeka air matanya, Hezberg meminta maaf kapada Lilian karena dia terlambat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lilian yang murah senyum menenangkan Ariana dan Hezberg jika dia sudah sangat bersyukur bisa bertemu dengan kedua orang tua kandungnya. Dari apa yang Cayra lihat, Lilian terlihat polos dan pemalu, Cayra berpikir mungkin kedepannya mereka bisa dekat. “Lusa, ibu akan mendaftar Lilian di sekolah yang sama denganmu Cay, ibu harap kau bisa menjaga Lilian ya, mungkin dia membutuhkan waktu untuk bisa berbaur,” kata Ariana yang mulai berbicara dengan Cayra setelah cukup lama hanya berbicara tentang Lilian. “Baik Bu,” jawab Cayra pelan. “Lilian, ayo ke kamar, sepertinya kau lelah dan butuh istirahat,” kata Ariana yang kembali memfokuskan diri kepada Lilian. Lilian segera beranjak dari duduknya dan mengikuti Ariana yang menuntunnya pergi ke kamar. Cayra yang masih duduk di tempatnya hanya bisa diam dan memperhatikan. Cayra merasakan ada sesuatu yang terasa sedikit berbeda, yaitu, sikap Ariana kepada Cayra terasa cukup acuh. Apakah ini hanya perasaan Cayra saja? Tidak berapa lama Ariana kembai keluar dari kamar Lilian, wanita itu duduk di tempatnya lagi dan melihat Cayra bersama Hezberg bergantian. “Cay, apa ibu boleh meminta sesuatu darimu?” tanya Ariana memulai pembicaraan. Cayra menelan salivanya dengan kesulitan, dia merasakan sebuah firasat buruk karenan akhir-akhir ini Ariana lebih banyak meminta sesuatu yang membuat Cayra merasa sedikit terasingkan dan secara bersamaan Cayra harus memakluminya. “Ibu memita bantuan apa?” tanya Cayra pelan. Dalam satu tarikan napas panjangnya Ariana berkata, “Cayra, mungkin untuk sekarang dan kedepannya nanti, ibu hanya akan lebih banyak memperhatikan Lilian. Ibu takut, jika ibu terlalu dekat denganmu, Lilian akan merasa terasingkan. Untuk saat ini, ibu dan Ayah ingin berusaha membuat sebuah ikatan dengan Lilian yang selama ini tidak pernah ada. Tolong jangan bersedih dan ibu berharap kau bisa memahaminya,” jelas Ariana memberitahu. Cayra tidak langsung menjawab, perkataan Ariana cukup mencubit hati Cayra. Tapi apa yang bisa Cayra katakan? Ariana dan Hezberg berhak dekat dengan puteri kandung mereka dan untuk sekarang Cayra memang harus mundur memberi mereka luang. “Apa kau bisa membantu ibu dan Ayah, Cayra?” tanya Ariana. Cayra tersenyum memaksakan, gadis itu mengangguk samar mencoba menutupi kepahitan yang dirasakan. “Baik Bu, aku mengerti.” Cayra beranjak dari duduknya dengan bibir yang masih mengukir senyuman meski kini matanya terlihat berkaca-kaca menahan tangisan. “Kalau begitu, aku ke kamar dulu,” pamit Cayra dengan cepat. Ariana dan Hezeberg saling memperhatikan, melihat kepergian Cayra yang masuk ke dalam kamar dengan cepat. Hezeberg menegakan tubuhnya, memperhatikan pintu kamar Cayra yang kini sudah tertutup rapat. “Tidak saharusnya kau bertindak secepat ini. Lilian memang akan menjadi prioritas utama kita, namun jangan menyakiti Cayra juga. Berilah dia sejenak waktu untuk bernapas, baru beritahu dia apa yang ingin kita lakukan. Kita sempat bersedih ketika tahu puteri kandung kita bukan Cayra, kini kita bahagia karena puteri kandung kita bisa ditemukan dan bisa berada di sisi kita dalam keadaan baik-baik saja. Tidakkah kau sadar, Cayra adalah orang sebenarnya paling tersakiti karena orang tua kandungnya belum diketahui