Ayudia menopang dagu menggunakan telapak tangan, menatap lurus ke arah Lucas yang sepertinya tak peduli akan keberadaan dia disana, padahal sudah dua jam Ayudia duduk setia di sofa tanpa protes.
Sejak dua jam itu pula atensi Lucas fokus menatap layar komputer besar di hadapannya, seolah tidak ada orang lain selain dirinya disana.
Kaisar sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, Lucas memilih tinggal di kantor daripada ikut sang kakak, di rasa Kaisar bisa mengatasi pekerjaan tersebut sendiri, dia mengizinkan Lucas untuk tetap tinggal.
"Ehem!"
Lucas tau itu kode, dia sebenarnya juga tidak ingin mengacuhkan Ayudia, tapi mau bagaimana lagi, pekerjaan Lucas menumpuk dan harus segera di selesaikan hari ini.
"Eheeem!"
"Oke, fine."
Lucas menyerah, dia membanting bolpoin di atas meja kerja, lantas mengangkat kepala menatap Ayudia yang duduk di kursi seraya bermain ponsel.
"Gue minta maaf." Lucas akhirnya berbicara kembali, wajahnya lelah, "Gue tau gue salah karena udah janji nemenin lo pergi hari ini, tapi lo liat sendiri kerjaan gue lagi banyak, Dy"
Ayudia jengkel, tentu saja!
Dia sudah membuang 2 jam untuk menunggu Lucas sampai mati kebosanan di atas sofa, dan sekarang liat, Lucas seenaknya berbicara seperti itu.
“Kenapa nggak bilang dari tadi sih?!"
Kali ini, Ayudia tidak bisa menyembunyikan raut wajah jengkel.
Hari ini, rencananya Ayudia mau ke mall beli kado untuk Mamanya, dan dia meminta Lucas menemani. Tidak ada unsur paksaan, toh Ayudia bisa pergi sendiri jika Lucas tidak mau. Tapi, masalahnya Lucas setuju. Dia bahkan janji mau nemenin Ayudia cari kado.
Itulah sebabnya Ayudia tertahan disini, menunggu Lucas.
"Karena gue pikir kerjaan gue bisa ditinggal barang sejam-dua jam. Tapi ternyata gak bisa, semuanya harus selesai hari ini"
“Ini beneran gak bisa? Bentaran doang, Cas"
“Hm, my bad."
Oke, Ayudia mengalah. Melihat wajah lelah Lucas dia jadi tidak tega bahkan untuk sekedar menyalurkan rasa jengkelnya. Perempuan itu akhirnya tidak bertanya dan membujuk lagi.
Ayudia berdiri, dia meraih tas jinjingnya.
"Yaudah deh, gue pergi sendiri aja. Lagipula gue udah membuang banyak waktu disini, jangan lupa makan, Cas. Istirahat kalau lelah"
Setelah itu, Ayudia melangkah keluar. Dia tidak marah, sungguh, lagipula ini semua tidak seberapa dibanding waktu yang selama ini ia buang hanya untuk mengejar Lucas.
Tatapan mata Lucas mengikuti kepergian punggung Ayudia hingga menghilang di balik pintu. Mendadak, perasaan bersalah itu muncul. Lucas menepis gelenyar aneh di d**a, dia mencoba kembali fokus pada pekerjaan yang tengah ia garap.
Sepuluh menit, tidak sampai.
Fokus Lucas kembali terpecah, wajah lesu Ayudia menghantui dirinya. Perasaan bersalah itu muncul. Lucas mengusap wajah kasar, laki-laki itu menyimpan worksheet-nya sebelum mematikan layar komputer.
Tangannya cekatan menyambar kunci motor, jaket, dan dompet. Hari ini Lucas memang sengaja bawa motor sebab dia tidak harus jadi supir pribadi Kaisar. Dengan langkah kaki jenjangnya, Lucas keluar ruangan, mengejar Ayudia dengan membawa harapan semoga Ayudia masih ada di area gedung perkantoran ini.
Turun dari lift, Lucas yang awalnya berjalan cepat kini mendadak menghentikan langkah kakinya saat menemuka Ayudia duduk di sofa lobi, sepertinya dia tengah melakukan panggilan telepon entah dengan siapa.
Sejujurnya, Lucas bukan orang yang suka kepo dan mencampuri urusan orang lain. Tapi entah kenapa, sekarang dia begitu penasaran dengan siapa yang di hubungi oleh Ayudia.
Apakah memang seperti ini perilaku orang jatuh cinta?? Suka curiga bahkan untuk hal paling sederhana?
