***
PLEASE, BANTU TAP LOVE DULU YA, MAKASIH ...
***
Seorang remaja berusia tujuh belas tahun, berjalan dengan gontai menuruni sebuah bus tua yang tengah ia tumpangi. Remaja bernama Aliando atau yang biasa dipanggil Al itu, sengaja dikirm oleh orang tuanya ke kampung halaman karena tidak ingin membiarkan putra mereka sendirian di Jakarta. Orang tua Aliando harus terbang ke Singapore untuk urusan bisnis.
Huft ... mengapa aku harus ke sini sih? Harusnya aku bersenang-senang dengan teman-temanku di Jakarta. Bukannya malah terdampar di negeri tak bertuan seperti ini, Aliando melenguh kesal menatap jalan setapak yang kini harus ia lewati. Jalan tanah yang beberapa bagiannya masih terendam air hingga berlumpur.
Dengan kesal, pemuda tampan itu tetap melangkah menyusuri jalan setapak itu.
Aarrghhh ... sial! Sepatu ini baru aku beli dan sekarang malah kotor karena lumpur sialan ini! Aliando kembali bersungut kesal. Kakinya baru saja terpuruk ke dalam lumpur yang cukup dalam.
Katanya kakek dan nenek itu kaya, masa tidak bisa menjemput aku ke Bandara? Katanya cucu kesayangan, tapi malah membiarkan aku ke sini dengan bus tua yang sesak itu. mana baunya, aarrgghh ... Aliando kembali mendengus kesal. Pemuda kuning langsat itu terus merutuk dalam hatinya.
Namun tiba-tiba ...
Ccrrtt ...
Seseorang mengendarai sepedanya dengan kencang dan tubuh Aliando terkena cipratan air lumpur yang menggenang.
“WOOII! PAKE MATA NGGAK? INI GUE KENA LUMPUR! TANGGUNG JAWAB LOE!” Aliando berteriak dengan sangat keras.
“MAAF, BANG. SAYA TERBURU-BURU.” Sang pengendara sepeda yang merupakan seorang wanita juga ikut berteriak tanpa menatap Aliando.
Aarrgghh ... Sial banget sih gue hari ini. Tadi sepatu, sekarang wajah dan baju gue juga penuh dengan lumpur. Coba kalau mama dan papa nggak pakai ngancam segala, pasti gue udah kabur ke rumah Milo, bukan nyasar ke tempat horor seperti ini, Aliando terus saja mendengus kesal di dalam hatinya.
Sebelum kembali melangkah, Aliando melabuhkan pandangan ke sekeliling tempat ia berdiri. Ia ingat betul, terakhir kali ia ke sini sepuluh tahun yang lalu. Desa Pandora, begitulah petinggi desa di sana menamakan desa itu. Petinggi desa yang dulunya memberi nama itu untuk desa itu adalah kakek buyut Aliando dan jabatan itu turun temurun hingga kini kakek Aliando masih menjabat sebagai kepala desa di sana.
Sebelum nama desa itu berganti nama menjadi desa pandora, desa tersebut bernama desa batu alam. Tapi, karena sebuah kejadian aneh, maka petinggi desa menggantinya menjadi desa Pandora.
Aliando cukup tercenung melihat hamparan pemandangan indah yang ada di sekelilingnya. Pegunungan yang hijau dan sejuk. Beberapa terasering yang terhampar bak permadani, benar-benar menyejukkan mata.
Ternyata tempat ini tidak terlalu buruk. Tapi tunggu, jangan-jangan di sini tidak ada sinyal sama sekali. Wah kalau benar, gawat ... sangat gawat ...
Aliando dengan cepat mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Ia menatap ponsel itu. Ajaib, Aliando tercenung melihat layar ponselnya. Jaringannya penuh dan sinyalnya sangat kuat.
Waw, ini keren ... aku akan coba hubungi kakek. Aliando tersenyum. Ia pun mulai menghubungi seseorang dengan ponselnya.
“Halo ...,” Suara khas pria paruh baya terdengar dari balik panggilan suara.
“Kakek ... ini aku, Al. Rumah kakek dimana sih? Al sudah sampai di jalan setapak ini. Sepatu dan baju Al sudah penuh dengan lumpur. Bahkan wajah Al juga kena lumpur, Kek.” Aliando menjelaskan.
“Memangnya kamu ngapain sampai kena lumpur begitu? Kamu seperti kerbau saja, mandi lumpur, hehehe.” Terdengar kekehan dari balik panggilan suara.
