Pepatah mengatakan, bangunlah sebelum ayam berkokok agar rejekinya tidak dipatok. Lantas bagaimana jika laki-laki itu baru bisa tidur setelah ayam berkokok? Jet lag membuat sistem tubuhnya terpaksa harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Alhasil, pukul sepuluh pagi Daniel Dirgantara baru bisa membuka matanya.
"Daniel, ayo bangun! Hari ini kamu ada kunjungan ke pabrik!"
Suara gedoran pintu itulah biangnya, tapi Daniel tak bisa menghindar, mau tak mau laki-laki itu beranjak turun dari ranjang, bergegas ke kamar mandi.
Selang tiga puluh menit, Daniel bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan.
"After lunch aja lah, Mom, ke pabriknya."
"Liat, Dad. Ini baru disuruh kunjungan, gimana jadinya kalo udah disuruh pegang pabrik" Mommy Ana mengadu pada sang suami.
Ngomong-ngomong, Nathan bebas dari penjara satu tahun yang lalu. Dia tidak ingin kembali memegang pabrik lagi, menyerahkan segalanya pada sang istri. Biarlah dia membantu dibalik layar saja.
"Daddy maklum karna Daniel masih butuh penyesuaian. Nanti kalo udah saatnya, kamu nggak bisa malas-malasan kayak gini, Niel."
Bagi Ana, orang tua harus bisa menjadi inspirasi untuk anak-anaknya. Karena dengan begitu, anak-anak akan menghargai dan menghormati orang tua. Meski selama ini dia dan sang suami jarang--bahkan tidak pernah berada di rumah, setidaknya mereka bisa menjadi contoh kalau kegigihan dan kerja keras, pasti akan membawa hasil. Buktinya? Ya Daniel ini. Bisa tumbuh menjadi laki-laki dewasa berpendidikan dan juga tampan.
Perihal Daniel yang mengurungkan niat untuk menjadi seorang Astronot, Ana tidak pernah mempermasalahkan hal itu, dia membebaskan Daniel untuk mengambil jurusan apa yang laki-laki itu inginkan. Tidak perlu jadi Astronot, cukup jadi Daniel yang seadanya. Karena yang seadanya mungkin bisa jadi segalanya, kelak.
"Tuh, dengerin apa kata Daddy, Niel."
"Siap, Mommy-ku sayaaang. Sekarang aku laper, kangen masakan Mommy juga"
"Duh, ini anak nggak ilang-ilang tengilnya."
Nathan dan Daniel kompak terkekeh mendengar Ana yang menggerutu.
"Daddy ikut ke pabrik?"
"Liat ntar deh, Niel. Daddy masih belum siap ketemu sama orang-orang"
"It's okay, senyamannya Daddy aja. Lagipula, kejadian itu udah puluhan tahun yang lalu, dan Daddy juga udah bertanggung jawab"
Cup!
Ana tiba-tiba mendaratkan sebuah kecupan di pipi sang suami, perempuan paruh baya itu tersenyum manis. "I love you, Dad."
"Ekhem! Liat-liat dong, Mom, kalo mau mesra-mesraan tunggu aku pergi dulu"
"Kamu pasti iri, kan?" Goda Nathan, balas mencium pipi sang istri. Daniel semakin dibuat salah tingkah dengan kemesraan orang tuanya.
Jiwa bujang yang ingin segera menikah semakin menggelora. Tapi Daniel cukup tau diri kalau dia belum punya apa-apa. Dia akan menikah ketika semuanya sudah siap, agar kelak istrinya tidak perlu bersusah payah.
Daniel punya prinsip, dia menikah bukan untuk bercerai, apalagi karena masalah ekonomi.
"Nanti kalo kamu udah nikah juga harus gitu, Niel. Mesra ke istri, biar nggak berpaling"
"Yang lebih penting, kamu harus bisa memperlakukan istrimu sebaik mungkin. Jangan patriarki!"
"Siap!" Daniel membusungkan d**a sembari mempraktikan sikap hormat, mereka bertiga tertawa renyah mengiringi kegiatan makan.
"Ngomong-ngomong nih, kamu udah mikirin mau nikah umur berapa belum?" Jiwa Ibu-Ibu yang khawatir anaknya telat menikah keluar sehingga pertanyaan itu terlontar.