keberadaannya dan kini dia harus sedikit tersingkirkan, tidak bisa lagi menerima perhatian kita sepenuhnya.” Ariana terdiam menelaah ucapan Hezberg. “Maaf, aku terlalu bersemangat, aku akan memperhatikan ucapanku lagi.” “Besok aku ingin memanggil tukang bangunan agar membuatkan jendela dan kamar mandi di kamar Cayra.” *** Di tengah malam yang semakin larut Cayra masih terjaga, gadis itu menutup buku-buku pelajarannya dan memutuskan pergi keluar sejenak untuk menikmati udara segar. Saat berjalan keluar kamar dan melihat kesekitar, suasana hati Cayra terasa lebih sesak dari biasanya, dia merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan gelisah tanpa bisa dijelaskan. Cayra memutuskan berdiri di sisi pagar balkon rumah, menatap lekat langit yang gelap dan dingin. Masih teringat di kepalanya akan ucapan Ariana sore tadi, kata-kata itu membuat Cayra sedih dan harus menahan diri dalam waktu yang bersamaan. Mulai sekarang Cayra harus belajar bagaimana cara mengalah. “Kau belum tidur,” suara lembut milik Lilian menyentak lamunan Cayra. Lilian tersenyum dan memutuskan berdiri di samping Cayra, gadis itu terlihat lebih tenang dan tidak sepemalu apa yang Cayra lihat saat tadi berkenalan. Sorot mata Lilian terlihat dingin tidak tersentuh, senyuman manisnya menyimpan arti lain yang membuat insting Cayra menjadi waspada. “Aku tidak mengantuk,” jawab Cayra samar. “Aku dengar, kamar yang aku tempati sekarang adalah kamar milikmu dulu.” Cayra meremas sisi gaun tidurnya terlihat tidak nyaman dengan apa yang dikatakan Lilian, padahal Cayra tidak ingin membahas apapun tentang kamar. Cayra memberanikan diri menatap mata Lilian dan tersenyum setulus mungkin agar Lilian tidak merasa terbebani. “Itu bukan sesuatu yang perlu dibahas, aku juga tidak keberatan,” ucap Cayra. Samar bibir Lilian berkedut tersenyum dengan sedikit alis yang bergerak, gadis itu terlihat terhibur dengan jawaban Cayra yang terbata dan tidak enak hati. “Cayra, apa kau merasa keberatan dan tidak nyaman dengan kehadiranku?” tanya Lilian blak-blakan menambah kecanggungan Cayra. Cayra menggeleng. “Aku tidak keberatan, dan jika tidak nyaman, mungkin iya. Kupikir ini hal yang wajar karena kita belum saling mengenal, lalu terjebak dalam situasi yang sulit. Kedepannya, mungkin kita akan akrab.” “Syukurlah jika begitu, karena kedepannya nanti, aku berharap bisa mengandalkanmu,” jawab Lilian dengan nada menggantungnya, gadis itu mendekat satu langkah mengikis jaraknya dengan Cayra. “Bisakah kita berteman meski aku memiliki sifat yang sedikit merepotkan?” Cayra terdiam, dalam keraguan gadis itu mengangguk mengiyakan. Mungkin ini pertanda baik untuk hubungan Cayra dengan Lilian. Lilan tersenyum, kali ini dia tidak bersuara, gadis itu segera pergi kembali ke kamarnya meninggalkan Cayra yang mematung merasakan atmosfer di sekitarnya yang berubah dengan cepat. *** Pagi hari di kediaman keluarga Hezberg menjadi berbeda, suasana berubah menjadi sedikit berisik dari biasanya. Ketika Cayra keluar dari kamar, dia langsung melihat Hezberg yang tengah latihan berjalan di balkon, sementara Ariana sibuk di dapur dan bersenda gurau dengan Lilian yang menontonnya. Sikap manis Lilian berhasil membuat Ariana dan Hezberg menjadi akrab lebih cepat. Cayra sudah terlihat rapi menggendong tas karena akan pergi untuk menikmati akhir pekannya dengan belajar dan latihan