"Posisi lo masih di tempat kerja, kan? Kelamaan kalo lo jemput gue disini, lagian gue bawa mobil, biar gue aja yang jemput lo"
Jemput?
Itu artinya Ayudia tidak akan pergi sendiri seperti apa yang perempuan itu katakan diatas tadi. Perasaan aneh, semacam tak suka jika di bohongi itu datang, siapa yang di telpon Ayudia?
"Okay, okay, thanks ya udah luangin waktu buat nemenin gue cari kado, gue jalan sekarang....hahaha iya, naik mobil maksudnya, yakali jalan beneran"
Lucas mengepalkan telapak tangan, kesal. Seharusnya dia bisa langsung menghampiri Ayudia, memintanya untuk membatalkan janji temu dengan siapapun yang ada di telepon itu, lalu Lucas sendiri yang akan mengantarkan Ayudia cari kado.
Lain di pikiran, lain juga di tindakan. Lucas justru diam, hingga Ayudia kembali berjalan keluar dari lobi.
Harusnya Lucas senang, kan? Ayudia udah ada temen cari kado, dan dia bisa kembali naik ke ruangannya, lantas lanjut bekerja.
Tapi tenyata hatinya berkata lain, alih-alih kembali ke ruangan, Lucas malah membuntuti Ayudia diam-diam demi memenuhi rasa penasarannya.
Karena Lucas naik motor, jadi dia bisa menyalip kiri kanan, meski begitu dia tetap menjaga jarak aman agar Ayudia tidak curiga dia sedang di buntuti.
Mobil perempuan itu berbelok, menuju salah satu gedung kantor milik pemerintah kota. Seorang laki-laki mengenakan seragam rapi telah menunggu di depan kantor, saat mobil Ayudia menepi, dia langsung masuk ke dalam.
Semakin di buntuti, semakin kesal Lucas di buatnya. Melihat Ayudia tertawa lepas, bercanda, dan bahkan tak segan-segan menggandeng lengan laki-laki berambut cepak hitam legam itu.
"Sialan, siapa sih cowok itu?! Gantengan juga gue."
Meski sudah geram, Lucas tetap membuntuti mereka, menyusuri rak-rak berisi Tupperware dengab harga fantastis (setidaknya untuk ukuran tempat makan).
"Ini kalo gue lempar ke muka tuh orang, gue kena pasal dan di penjara nggak?"
"Hahaha, inget nggak dulu Tupperware Mama sampai ketinggalan di rumah lo, dan berakhir tengah malem gue harus datang ke rumah lo ambil Tupperware-nya"
Wajah Ayudia sejak tadi tampak berseri-seri, sesuatu yang jarang Lucas lihat. Atau entah selama ini dia tidak menaruh perhatian lebih pada Ayudia.
Mendengar topik yang mereka bahas, sepertinya Ayudia dan si laki-laki itu sudah lama kenal.
"Inget juga nggak waktu mama bilang, 'Ayudia jadi mantu tante ya', terus lo langsung nolak dengan alasan gak suka cowok, hahaha, kocak!"
"Ya abis gue gak mau kasih harapan ke tante, tau sendiri gue suka sama cowok lain, kan."
"Ngomong-ngomong soal cowok yang lo taksir, gimana? Udah ada kemajuan? Udah bertahun-tahun, Dy, lo ngejar dia"
Wajah berseri-seri Ayudia mendadak pudar, berganti dengan senyum tipis.
"Lumayan ada kemajuan, tapi gue gak bisa berharap lebih. Apalagi di usia gue yang sekarang, kadang ada waktu dimana gue capek, gue juga pengen nikah sesuai target"
Laki-laki itu merangkul pundak Ayudia, memberi semangat.
"Kenapa lo nggak mau kasih gue kesempatan, Dy?"
Cukup!
Lucas tidak tahan lagi, apalagi setelah menguping pembicaraan dua orang itu membuatnya diliputi rasa cemas. Lucas keluar dari persembunyiaannya, dia berjalan dengan santai menghampiri Ayudia.
"Dy!" Lucas melambai, wajahnya tenang, meski dalam hati tidak setenang itu.
“Lucas??" beo Ayudia, terkejut dengan kedatangan Lucas secara tiba-tiba, "Kok lo disini?"
“Bukannya lo sendiri yang minta gue buat nemenin cari kado?” masih mempertahankan wajah flatnya Lucas menatap laki-laki yang berdiri di samping Ayudia.