“Kakek ... siapa yang mandi lumpur? Masa pria ganteng kayak gini disamakan dengan kerbau? Kek, jemput Al dong ... Al capek, busnya penuh sesak. Mana bau lagi.” Aliando mengeluh.
“Huft ... Anak muda sekarang terlalu manja. Baru juga segitu, sudah merengek dan mengeluh.”
“Siapa yang manja, Kek?”
“Kamu! Cucu laki-laki kakek satu-satunya. Masa kalah sama Gladies.”
“Gladies siapa?”
“Itu, anak tetangga kakek. Dia perempuan tapi mandiri. Mana cantik lagi.”
“Kek, jangan banding-bandingin Al sama orang lain deh. Sekarang jemput Al dong. Al benar-benar capek ini ....”
“Tidak! Kamu harus jalan kaki,” tegas kakek Aliando.
“Tapi Al tidak tahu di mana rumah kakek?”
“Terus saja ikuti jalan itu. nanti kamu juga akan sampai ke pusat desa. Kamu pasti akan betah di sini.”
“Betah apanya? Tidak ada kendaraan, jalanan berlumpur. Al jamin kalau Al tidak akan betah di sini.” Aliando kembali mendengus kesal.
Tuutt ...
Panggilan itu tiba-tiba terputus.
Sial! Kakek malah mematikan ponselnya, Aliando kembali mendengus kesal. Kini, ia tidak punya pilihan lain selain berjalan menyusuri jalan setapak itu.
Berkali-kali, pemuda itu kepayahan menghindari genangan lumpur yang di sepanjang jalan setapak yang kini tengah ia lalui. Semalam memang turun hujan lebar, sehingga jalan tanah itu penuh dngan genangan lumpur.
Belum sampai kaki Aliando di ujung jalan setapak, netranya sudah terbelalak menatap pemandangan yang ada di depannya. Sebuah kampung yang ramau dan sangat indah ada di sana. Sunguh di luar perkiraan Aliando.
Aliando mempercepat langkah kakinya dan ia pun tertegun melihat perkampungan yang kini ada di depan matanya. Rumah-rumah penduduk semua dibangun dengan model senada. Rumah-rumah yang sangat cantik dan estetik. Hanya cat rumah saja yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Namun, kekaguman itu seketika sirna tatkala Aliando melihat bus yang tadi ia tumpangi berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Semua penumpang turun dan mengemasi barang-barang mereka dari atas bus.
Lho? Bukankah itu tadi bus yang aku tumpangi? Jadi bus itu berhenti di sini? Lalu mengapa aku di suruh turun di ujung jalan sana? Mengapa aku harus berjalan kaki sejauh ini hingga sampai ke tempat ini?
Aliando kembali melangkah dengan cepat menuju bus itu. ia melihat sang sopir duduk dengan santai di sebuah warung dengan desain yang cantik dan unik. Bagian bawah bangunan terbuat dari batu alam setinggi tujuh puluh senti meter, sementara bagian aatsnya terbuat dari kayu jati asli yang diberi sentuhan cat yang mengkilat dan berkualitas.
Aliando tertegun sesaat, karena warung tempat para pria duduk minum kopi itu, lebih mirip kafe-kafe unik di kota Jakarta. Namun, ia tidak lupa dengan tujuannya ke sana, Aliando ingin menemui sang sopir bus.
“Maaf, Pak ... jadi bus anda berhenti di sini ya?” tanya Aliando tanpa basa-basi.
Sang sopir mengernyit, “Kamu ... kamu bukannya pemuda yang turun di ujung jalan setapak itu ya?”
“Iya, tapi mengapa bapak malah menurunkan saya di sana?” Aliando menatap tidak senang. Pasalnya, Aliando meminta diturunkan di desa Pandora, namun sang sopir malah menurunkannya di ujung jalan setapak.
“Kamu cucunya pak Kaddar ‘kan?”
“Iya, tadi’kan saya sudah bilang.” Aliando mengernyit.
Sang sopir bangkit dan menepuk pelan bahu Aliando, “Maaf, Nak. Saya sudah diberitahu oleh pak Kaddar kalau cucunya akan datang dari kota. Ciri-cirinya ya seperti kamu ini, dan pak Kaddar menyuruh saya untuk menurunkan kamu di ujung jalan sana.”
“Jadi kakek yang melakukan semua ini?” Aliando semakin kesal.
“Kakekmu itu sangat baik dan tegas. Mungkin ia ingin membuat cucu tampannya sedikit berjuang untuk mencapai rumahnya? Oiya, tubuhmu kenapa? Jatuh ke kubangan lumpur?” Sang sopir sedikit tergelak.
“Hhmm ....” Aliando hanya bergumam kesal. Pemuda itu memang terkesan kurang sopan, maka dari itu Kaddar—kakek Aliando—mencoba mendidik cucunya dengan caranya.
“Jadi sekarang kamu mau ke rumah pak Kaddar?”
“Biar aku cari sendiri, nanti bapak malah mengerjai aku lagi.” Aliando membalik tubuhnya dan melangkah meninggalkan sang sopir bus tadi. Sang sopir kembali duduk dan berbincang dengan rekannya seraya menyeruput kopi hangat yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba, seorang gadis yang tengah mengendarai sepeda, berhenti di hadapan Aliando.
“Hei, kamu bukannya pria yang sudah mandi lumpur tadi ya?” Sang gadis memerhatikan Aliando. Ia sedikit mengernyit.
“Kamu? Bukankah kamu yang tadi sudah menabrakku?” Aliando kali ini menatap lebih tajam.
“Maaf, tadi aku buru-buru soalnya. Kenalin, aku Gladies.” Sang gadis mengulurkan tangan kanannya ke arah Aliando.
“Tunggu! Siapa?” Aliando mengernyit.
“Gladies ... G-L-A-D-I-E-S.” Gladies mengeja namanya.
“Kamu tetangganya pak Kaddar, bukan?”
“Kamu cucunya kakek Kaddar ya? Kamu Aliando?” Gladies kembali menurunkan tangannya karena Aliando tak kunjung membalas uluran tangannya.
“Dari mana kamu tahu namaku?” Aliando kembali mengernyit.
“Aku tu selalu main ke rumah kakek Kaddar, dan kakek selalu saja menceritakan tentang dirimu. Aku sampai bosan mendengarnya,” Gladies terkekeh.
“Memangnya apa saja yang dikatakan kakek?”
“Banyak ... Oiya, mau aku antar ke rumah kakek Kaddar?”
Aliando mengangguk, “Boleh.”
“Ayo naik!” Gladies menawarkan tumpangan di sepedanya.
“Boncengan sama kamu?”
“Atau kamu mau bawa sepeda? Biar aku yang dibelakang.”
Aliando menggannguk, “Okay.”
Aliando pun melepas ranselnya dan memberikannya kepada Gladies. Gladie menerima ransel itu dan mengenakannya di punggungnya. Tak lama, Aliando pun naik ke atas sepeda dan mulai mengayuh sepeda itu.
Dua puluh menit berlalu, “Hei, rumah kakek masih jauh ya?” sungut Aliando. Pemuda itu tampak terengah.
“Kamu capek? Mau gantian?”
“Nggak ah, masa aku dibonceng sama cewek. Memangnya aku cowok apaan.”
“Kalau gitu terus saja kayuh, nanti dipersimpangan jalan itu kita belok kiri.”
“Okay.”
Aliando pun terus mengayuh sepedanya wakau jelas ia tampak sangat kelelahan.
“Tunggu!” Aliando berhenti dan kembali memerhatikan jalan yang kini ia lalui, “Bukankah ini jalan yang tadi? Aku tadi berhenti dan turun di sini.”
“Jalannya memang ke sini. Kayuh saja terus, atau mau aku gantiin?” Gladies berusaha menahan tawanya.
Aliando menggeleng, “Ayo kita lanjutkan!”
Beberapa menit berlalu, “Tunggu!” Aliando kini turun dari sepeda dan menatap tajam wajah Gladies. Tangan pemuda itu masih memegang sepeda karena Gladies masih duduk di atasnya.
Gladies berusaha sekuat tenaga menyembunyikan tawanya.
“Hhmm ... aku tahu, kamu pasti mengerjai aku’kan? Ini adalah tempat tadi. Lihat itu, itu warung tempat sang sopir bus minum kopi. Gladies, kamu—.”
“Bhuaahahaha ....” Tawa Gladies akhirnya pecah. Gadis itu pun kembali mengulurkan tangannya ke arah Aliando, “Sory, Sory, aku minta maaf. Kakek yang sudah menyuruh aku melakukan ini. Serius, Al. Aku nggak niat buat ngerjain kamu. Oiya, kita ke rumah kakek sekarang yuks ... Kali ini beneran, aku nggak akan bohong. Rumahnya deket kok. Kamu lihat itu, rumah paling besar dari rumah yang lainnya, itu rumah kakek Kaddar.”
Aliando melihat ke arah ujung jari Gladies. Ya, pemuda itu memang melihat sebuah rumah yang berbeda dari rumah lainnya. Rumah yang lebih besar dan terdapat dua buah dangau di depan rumah itu.