"Selamat pagi, Aimee."
Sapaan Shane membuat Aimee terperanjat. Ia melihat ke arah Shane yang berdiri di tepi jendela kamar itu. Kejadian semalam berputar di benaknya. Malam yang mengoyak harga dirinya. Aimee tidak terlalu peduli dengan siapa ia akan kehilangan keperawanannya, tapi ia tidak pernah berpikir akan kehilangan dengan cara yang menyedihkan dan tanpa persetujuan darinya.
"Bersihkan tubuhmu dan turunlah untuk sarapan."
Aimee bergeming.
"Kau dengar aku, kan, Aimee?" Shane bersuara lagi. "Aimee, kenapa kau suka sekali membuatku berbicara berulang-ulang?" suara Shane terdengar berbahaya. Tatapan matanya menajam. Ia jelas membenci wanita yang tidak mau menuruti ucapannya.
"Atau kau mau aku yang memandikanmu?"
Aimee tidak menjawab. Ia beringsut turun dari ranjang. Pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Ia tidak akan membiarkan Shane menyentuh tubuhnya lagi.
Tatapan mata Aimee terlihat kosong. Tak ada yang tersisa dari hidupnya. Ia memang tidak berharap akan hidup bahagia, tetapi ia juga tidak menginginkan kehancuran seperti ini.
Tuhan, aku tidak pernah berharap kau memberikan kehidupan padaku. Air mata Aimee mengalir. Namun, bukan lagi air mata kesedihan melainkan air mata kekecewaan.
Aimee menenggelamkan dirinya di dalam bathtub secara perlahan. Matanya perlahan tertutup. Ia ingin beristirahat dengan tenang. Ia ingin melupakan mimpi buruk yang ia alami saat ini.
"Aimee!" Suara keras Shane memenuhi kamar mandi. Shane melangkah cepat menuju bathtub. Ia mengangkat tubuh Aimee dari tempat itu.
"Apa yang kau lakukan, Aimee!" bentaknya.
Aimee membuka matanya. "Kenapa kau harus datang ke hidupku? Kenapa?" tanya Aimee lirih.
Shane membawa Aimee ke ranjang. "Jangan melakukan hal seperti ini lagi, Aimee! Kau tidak bisa mati tanpa seizinku!"
"Kesalahan apa yang sudah aku lakukan padamu hingga kau membuatku menderita seperti ini?"
Shane tidak menjawab. Ia segera menyelimuti tubuh Aimee yang terasa sangat dingin.
"Kau menghancurkan aku. Apakah kau sudah puas?"
"Tutup mulutmu, Aimee! Aku bisa membuatmu menderita lebih dari ini jika kau mencoba melakukan hal yang tidak aku sukai!" ancam Shane.
Aimee menatap Shane datar. "Lakukan. Lakukanlah hingga kau puas. Lalu bunuh aku seperti yang kau lakukan pada wanita itu."
"Kau tidak akan mati sesuai keinginanmu, Aimee. Aku masih belum puas bermain denganmu," tekan Shane.
Mungkin kematian lebih baik bagi Aimee daripada hidup bersama dengan Shane. Namun, bahkan untuk mati pun ia tidak memiliki hak lagi.
"Mulai detik ini kau akan tinggal di sini! Kau tidak akan pergi ke mana pun tanpa izin dariku."
Usai memperingati Aimee, Shane keluar dari kamar Aimee dengan d**a yang berdetak tidak karuan. Shane tahu, Aimee akan mengacaukan hidupnya, tetapi ia tidak bisa mengirim Aimee menjauh darinya karena Aimee adalah sebagian dari hidupnya.
Setelah Shane pergi, dua pelayan wanita masuk dengan pakaian dan sarapan untuk Aimee.
"Nona, mari saya bantu Anda berpakaian." Salah satu pelayan menawarkan dirinya.
"Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Tinggalkan aku!"
Dua pelayan di kamar itu segera mengikuti perintah Aimee. Mereka meninggalkan Aimee sendirian.
"Maafkan aku, Mom. Maaf karena aku hampir saja memilih mati. Maaf karena aku tidak bisa hidup dengan baik sesuai keinginanmu. Maafkan aku karena aku akan menjadi monster sebentar lagi," lirih Aimee.
Aimee ingin cepat membalas dendam agar ia bisa mati menyusul ibunya. Untuk saat ini ia akan bertahan demi membalas dendam. Shane, ia akan membiarkan pria itu bermain-main dengannya sampai bosan. Dengan begitu Shane akan membunuhnya. Namun, sebelum Shane membunuhnya, ia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Aimee akan melawan ketakutannya pada Shane. Ia memang akan membiarkan Shane bermain-main dengannya, tetapi ia tidak akan membiarkan Shane terlalu senang karena berhasil membuatnya takut.