“Lah, gimana sih. Lo sendiri yang bilang gak bisa nemenin karena lagi banyak kerjaan"
"Sekarang bisa"
"Aneh banget" Ayudia menatap heran ke arah Lucas, "Oh iya, sori ternyata gue gak jadi pergi sendiri, tapi perginya sama Daren"
Daren, itulah nama laki-laki yang sejak tadi bikin panas kuping Lucas.
"Salam kenal, Daren"
"Lucas"
Jabatan tangan mereka hanya beberapa detik, Lucas kembali mengalihkan tatapan pada Ayudia, "So, lo mau cari kado di temenin sama gue, atau dia??"
"Eh? Gue bisa sama Daren, lagian kerjaan lo banyak"
Ayudia tidak ingin mengganggu pekerjaan Daniel dengan urusan pribadinya, dia bisa bersama Daren hanya untuk sekedar cari kado. Menyadari tatapan Lucas yang tajam sejak tadi, Daren paham apa yang harus ia lakukan sekarang, meski agak menjengkelkan.
"Kayaknya gue gak bisa lama-lama, Dy. Harus balik ke kantor, lo bisa pergi sama Lucas"
Seraya mengatakan seperti itu, Daren mengedipkan sebelah mata, Ayudia tersenyum. Menurut Ayudia, Daren sengaja sebab ia tau siapa yang akan Ayudia pilih pada akhirnya.
“Yaudah kalau gitu, lo bisa pake mobil gue baliknya. Dadipada naik taksi"
"Nggak usah, Dy. Gampang kalau urusan balik kantor"
“Udah pake aja mobil gue, gue bisa balik bareng Lucas kok. Ntar gue kabarin kalo udah di rumah kalo mau balikin mobil gue"
Itu artinya mereka berdua akan bertemu lagi, sialan!
Daren menerima uluran kunci mobil itu, dia segera berpamitan dan mengucapkan terima kasih sebelum melenggang pergi. Kini hanya ada Ayudia dan Lucas, perempuan itu mendongak, memang harus seperti itu, Lucas tinggi banget soalnya.
"Mendadak muncul disini, tadi gue tungguin dua jam katanya gak bisa. Plin-plan banget jadi cowok"
Lucas menatap ke arah lain seraya menjawab, “Lo mau gue pergi lagi sekarang?”
Eh??
Ayudia lupa, dia sedang berhadapan dengan Lucas, jadi dia harus mengalah karena dia yang mencintai Lucas, bukan sebaliknya.
"Ya jangan!" Lagi, entah harus berapa ribu kali Ayudia menurunkan ego serta harga dirinya, "Lo disini aja nemenin gue, Daren kan udah pergi"
"Udah lama kenal sama dia?"
Mereka kembali berbicara, namun kali ini sambil berjalan menyusuri rak.
"Udah dari SMA, dia beda sekolah sama kita, cuma gue sama Daren tetanggaan"
Sebuah lengan mendadak melingkar di pinggang Ayudia, menyadari lengan siapa itu, Ayudia tersentak kaget. Lucas? Mendadak merangkul pinggangnya??
Plak!
"Sshhh, bukan mimpi." Gumam Ayudia.
"Jangan capek dulu, Dy. Karena gue gak tau caranya ngejar cewek"
Eh?? Ya tuhan, jantung Ayudia memompa lebih cepat, debarannya tidak bisa terkontrol, Ayudia yakin pipinya pasti memerah.
"Cas... ini tangan lo, gak perlu ngerangkul, gue oke kok"
Jantung gue yang gak oke!!
"Kenapa? Gak suka? Kalo gue lepas lo bakal pergi, karena lo udah capek kan, ngejar gue?" Tatapan Lucas membuat Ayudia semakin sinting, dia merasa ingin terbang.
"Udah, fokus cari kado aja."
Keduanya terus melangkah, sesekali berhenti apabila Ayudia melihat ada hal menarik. Meski ujung-ujungnya dia tidak jadi beli lantaran memiliki banyak pertimbangan. Lucas baru tau, menemani perempuan belanja akan memakan waktu selama ini. Seandainya dia tetap duduk di ruangan kerjanya, mungkin dia menyelesaikan worksheet-nya.
“Nggak sekalian aja satu mall lo kelilingi?”
“Kalo lo mau nemenin sih gue oke-oke aja”
“Stres.”
Keduanya masuk ke toko alat-alat elektronik, sejak dari pintu masuk tatapan mata Ayudia tercuri pada Air Fryer berwarna silver kombinasi hitam, tampak cantik, elegan, dan tentunya berguna.
“Gimana sama yang ini?” tunjuk Ayudia, Lucas mengangguk saja. Dia tidak paham.