es skating. “Cay, hari ini ibu dan Lilian akan pergi belanja untuk membeli keperluannya sekolah, kau mau ikut?” tanya Ariana berpura-pura tidak tahu Cayra akan berpergian. “Maaf Bu, hari ini aku akan latihan es skating dan belajar bersama Javier sampai sore, Ibu tidak apa-apa kan?” jawab Cayra seraya mendekat, melihat apa yang Ariana buat. “Tidak apa-apa Cay.” Lilian mengambil piring yang berisi masakan yang dibuat oleh Ariana, gadis itu membawanya ke meja untuk dihidangkan, sementara Cayra mengambil beberapa buah roti dan mengolesinya dengan selai dan beberapa potong buah. “Cayra, aku dengar dari Ibu, kau sangat pandai bermain es skating,” kata Lilian terlihat tertarik dengan hobby Cayra. “Ibu terlalu melebihkan, aku masih belajar sampai sekarang,” jawab Cayra bersikap rendah hati, gadis itu membawa piring buah dan memberikannya kepada Hezberg sekalian untuk berpamitan kepadanya. Cayra kembali masuk ke dalam. “Ibu, aku harus pergi sekarang,” pamit Cayra seraya mengambil tasnya lagi dan menggendongnya, lalu dibawanya roti isi buatannya. “Berhati-hatilah,” jawab Ariana. Dengan cepat Cayra pergi keluar, dia harus pergi ke stasiun bawah tanah dan naik kereta menuju tempat latihan. Biasanya Hezberg yang mengantar, namun karena kondisinya sedang tidak baik, mau tidak mau Cayra harus pergi sendirian. Kepergian Cayra menyisakan keheningan di antara Ariana dan Lilian yang kini berdiri merenung memasang ekspresi bingung dan sedih, Ariana yang menyadarinya pada akhirnya bertanya karena takut terjadi sesuatu. “Ada apa? Apa terjadi sesuatu padamu?” tanya Ariana. Lilian tersentak kaget dan tersenyum memaksakan. “Tidak ada apa-apa Bu.” “Kau tidak perlu ragu jika ingin menceritakan sesuatu kepada ibu, ibu tidak akan pernah marah,” kata Ariana meyakinkan. Wajah Lilian terangkat menatap sedih Ariana. “Apa kehadiranku mengganggu Cayra?” bisik Lilian bertanya. Seketika Ariana mematikan kompornya sejenak dan membalikan badan untuk bisa melihat Lilian sepenuhnya. Kening Ariana mengerut samar, Ariana tidak mengerti mengapa Lilian sampai bertanya seperti itu padahal sejak kamarin, saat mereka berada dalam perjalanan ke rumah, Ariana sudah memberitahu Lilian agar tidak sungkan karena semua orang menyambut kehadirannya. “Kenapa kau bertanya seperti itu Nak?” Tanya Ariana hati-hati seraya mengusap kepala Lilian. Lilian tertunduk melihat tangannya yang gemetar saling bertautan. “Semalam aku dan Cayra sempat berbicara di balkon. Cayra ingin, jika nanti aku sudah resmi satu sekolah dengannya, Cayra tidak ingin orang tahu bahwa kita bersaudara ataupun berteman. Sepertinya aku sudah membuat Cayra tidak nyaman.” Ariana terbelalak kaget tidak percaya. “Cayra berkata seperti itu?” tanya Ariana pelan. Bibir Lilian mengetat terlihat menyesal. “Maafkan aku Bu, tolong jangan membicarakan ini kepada Cayra, aku tidak ingin kami menjadi semakin canggung. Sepertinya aku yang terlalu berpikir berlebihan atas ucapannya.” Ariana sedikit menggeleng tidak setuju, dia tidak setuju dengan apa yang Lilian katakan, Ariana harus menegur Cayra. “Ibu jangan membicarakan ini dengan Cayra, aku takut,” mohon Liana terlihat khawatir. Dengan berat hati Ariana mengangguk mengiayakan, untuk kali ini Ariana akan diam, namun Ariana tidak akan tinggal diam jika ini terjadi lagi. To Be Continued..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD