Hari demi hari berlalu, dan Tavisha terus menanti. Waktu seakan mempermainkan gadis berusia dua-puluhan itu, memutar-mutar harapan seperti benang yang tak pernah berakhir. Ada kalanya Tavisha hampir menyerah, hampir menganggap bahwa penantian ini adalah sebuah ilusi yang tak akan pernah menjadi nyata. Namun, di balik setiap keputusasaan, ada secercah keyakinan yang terus menyala, seolah menunggu saat tepat untuk muncul.
Dan hari itu tiba, dari kejauhan Tavisha melihat sosok Daniel melangkah perlahan menuju tempat ia berdiri. Setiap langkahnya terasa seperti irama yang menghapus semua rasa cemas dan keraguan yang menyelimuti Tavisha selama beberapa hari terakhir.
Pagi tadi Daniel menghubungi Tavisha, laki-laki itu mengirim pesan singkat, Daniel bilang ingin bertemu dengan Tavisha. Dan disinilah mereka berada, sebuah tempat dengan kaca-kaca besar transparan yang menutupi kehidupan laut.
"Emang hari ini Mas Daniel nggak kerja?" tanya Tavisha, mereka berjalan beriringan di lorong aquarium, dikelilingi oleh ikan-ikan yang melayang dengan anggun.
"Hari ini gue cuti, khusus buat lo"
Kepala Tavisha mendongak, "Hah? Kok buat aku?"
Daniel tersenyum, "Karena selama beberapa hari terakhir, gue sama sekali gak kasih kabar ke lo, Sha. Di perusahaan lagi ada masalah, so, semua atensi gue tertuju kesana"
"Terus sekarang gimana, Mas?"
"Permasalahannya udah teratasi, mommy sama daddy beneran kompak banget. Kita bertiga dibantu yang lain bekerja keras buat menemukan jalan keluarnya"
"Ahhh, syukurlah. Semoga kedepannya nggak ada lagi masalah-masalah ya, Mas"
Sebagai jawaban Daniel hanya mengangguk, sebelah tangannya meraih tangan Tavisha, dia menggandeng gadis itu.
"Selama gue sibuk, kegiatan lo ngapain aja?"
"Apa ya? Emm, kayak biasa aja sih, Mas. Kuliah, bantuin Mama di SummerX, sesekali main sama Clara"
"Kayaknya keberadaan gue nggak begitu berpengaruh ya buat lo?"
"Engga gituuuuu," Tavisha buru-buru menggeleng, dia menatap Daniel. Langkah kaki mereka berhenti tepat didepan sebuah aquarium raksasa, berbagai jenis ikan menari-nari menelisik terumbu karang berwarna-warni.
"Terus?"
"Ya.. sebenernya aku kangen sama Mas Daniel. Cuma ya, apa ya, kita kan belum itu.. pacaran. Jadi, aku putuskan buat menyibukan diri biar nggak keinget sama Mas Daniel terus"
"Cute."
Udah gitu doang?
Padahal Tavisha sudah berharap banyak, dia berharap kisahnya seperti di buku-buku, apakah kodenya kurang keras? Kedua netranya menatap wajah tampan Daniel yang hanya di terangi oleh cahaya minim dari dalam aquarium. Harusnya tadi Daniel langsung nembak, kan? Kayak di buku-buku, atau drama yang ia tonton bersama Vanesha.
"Ada tempat lain yang pengen lo kunjungi nggak? Hari ini gue bakal temenin lo, kemanapun itu"
Tavisha tampak berpikir sejenak, dia tidak akan langsung menjawab tanpa berpikir sebab kesempatan seperti ini datang hanya sekali saja.
"Temenin aku grocery shopping yuk, Mas. Abis itu aku bakal masakin kamu, terserah Mas Daniel pengen makan apa, gimana?"
"Menarik,"
"Berarti setuju ya?"
"Iyaaa"
"Mas, foto berdua yuk!"
Daniel mengangguk sekali lagi, dia terus mengikuti semua keinginan Tavisha. Melihat gadis itu tersenyum sembari menunjuk ikan-ikan yang berenang cepat, tanpa sadar Daniel ikut tersenyum, lihatlah betapa bahagianya wajah Tavisha saat bercerita tentang jenis-jenis ikan langka yang tertangkap oleh matanya.
Suara lembut namun penuh semangat mengisi ruangan kosong diantara mereka berdua, menjadikan setiap langkah terasa lebih dekat.
"Sebelumnya pernah datang kesini, Sha?"
"Belum, Aquarium date tuh salah satu wishlist aku, sesuatu yang pengen aku lakuin kalau seandainya punya pacar, Mas."
"Oh ya? Tapi dilihat dari cara lo menjelaskan banyak hal, siapapun yang nggak tau pasti bakal ngira lo itu tour gate yang lagi jelasin banyak hal ke peserta tour"
"Eh??"
Harus bagaimanakah Tavisha berekspresi? Dia di samakan dengan tour gate alih-alih keduanya melakukan adegan romantis seperti merangkul, berpegangan tangan, atau berfoto bersama.
"Lanjut lagi? Kayaknya masih banyak yang belum kita lihat"
Tavisha menghela napas lirih, menyusul Daniel yang sudah melangkah lebih dulu.
○○○○
Waktu memiliki cara ajaibnya sendiri untuk melipat dan mengubah segalanya. Dalam hidup yang ia pilih, Tiara tidak pernah menyangka bahwa setelah bertahun-tahun terpisah, dia dan Lucas akan bertemu lagi di tepi jalan raya oleh sebuah insiden. Seolah-olah waktu yang telah berlalu hanya menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan kembali cerita lama yang tersimpan dalam kotak kenangan.
Lucas tidak ingin berlama-lama, dia segera menghubungi Tiara kemarin malam, dan hari ini mereka berdua membuat janji temu disebuah coffee shop bernuansa classic.
Saat pintu kayu berderit terbuka, aroma kopi baru diseduh langsung menyambut indera penciuman Tiara.
Dalam hati ia memuji tempat ini, selera Lucas cukup menarik. Apapun yang berkaitan dengan Lucas selalu menarik di mata Tiara.
"Hei, Cas!"
"Eh, hei"
Lucas ternyata sudah datang lebih dulu, dia duduk di salah satu kursi dekat jendela yang mengarah langsung ke pekarangan. Musik jazz klasik mengalun lembut dari speaker kecil yang ada di sudut ruangan. Melengkapi nuansa nostalgia yang mendalam.
"Sori ya gue telat, ada kerjaan dikit, plus macet"
Tiara segera duduk, dia bukan putri yang harus menunggu laki-laki menarik kursi untuknya.
"Gue juga baru dateng, lima menit yang lalu"
"Pilihan tempatnya bagus banget, gue suka, comfy gitu. Mana disetiap penjuru aroma kopinya pekat"
"Kalo lagi suntuk gue sering kesini sendirian"
Sedikit informasi, dulu saat SMA, Tiara merupakan secret admirer-nya Lucas. Dia rajin meletakan coklat putih ke loker Lucas tanpa ketahuan, hal itu dilakukan bertahun-tahun. Bahkan saat dirinya telah menjalin hubungan dengan Daniel, menyelipkan cokelat putih tetap menjadi kegiatan rutin Tiara.
"Next time ajakin gue deh, ya?"
"Setelah sekian lama nggak ketemu, lo banyak berubah, Ti"
Tiara hanya tersenyum, dia mengangkat sebelah tangan, memanggil pegawai coffee shop. Mereka berdua memesan dua minuman dan beberapa camilan.
"Nggak ah, gue masih sama. Cuma emang gue lagi males potong rambut aja, sisanya masih sama"
"Nggak, dari cara lo bicara, udah beda, Ti."
Terakhir kali Lucas melihat Tiara, gadis itu masih berambut pendek, tidak ada yang berubah, hanya usianya saja yang bertambah. Lucas tau Tiara pernah jadi penggemar rahasianya, tapi apa boleh buat, gadis itu telah memiliki pacar, dan pacarnya adalah sobat karibnya.
"Well, lo nggak salah, gue ngaku. Banyak hal udah berubah dari diri gue. Profesi gue sebagai designer menuntut gue buat mengubah intonasi dan gaya bicara jadi lebih lembut. Selain itu, soal penampilan, gue harus bener-bener memperhatian setiap pakaian yang nempel di tubuh gue, nggak bisa sembarangan"
"Gila ya, Tiara yang judes dan jutek itu kayaknya beneran udah memudar"
"Bukan memudar lagi, udah ilang kayaknya" Tiara tertawa, "Lo sendiri gimana? Setelah lulus sekarang kerja dimana?"
"Udah ketebak gak sih? Gue jadi PA-nya Bang Kai"
"Waahh, keren dong."
"Nggak ada, yang ada hari-hari gue disuruh ini lah, itu lah."
"Lah, ini sekarang lo disini, nggak kerja?"
"Bolos, Bang Kai lagi ke luar negeri, jengukin Mama sama Papa"
Tanpa bercerita lebih detail, Tiara langsung paham. Dulu, saat Daniel pergi untuk menempuh pendidikan sarjana di luar negeri, hubungan Tiara dan Lucas jadi semakin dekat, toh saat itu status Tiara jomblo, sah-sah saja dia ingin dekat dengan siapa, meski dia tau hatinya hanya untuk Daniel.
Disitu, Lucas berbagi cerita tentang hubungan dia dan kedua orang tuanya, tidak banyak yang ia ceritakan, namun cukup untuk Tiara mengambil kesimpulan.
"Harusnya lo nggak disini, Cas" Tiara tersenyum lembut, senyumnya yang manis tak akan membuat Lucas tersinggung.
"Gimana ya, Ti. Harusnya gue emang gak disini, tapi ikut Bang Kai juga bukan pilihan yang baik. Gue masih belum siap, rasanya pasti canggung banget"
"Kok bisa? Bukannya lo masih sering dinner sama mereka? Yah, meskipun di hari-hari tertentu aja"
"Belakangan udah nggak, karna Bang Kai juga sibuk sama kerjaan dan keluarganya sendiri. Mungkin Mama sama Papa gak mau ganggu waktu anak-anaknya"
"Cas, ini gue bukan bermaksud menggurui ya. Selagi mereka masih ada, please perlakukan mereka dengan selayaknya anak memperlakukan orang tua. Umur Mama sama Papa lo juga udah menua, nggak seharusnya lo masih menyimpan rasa kecewa itu"
"Gue juga nggak mau kayak gini, Ti. Tapi gue juga gak bisa mengontrol diri sendiri"
Tangan Tiara mengusap punggung tangan Lucas, menyalurkan ketenangan.
"Atau, mau gue temenin nyamperin nyokap sama bokap lo? Gimana?"
"Ide buruk! Mereka bakal ngira lo calon istri gue, dan mereka pasti bakal excited banget!"
"Ah, banyak alasan"
○○○○
Malam itu, Tiara memutuskan untuk istirahat sejenak dari kesibukannya di butik. Sudah lama sekali dia tidak duduk santai berdua dengan Bunda Intan. Perempuan bertubuh tinggi semampai itu bergabung dengan Bunda Intan yang tengah duduk di teras.
Tiara menyandarjan tubuh pada kursi rotan yang nyaman, dikelilingi oleh tanaman hijau yang rimbun. Bunda Intan sedang merajut sebuah beanie dari benang berwarna cream, sedangkan Tiara memegang secangkir teh hangat untuk mengisi udara dengan aroma chamomile.
"Aahhh, udah lama kita nggak duduk bareng kayak gini ya, Nda"
Bunda Intan membenarkan letak kacamatanya, "Kenapa? Kangen sama Bunda?"
"Tiap hari kan ketemu, Nda"
"Kamu sih, makin kesini bunda liat makin sibuk aja"
Tiara terkekeh, meski sedari tadi Bunda Intan tak mengalihkan tatapan dari jemarinya yang menari bersama benang, ia tau anak perempuannya tengah menyunggingkan sebuah senyuman.
"Iya kan sibuk cari uang, Nda. Bukan sibuk keluyuran gak jelas, selagi positif mah nggak apa-apa"
"Harusnya dulu Bunda nikah lagi aja gak sih, Ti?" Kali ini Bunda Intan menatap Tiara.
Yang ditatap hanya mendengus, "Terus kenapa nggak nikah aja? Ikut suami, ninggalin aku sendiri disini"
"Aduh, sensi banget sih anak perempuan bunda" Benang yang sedari tadi melilit tangan Bunda Intan di uraikan, lantas menaruhnya diatas meja. "Nggak lah, Ti. Bunda cuma bercanda tau"
Kedua netra cokelat milik Tiara menatap ke arah tanaman-tanaman yang di susun rapi, gadis itu mengerutkan kening, "Bunda habis beli bonsai lagi?"
Cengiran sang Bunda telah menjawab semuanya, Tiara menggigit bibir. Entah berapa nominal yang Bunda-nya keluarkan untuk membeli bonsai ke-tujuh itu.
"Satu doang, Ti.. hehehe"
Mau gimana lagi? Bunda Intan memang suka sekali mengoleksi tanaman.
Di tengah percakapan ringan tersebut, pandangan Tiara juga tercuri oleh wajah yang semakin menua disampingnya, kerutan-kerutan halus tampak lebih mendalam saat Bunda Intan tersenyum.
"Nda,"
"Hm?"
"Makasih ya,"
"Untuk apa?"
"Makasih udah mau nerima Tiara, jadi single parent pasti nggak mudah, tapi bunda nggak pernah nyerah. Bunda juga nggak pernah ngeluh. Aku bersyukur banget punya bunda"
Entah, kenapa malam ini berubah jadi lebih sensitif. Bunda Intan terdiam, menatap Tiara dengan senyuman sekaligus tatapan mata berkaca, seolah lewat tatapan mata itu beliau mengungkap rasa banga sekaligus syukur atas keberadaan Tiara.
Tangan Bunda Intan mengusap kepala Tiara, "Bunda tuh selalu pengen melindungi kamu, gak peduli sekarang kamu udah dewasa, udah bisa melindungi diri sendiri," Bunda menjeda kalimatnya, "Kadang bunda juga mikir, gimana kalau bunda pergi sebelum kamu bertemu jodohmu, pasti bunda khawatir banget"
"Ish! Bunda ngomong apaan sih?!"