“Dari tadi angguk-angguk mulu, kasih pendapat lo kek”
Lucas menghela nafas, “Mau gue kasih pendapat?” Ayudia mengangguk. “Hadiah terbaik itu keberadaan lo sendiri di samping Mama lo. Lo bahagia, lo menikmati hidup, dan tentu saja lo menghormati mereka dengan selayaknya, nggak ada yang lebih membahagiakan bagi orang tua selain melihat anak-anak mereka hidup dengan bahagia”
“Dan tetap waras.”
Entah bagian mana yang lucu, Lucas serta Ayudia tertawa. Bahkan SPG disana sampai keheranan melihat tingkah keduanya. Pilihan Ayudia adalah air fryer, jadi dia membungkusnya.
“Sini, biar gue yang bawa” kata Lucas, Ayudia sih iya-iya aja. Berat, bro!
“Gue laper, Cas. Mau makan dulu nggak?”
“Oke, kita makan"
Jadi, seperti ini rasanya dicintai meski belum sepenuhnya?
Bolehkah Ayudia merasa sedikit bahagia?
○○○○○
Brak.
Senyum Clara mengembang saat tumpukan kotak styrofoam diletakan di depannya. Gadis itu nyengir lebar ke arah Tavisha yang memasang wajah sebaliknya.
“Untuk yang terakhir kalinya lo malakin mas Daniel ya, Ra”
“Cieee,” goda Clara, “Sekarang udah nggak belain gue lagi nih, pindah haluan belain mas Daniel tercintah!” Clara menyenggol lengan Tavisha, "Mentang-mentang udah baikan"
“Bukan gitu” Tavisha ikut duduk, “Takutnya mas Daniel mikir macem-macem, soalnya lo pake nama gue buat minta semua ini”
“Aelah, Sha. Gini doang gak berasa buat mas Daniel yang bau duitnya kenceng banget”
Tavisha hanya menggelengkan kepala, percuma berdebat dengan Clara. Toh sahabatnya itu tidak akan mau mengalah, menganggap semua tindakannya selalu benar dan tidak perlu dipermasalahkan.
“Makan tuh, ngomong mulu”
“Iya ini juga mau makan, kocak.”
Ponsel Tavisha bergetar, panggilan dari Daniel masuk. Tanpa berpikir dua kali Tavisha langsung mengangkat telepon tersebut. Ternyata Daniel bertanya apakah makanan yang ia pesan sudah sampai. Dan Tavisha segera menjawab sudah, tak lupa dia juga mengucapkan terima kasih.
“Makasih juga dari gue, Sha” bisik Clara namun tak di hiraukan oleh Tavisha. Daniel memutus sambungan telepon dengan cepat setelah memastikan bahwa makanannya telah sampai tepat waktu. Hari ini Tavisha pergi jalan dengan Clara, Daniel tak menaruh curiga sedikitpun tentang makanan yang Tavisha minta padanya.
Di tempatnya berada, Daniel mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan. Menunggu seseorang keluar dari pusat perbelanjaan, seseorang yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak lima belas menit yang lalu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sosok Tiara Maharani memperlihatkan batang hidungnya, dia menoleh ke kanan dan kiri, rambut panjangnya diterbangkan oleh angin. Kacamata tipis bertengger manis di hidung, serta bibir yang senantiasa terkunci rapat.
Daniel memajukan mobilnya hingga berhenti tepat di depan Tiara, pintu mobil terbuka dan Tiara langsung masuk ke dalamnya.
“Bisa nggak sih sehari aja lo nggak ganggu hidup gue?!” Tiara mencecar Daniel tanpa basa basi saat dirinya sudah berada di dalam mobil laki-laki itu.
“Ganggu sama dengan kangen, Ti"
"Gombalan lo udah gak mempan di gue"
Tadinya, Tiara sedang sibuk bertemu dengan dua klien sekaligus. Dia harus fokus, tapi pesan yang Daniel kirimkan benar-benar menggangunya, alhasil Tiara menyelesaikan pertemuan itu sedikit lebih cepat.
"Hahaha, sial.banget gak sih? Gue jadi gak bisa gombalin lo lagi"
:Bodo amat, Niel. Udah tua juga, kelakuan gak berubah"
"Ya maaf, Ti. Sama lo doang gue begini," Kendaraan roda empat milik Daniel berhenti saat lampu merah, "Jadi, kita mau makan dimana?"