♥♥♥♥♥
Shane masuk kembali ke kamarnya setelah mendengar bahwa Aimee telah selesai sarapan.
"Ikut aku, Aimee." Shane menggenggam tangan Aimee. Membawa Aimee ke bangunan belakang tanpa meminta persetujuan dari Aimee.
Bau anyir menyapa hidung Aimee, udara yang tidak sehat membuatnya merasa sesak. Pencahayaan di ruangan itu hanya sebuah lampu temaram. Kesan mengerikan langsung menyeruak begitu saja.
Mata Aimee membesar saat melihat Daniel dan Jeff di dalam ruangan itu. Bisa Aimee pastikan bahwa Daniel telah tewas. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Aimee. Meski ia mencoba untuk mengusir ketakutannya, ia tetap saja merasa takut.
Shane. Shane pasti telah membunuh Daniel.
"Kee, bangunkan b******n itu!" Shane memerintah Keenan.
Keenan menyiramkan air ke kepala Jeff hingga Jeff tersadar.
Shane menunggu Jeff sepenuhnya sadar. Tidak akan menyenangkan jika bermain dengan Jeff ketika pria itu setengah sadar.
"A-ampuni aku, Tuan Shane." Jeff sama seperti Daniel. Ia meminta pengampunan dari Shane yang tidak kenal kasihan.
"Tidakkah kau mendengar nama besarku, Jeff?" Shane menatap Jeff datar.
Jeff diliputi rasa ngeri. Berurusan dengan Shane adalah hal yang harus dihindari oleh siapapun yang mau hidup. Shane tidak bisa disentuh oleh hukum karena kekuatan keluarga yang Shane miliki. Lebih tepatnya kekuatan istri Shane.
"Aku mohon, Tuan Shane. Aku, aku ingin hidup."
"Setelah kau menyentuh wanitaku?"
"Maafkan aku, Tuan. Aku tidak tahu jika dia adalah wanitamu."
Shane mengangkat wajah Jeff. "Pernahkah kau mendengar aku memaafkan orang lain, Jeff?"
Jeff menangis. Ia masih ingin hidup. "Daddy, Daddy selamatkan aku."
Shane tertawa geli mendengar rengekan Jeff. "Keenan, bunuh tua bangka Nicholas Danson!" perintahnya tanpa melepas tatapan matanya dari Jeff.
Jeff menggelengkan kepalanya. "Tidak! Jangan lakukan itu."
Namun, terlambat. Keenan sudah meninggalkan ruang penyiksaan.
Shane beralih ke Aimee yang diam sedari tadi. Entah apa yang dipikirkan oleh wanitanya.
"Aimee, harus aku apakan pria yang sudah menyentuhmu?" tanyanya tenang.
Aimee diam. Apalagi yang mau Shane lakukan.
"Jawab aku, Aimee!" Shane bersuara lagi.
"Aku mohon ampuni aku, Nona." Jeff memelas pada Aimee.
Aimee tidak mungkin mengampuni Jeff yang hampir memperkosanya, ya walaupun pada akhirnya ia tetap saja diperkosa oleh orang lain.
"Bicaralah, Aimee. Aku harus membunuhnya dengan cara apa? Cara yang sangat menyakitkan atau cara cepat?"
Aimee menatap Shane tidak percaya. Bagaimana bisa pria itu membunuh dengan sangat mudah seolah nyawa manusia tidak ada artinya.
"Lepaskan dia." Aimee lebih baik melepaskan Jeff daripada harus membuat Jeff kehilangan nyawa. Melihat Jeff yang sudah babak belur sudah cukup bagi Aimee. Toh, pada akhirnya ia tetap terjebak dengan pria sakit jiwa alih-alih terbebas dari pria m***m.
"Aku hanya memberimu dua pilihan, Aimee. Dan melepaskan dia tidak ada dalam pilihan," balas Shane. "Mati dengan cara cepat atau dengan cara yang paling menyakitkan?"
Aimee tidak membuka mulutnya. Ia tidak akan menggunakan kata-katanya untuk membunuh orang.
"Karena kau diam saja maka aku yang akan membantumu memilih." Shane berhenti bertanya. Ia mendekat pada Jeff.
Shane memegang tangan Jeff, memaksa jemari Jeff terbuka. "Jemari ini yang kau gunakan untuk menyentuh milikku, bukan? Lancang!"
Krak!
"Akhh!!" Jeff menjerit sakit.
Jantung Aimee seperti terlepas dari tempatnya. Matanya tidak ingin menyaksikan kejadian mengerikan di depannya, tetapi ia sudah terlanjur melihat. Kejadian itu pasti akan berputar di otaknya seperti pembunuhan satu bulan lalu.
"Hentikan! Hentikan!" Aimee tidak ingin melihat lebih lagi.
"Hentikan?" Shane menggelengkan kepalanya. "Aku baru saja mulai, Aimee."
Aimee hendak membalik tubuhnya. Namun, terhenti karena suara teriakan Jeff. Kali ini Keff kehilangan 5 jari di tangannya yang lain.
"Keluar dari sini maka aku akan memotong jarimu, Aimee."
Kaki Aimee melemas. Ia terduduk di lantai lembab ruangan itu.
"Lihat ke sini, Aimee! Aku akan menunjukan padamu bagaimana nasib orang yang berani menyentuhmu," perintah Aimee.
Aimee tidak bisa berbalik. Ia tidak sanggup menyaksikan kekejaman Shane.
"Aimee!" bentak Shane.
Aimee bergetar. Mau tidak mau ia membalik tubuhnya. Air mata kembali mengalir di pipinya. Jantungnya terasa seperti ditekan oleh batu besar. Sangat sesak. Ia ketakutan setengah mati.
"Mata ini. Mata ini telah lancang melihat milikku!" Shane menusuk belatinya ke bola mata Jeff.
Kali ini bukan hanya Jeff yang berteriak, tetapi juga Aimee. Perut Aimee terasa mual karena pemandangan di depannya.
Jeff menyesal, ia benar-benar menyesal menyentuh Aimee.
"Hentikan! Aku mohon hentikan!" Aimee terisak. Hatinya sangat sakit. Sudah cukup. Sudah cukup baginya untuk melihat apa yang Shane lakukan.
Shane tidak mendengarkan Aimee. Ia menusukan belati ke bola mata Jeff yang lainnya. Lolongan kesakitan Jeff makin membuat kepala Aimee seperti ingin meledak.
"Bunuh dia dengan cara cepat. Aku mohon," Aimee putus asa.
Shane tersenyum tipis. "Akan aku lakukan sesuai keinginanmu, Aimee."
Kejadian seperti satu bulan lalu terulang kembali di depan mata Aimee. Ia menyaksikan Shane menikam orang.
Aimee benar-benar merasa lemas. Kesalahan apa yang ia lakukan di masalalu hingga ia mendapat hukuman berurusan dengan pria seperti Shane.
"Kau menentukan pilihan terlalu lama, Aimee." Shane mendekat ke Aimee dengan tangannya yang berlumuran darah.
Aimee reflesks mundur. Ia tidak bisa menghadapi Shane. Ia tidak bisa menekan ketakutannya. Shane bukan manusia. Shane adalah iblis.
"Menjauh dariku. Menjauhlah," seru Aimee bergetar.
Shane bukan menjauh melainkan semakin dekat. Ia meraih tubuh Aimee. Menggendong Aimee dengan kedua tangannya yang basah oleh darah.
"Turunkan aku. Turunkan aku. Aku mohon," pinta Aimee.
"Kau tidak bisa berjalan dengan kakimu yang gemetaran, Aimee. Aku membantumu."
Shane selalu saja bersikap seperti malaikat setelah menunjukan sisi iblisnya pada Aimee. Ia seolah lupa bahwa dirinyalah yang telah membuat Aimee seperti ini.
"Jangan melawanku. Turuti saja kemauanku maka kau tidak akan melihat kejadian seperti tadi lagi. Aku tidak akan membunuh di dekatmu jika kau menuruti semua keinginanku." Shane menatap Aimee lembut. Pria itu berubah begitu cepat.
"Aku menginginkanmu di sisiku, Aimee. Jangan pergi dariku, maka kau akan aman."
Aimee ingin sekali menjawab perkataan Shane. Bagaimana bisa ia aman saat ancaman terbesar dalam hidupnya adalah Shane.
"Kau mengerti maksudku, kan?" tanya Shane lembut.
Mulut Aimee terkunci rapat. Menjawab pertanyaan Shane terasa begitu sulit baginya.
"Aku tidak suka mengulang kata-kata, Aimee. Jadilah wanita yang cerdas." Shane mengubah nada suaranya kembali dingin.
"Aku ingin pergi. Aku tidak bisa bersamamu." Aimee mengutarakan keinginannya bersama dengan air mata yang menetes di pipinya.
"Bukan kau yang menentukan di sini, Aimee, tapi aku. Dan aku tidak akan membiarkan kau pergi," geram Shane. Mendengar Aimee mengucapkan kata pergi membuatnya ingin menghancurkan seisi dunia. Tak akan pernah ia biarkan Aimee meninggalkannya. Tidak akan pernah.