"Nanti kamu akan paham kalau udah jadi orang tua. Orang tua pasti selalu berharap anaknya mendapatkan yang terbaik"
Keduanya saling melempar senyuman, teh camomile yang sejak tadi dibiarkan tergeletak di meja kini mulai menyentuh bibir mereka.
Bunda Intan dan Tiara sama-sama terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing seraya memandang langit malam. Pandangan Tiara melayang dari satu bintang ke bintang lain, dia bahkan mencoba membayangkan jarak yang memisahkan mereka, disebuah ruang tak terhingga.
Lalu, Tiara teringat akan sesuatu.
Perempuan itu melirik ke arah Bunda Intan, ia berdehem, "Nda,"
"Kenapa, Ti?"
"Bunda inget sama Lucas?"
"Lucas temen kamu? Yang anaknya tinggi? Kulitnya kecoklatan?"
Tiara mengangguk, "Kemarin aku ketemu lagi sama dia, Nda"
"Oh ya??" Bunda tampak tertarik, "Dimana? Udah lama banget Bunda nggak ketemu sama dia. Sekarang tinggal dimana? Kok nggak pernah main ke rumah lagi?"
Tentu saja Bunda Intan mengingat Lucas, bukan hanya mengingat, Bunda bahkan merasa dekat dengan laki-laki itu. Bisa dikatakan Lucas itu teman dekat Tiara, bahkan posisinya bisa menggantikan Bima.
"Dia nggak tau alamat baru kita, Nda. Kemarin aja ketemu secara nggak sengaja di pinggir jalan, dia nabrak mobil aku. Eh, pas aku turun buat negur, yang muncul malah Lucas."
"Ajakin ke rumah dong, Ti. Kamu tau nggak, pas kamu di London, Bunda sering banget di tolong sama Lucas. Setiap bunda butuh bantuan, dia pasti dateng, apalagi kalo lagi libur kuliah, dia pasti semangat mau nyusulin kamu ke London"
"Dari dulu dia emang baik, Nda. Tapi kalo orang gak kenal pasti ngira Lucas itu sombong"
"Besok deh, ajakin dia kesini. Nanti bunda masakin yang enak-enak"
"Aku yakin Lucas nggak bakal nolak sih"
"Oh iya, Ti"
"Kenapa, Nda?"
"Ngomong-ngomong soal Lucas, dia udah ada istri belum sih? Secara sekarang umurnya sepantaran kamu"
"Kayaknya sih belum ya, Nda. Hari ini aku ketemu sama dia, banyak ngobrol-ngobrol, tapi dia sama sekali gak bahas soal pernikahan"
"Waah, pas nih--"
"Pas apaan sih, Nda? Inget, Lucas tuh beda server sama kita"
Tiara tau kemana arah pembicaraan Bunda Intan. Kalau ada yang single, masa depan cerah, umur matang, berkelakuan baik, udah pasti bakal dijadiin target.
"Oh iya, bunda lupa" perempuan paruh baya itu menepuk jidat, "Sayang banget ya, Ti. Seandainya kalian seagama, udah pasti Bunda restui misal kalian mau nikah"
"Hahaha, dasar bunda!"
Ada momen konyol yang Tiara ingat, mengenang hari-hari itu, Tiara merasakan campuran antara rasa rindu dan kebahagiaan. Rindu akan masa-masa yang telah berlalu, dan bajagia karena telah mengalaminya.
"Inget nggak, dulu kamu pernah minta bunda jadi supir pas mau nganterin box ke rumah Lucas"
Sontak, mengingatnya membuat Tiara memecahkan tawanya, benar-benar konyol.
"Ingetlah pasti, mana bunda mau-mau aja lagi. Terus, bukannya ketemu Lucas malah ketemu kakaknya, aduh, kalo diinget masih aja malu, Nda"
"Ya iyalah, mana ada cewek yang nekat datengin rumah cowok yang di suka terus ngasih box yang isinya coklat sama surat? Harusnya kan cowok yang kasih ke cewek"
"Tapi aku nggak nyesel tau, Nda. Setidaknya ada cerita di masa remajaku, meskipun agak memalukan"
Kadang, Tiara merasa nostalgia singkat ini seperti sebuah jembatan antara masa lalu dan masa kini, menghubungkan siapa Tiara yang sekarang dan siapa Tiara yang dulu. Dengan setiap kenangan, Tiara belajar untuk menghargai setiap perjalanan yang telah dilalui, tak peduli perjalanan itu menyenangkan atau justru menyulitkan.
"Cerita-cerita kayak gini bikin aku pengen balik ke masa SMA deh, Nda"
"Balik ke masa SMA, dan ketemu sama Daniel lagi, Ti?"