"Deket-deket sini ada resto seafood enak, itu sih kalo lo mau. Atau mau sekalian ke SummerX? Mana tau lo mau ketemu Tavisha"
"Jelek banget kalo lagi cemburu"
Tiara tertawa, namun terdengar sumbang dan di sengaja, "Umur gue udah gak pantes buat cemburu-cemburu, Niel."
"Padahal gue suka kalo lo cemburu"
"Maksudnya, lo suka kalo gue jelek?? Tadi katanya gue kalo cemburu jelek?!"
Yah, begitulah Tiara dan Daniel jika di pertemukan. Keduanya pasti akan terlibat adu mulut. Meski kesannya tidak akur, percayalah, hal seperti itu yang selalu di rindukan oleh keduanya.
"Biarin, biar gak ada yang suka sama lo kalo lo jelek, biar gue aja yang suka"
"Cih," Wajah boleh galak, namun hatinya berdebar sejak tadi, "Lagian ya, Niel. Gue liat-liat lo gabut banget, gimana mau jadi penerus Mommy coba?"
“Lo orang pertama yang bilang gue gabut, dan ciee... masih panggil mommy gue dengan mommy nih”
Tiara kelimpungan, membuat tawa Daniel pecah. Mereka tiba di resto seafood, Daniel segera keluar lebih dulu, lantas membuka pintu mobil untuk Tiara.
Keduanya masuk dan duduk di salah satu tempat dekat dengan kaca, “Lo aja deh yang pesen, gue doyan semua” Tiara menggeser buku menu ke arah Daniel. Mengikuti keinginan Tiara, Daniel memesan beberapa menu serta minuman yang tampaknya begitu segar bila masuk ke tenggorokan.
Selesai dengan urusan menu, Daniel melipat kedua tangan diatas meja, menatap intens ke arah Tiara.
“Kenapa lo nggak pacaran aja sama Lucas?”
Pertanyaan konyol itu sukses membuat tawa Tiara meledak, dia sampai terpingkal-pingkal dibuatnya.
“Daniel, Daniel,” Tiara menutup mulutnya agar tawanya segera berhenti. “Gue bukan lo yang bisa nyantol sana sini, apalagi gue pegang erat janji lo itu. Meski endingnya nggak seperti yang gue harapkan, it’s okay. Tapi dating sama Lucas, nggak pernah terlintas di pikiran gue”
“Untuk ukuran perempuan yang selalu menolak ajakan kencan gue, bahkan terima pun harus dengan paksaan, lo bener-bener sejatuh cinta itu sama gue, Ti?”
“Hm” Tiara mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia tengah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri serta dengan takdir yang sering bercanda padanya.
“Let’s continue that relationship, Ti”
Lenggang, Tiara terkejut dan dadanya berdebar bukan main. Bukan hanya Tiara, Daniel pun merasakan hal yang sama. Perasaannya membuncah, seperti akan meledak. Setiap kali bertatap langsung dengan Tiara rasanya Daniel ingin menghentikan waktu agar dia bisa lebih lama bersama Tiara.
“Lo gila, Niel.” Tiara menekankan kata gila agar Daniel sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan tadi.
"Dari dulu gue selalu gila, apalagi kalo menyangkut soal perasaan gue ke lo, Ti"
“Lo sadar nggak sih sama apa yang barusan lo ucapkan?” tanya Tiara tak habis pikir, “Gue emang selalu suka dan cinta sama lo, Niel. Tapi nggak berarti lo harus jadi milik gue."
“Gue sayang sama lo, Ti.” tanpa ragu Daniel mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
“Kalo lo beneran sayang sama gue, nggak mungkin lo ninggalin gue kayak gini, Niel.” Tiara mengangkat kedua tangannya, “Stop ya, Niel. Gue lagi mencoba berdamai sama keadaan, dan tolong jangan memperkeruh lagi”
"Gue bakal selesaikan urusan gue sama Tavisha"
Tiara tak lagi menjawab, dia membisu.
Makan siang mereka datang, Tiara lebih fokus menekuri makan siangnya meski dia tau Daniel terus saja memperhatikan dirinya. Sebuah udang besar yang sudah terkupas diletakan di piringnya.
“Makan yang banyak, lo kurusan sekarang”
“Nggak usah sok ngingetin, sendirinya aja makan yang banyak biar waras tuh otak.”
Sama-sama saling perhatian meski dengan cara yang berbeda, sama-sama masih menyimpan rasa meski terlihat tidak mungkin untuk kembali bersama. Keduanya akan saling berjuang mulai dari sekarang, Daniel akan berjuang untuk bisa dekat kembali dengan Tiara. Dan Tiara akan berjuang melupakan Daniel.