"Nggak ada target, Mom. Calon aja belum punya, ntar deh aku pikirin kalo senggang"
"Kerja dulu, Niel. Nanti kalo udah jadi orang baru nikah" ucap Nathan.
"Aye-aye, Captain!"
Sarapan menjelang siang itu diisi oleh suara-suara yang begitu Daniel rindukan, momen yang seakan takut ia bayangkan kini menjadi kenyataan. Dimana dia, Ana dan Nathan duduk akur di meja makan. Sayangnya, momen ini tidak lengkap tanpa ada sosoknya. Daniel dengan lahap memakan masakan Ana setelah sekian lama, wanita itu tetap cantik meski kemakan usia.
"Dad,"
"Iya?"
"Daddy yakin nggak mau ambil alih Kupido lagi? Maksudnya, aku pasti butuh waktu buat gantiin Mommy sama Daddy jadi penerus tunggal"
Keputusan Nathan untuk berhenti telah bulat, apapun yang terjadi dia telah berjanji pada dirinya sendiri agar tidak menarik perhatian publik setelah keluar dari penjara. Untuk itu, dia memilih kerja dibalik layar membantu Ana, istrinya.
"Kita berdua udah nggak muda lagi, Niel. Sebentar lagi Mommy sama Daddy memasuki usia pensiun, harapan kita kamu bisa handle pabrik sebelum kita pensiun"
"Daniel bakal kerja keras dan belajar secepat mungkin"
○○○
Kota Jakarta, menyimpan seribu satu kenangan, jalanannya, toko-toko, bahkan restoran yang dulu pernah ia singgahi untuk membeli makanan.
Lampu menyala merah, mobil Daniel harus berhenti. Terlihat anak-anak jalanan mulai menggenjreng gitar mereka mendekat dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Melihat hal itu, membuat rasa rindu Daniel pada anak-anak jalanan datang. Mungkin, lain kali dia harus main ke taman tempat dimana dia bisa menemukan anak-anak jalanan seperti yang enam tahun lalu ia lakukan.
"Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang. Dulu ditendang, sekarang ku disayang. Dulu, dulu, dulu ku menderita, sekarang aku bahagia...~"
Daniel mengecilkan volume musik di dalam mobilnya demi bisa mendengar suara itu, dia menurunkan kaca mobilnya, tersenyum ramah ke dua anak jalanan yang akhirnya tiba di samping mobilnya.
"Cita-citaku menjadi orang kaya. Dulu ku susah sekarang alhamdulilah..~"
Karena sebentar lagi lampu hijau menyala, terpaksa Daniel menghentikan pengamen itu menyanyi. Daniel memasukan dua lembar uang seratusan pada saku kumal baju pengamen itu.
"Suara lo bagus, makasih buat lagunya"
"Gue yang harusnya makasih, Bang. Akhirnya bisa pulang setelah ini"
Dua pengamen itu menepi saat lampu menyala hijau, Daniel kembali menaikan kaca mobilnya dan dia melanju melanjutkan perjalanan lagi. Terlalu banyak kenangan yang Daniel miliki disini, bahkan ketika papan Indomaret terlewati, Daniel teringat dia pernah putus dengan pacar ke 25 nya disana.
"Pesona buaya darat memang, tobat, Niel, udah tua juga" Daniel terkekeh sembari bermonolog. Dia tak menyangka, kalau sekarang usianya sudah 25 tahun. Perusahaan yang bergerak di bidang tekstil itu memiliki lima lantai, bangunan yang didominasi warna putih dan biru itu terlihat megah dari luar. Mobil Daniel dan Ana bergantian masuk ke dalam dan langsung parkir di tempat yang sudah disediakan khusus untuk pemilik perusahaan.
PT KUPIDO plang besar itu menempel pada pintu lobi, Daniel tersenyum menatapnya, akhirnya hari ini tiba.
Masuk ke lobi, mereka berdua disapa ramah oleh resepsionis dan seorang laki-laki, usianya mungkin dua atau tiga tahun diatas Daniel.
"Siang, Bu."
"Siang, ruang meeting udah kamu siapkan?"
"Sudah, Ibu bisa langsung menuju kesana."
Ana, Daniel, dan laki-laki tadi memasuki lift yang akan membawa mereka menuju ke lantai empat. Disana ada ruang meeting luas, hampir semua staf sudah berkumpul menunggu kedatangan Ana, dan mungkin juga Daniel.
"Selamat siang, semua."
"Siang"
"Siang, Bu"
Daniel tidak tau jika kharisma Ana akan memancar saat beliau berdiri diantara para staf perusahaan, menatap semua orang yang telah berkumpul disana.
"Terima kasih saya ucapkan karena mau meluangkan waktunya," Ana melirik ke arah Daniel seraya tersenyum, "Hari ini, saya ingin memperkenalkan putra tunggal yang nantinya akan menggantikan saya, memegang penuh tanggung jawab atas perusahaan. Semuanya, perkenalkan, Daniel Dirgantara"
Semua orang bertepuk tangan, membuat Daniel semakin dilanda kegugupan. Fase selanjutnya dalam kehidupan Daniel akan segera dimulai.
Apa yang kalian pikirkan sampai disini? Percayalah, ini bukan tentang bawahan yang menyukai atasan, atau sebaliknya, lalu mereka akan terlibat cekcok dan akhirnya saling suka lalu menikah. For god sake, ini bukan cerita seperti di n****+-n****+ romance pada umumnya, karena di kehidupan nyata hanya 0.1% yang mengalami kejadian seperti itu.
Pertemuan dalam rangka memperkenalkan Daniel berjalan lancar, hanya memakan waktu tiga puluh menit, persis. Kini Ana mengajak Daniel naik satu lantai menuju ruangannya.
"Ini ruangan mommy, berhadapan langsung sama ruangan Antonio, dia sekretaris mommy."
Daniel yang merasa lebih muda inisiatif mengulurkan tangan lebih dulu, Antonio segera membalas jabatan tangan anak bosnya itu.
"Antonio Gustomi."
"Daniel"
"Selama training, Antonio juga yang akan bantu kamu buat mengenal seluk beluk pabrik, dia nih udah kerja lama bareng mommy, jadi pasti tau banyak hal."
"Aman pokoknya, pak Daniel bisa tanya aja apa saja ke saya"
"Panggil nama aja, saya gak terbiasa dipanggil Pak"
Antonio tersenyum canggung, melirik sekilas ke arah Ana, wanita itu mengangguk singkat, tanda memberi izin untuk memanggil Daniel tanpa embel-embel Pak.
Antonio undur diri, kembali ke ruangannya. Sementara Daniel melihat isi ruangan milik Ana. Ada sebuah lukisan Keluarga Berencana karya R. Basoeki Abdullah yang menempel pada dinding sebelah kanan. Sementara di sebelah kiri ada foto jajaran staf dan yang saat itu tengah merayakan anniversary perusahaan.
Lalu di belakang kursi mommy Ana, terdapat sebuah foto keluarga yang menggantung disana. Foto saat Aga dan Daniel masih kecil. "Nggak ada foto lain ya, Mom?"
Ana menoleh ke belakang, tersenyum kecut. "Nggak ada, Niel. Sisa itu" jawab Ana seadanya.
"Nanti kita foto lagi" Daniel mencoba tersenyum meski sulit sekali. "Aga, 'kan suka buku-buku astronomi, jadi nanti keberadaan dia digantikan sama buku-buku itu"
"Iya, mommy setuju. Daddy juga pasti setuju"
○○○
Rokok itu seperti selembar kain yang menutupi pandangan, membingkai kekhawatiran dan kesendirian dalam satu gerakan menarik dan memuaskan. Asap keluar dari celah bibir dan hidung, seperti kain tipis yang di terbangkan oleh semilir angin.
Disaat seperti ini, bohong jika Daniel tidak lagi memikirkan tentang sosoknya. Jakarta membawa kembali kenangan itu, setiap inci, seakan tak ada yang terlewatkan sama sekali.
"Lo dimana, Ti?"
Lagi-lagi, seperti biasa Daniel mulai bermonolog. Titik kecil berjajar membentuk rasi bintang seakan tengah menyaksikan Daniel merapikan serpihan kenangan yang berserakan.
Tiara.
Hanya dengan mengingat atau menyebutkan namanya saja membuat hati Daniel seperti di remas.
"Darimana gue harus mulai cari keberadaan lo, tiga tahun tanpa kabar.."
Dua tahun semenjak Daniel pindah ke luar negeri, hubungan mereka masih baik-baik saja, memasuki tahun ketiga, Tiara dan Daniel mulai di sibukan oleh kegiatan kuliah masing-masing, mulai jarang komunikasi, bahkan tak ada kalimat perpisahan, Daniel yang saat itu benar-benar sibuk dengan tugas kuliah tidak menaruh perhatian pada Tiara, sehingga dia pun tak sadar jika sudah seminggu Tiara tidak menghubunginya.
Daniel baru sadar saat Lucas menghujani Daniel dengan pesan-pesan, salah satunya ada pesan jika Lucas kehilangan jejak Tiara, Tiara mendadak menghilang seperti ditelan bumi.
Menghadapi kenyataan itu fokus Daniel sempat terpecah, dia bolos kuliah beberapa hari hanya untuk menodong Lucas meminta sobatnya mencari dimana Tiara berada.
"Kalo boleh jujur, gue kangen bahkan saat baru tiba di Jakarta, Ti."
Sekali lagi, Daniel menghisap rokoknya, kembali meloloskan asap lewat mulut dan bibir, tak peduli asap putih menerpa wajah tampan nya.
"Kenyataan yang paling gue takutkan cuma satu, Ti. Kenyataan lo married sama orang lain."
Daniel sudah berada di Jakarta, dia bisa saja mencari dimana Tiara berada. Hanya saja, langkah cowok itu tidak bisa leluasa sebab saat ini prioritasnya adalah bekerja, supaya mommy dan daddy tidak menyesal telah mempercayakan Kupido kepada Daniel.
"Sialan!" Daniel membuang putung rokok, menginjaknya hingga mati, dia jadi kesal sendiri saat membayangkan Tiara menikah dengan orang lain.
Meski kini mereka lost contact, perasaan Daniel tidak berubah walau sedikit.
"Pelet Tiara masih nempel di gue kayaknya"
"Tanpa pelet aja lo udah bucin setengah mampus sama Tiara, Niel."
Daniel menoleh, Lucas bersandar di ambang pintu sembari melipat kedua tangannya didepan d**a.
"Cih, dari kapan lo berdiri disitu"
"Baru." Lucas melangkah maju, dia berdiri disamping Daniel. "Lagi mikirin Tiara ya?"
"Semua bakal lebih mudah kalo Tiara disini, Cas. Gue cuma harus fokus ke karir. Tapi kenyataannya, fokus gue mau gak mau kebagi"
"Kalo kalian jodoh, takdir bakal bantu kalian buat ketemu lagi. Saran gue, pastikan mimpi lo tercapai dulu sebelum ketemu Tiara, semisal nanti kalian ketemu lagi, bisa langsung married."
Daniel tertawa, tawanya sumbang, "Iya kalo Tiara belum nikah, Cas. Kalo udah? Bayangin aja udah bikin gue mau gila!"
"Kenapa baru mau? Gila aja langsung, gue siap nganter lo ke rsj, ntar biar Tiara nikah sama gue. "Gue bunuh lo, Cas."
Keduanya memecahkan tawa, Lucas senang saat mendengar kabar Daniel akan kembali ke Indonesia setelah sekian lama. Dari sejak SMA, hanya Daniel teman yang paling Lucas percaya, semenjak cowok itu pergi, dia merasa ada ruang kosong yang biasa diisi oleh Daniel. Singkat cerita Lucas kesepian.
"Niel,"
"Hm?"
"Apa iya gue homo?"
"b*****t! Jauh-jauh lo" Daniel mendorong bahu Lucas seraya tertawa.
"Ya lo pikir aja, gila. Dua lima taun! Dan gue gak pernah punya pacar, bayangin, Niel!"
"Hambar banget idup lo, Cas. Prihatin gue dengernya"
"Orang-orang bisa dapetin pacar darimana sih? Kadang nyampe ada dua pacar, lah gue aja satu kagak dapet-dapet"
Daniel menatap curiga ke arah Lucas, "Gue gak akan segan-segan bunuh orang yang berani ambil Tiara dari gue, Cas."
"Yaelaaaaaa, parnoan amat. Kaga, gue kaga ngincer Tiara," Lucas menepuk bahu Daniel, "Tapi kalo Tiara mau sama gue sih, gak nolak"
"Anjjj!!!!!"