Pandora – 5

1646 Words
Aliando terpana, secara tiba-tiba ia sudah kembali lagi ke ruangan rahasia rumah Kaddar—kakeknya. Al yang masih berdiri terus memerhatikan seluruh tubuhnya. Ini keren ... gumam Al seraya memerhatikan ke dua telapak tangannya. Al juga memerhatikan ke tiga ujung jari bagian tengah tangan kirinya. Tanda merah yang sebelumnya ada di sana, sudah tidak ada lagi. jemarinya bersih tanpa ada tanda apa pun di dalamnya. Tanda apa tadi? Gumam Aliando lagi. Setelah merasa dirinya tenang, Al pun kembali mendekati layar utama. Buku yang sebelumnya ia pegang terjatuh ke lantai. Al mengambil buku itu dan memeluknya. Pemuda itu memutuskan akan membawa buku itu ke kamarnya. Ia akan membaca dan mempelajarinya lebih lanjut. Ada sesuatu yang dilupakan oleh pemuda itu saking terpesonanya dengan hal yang baru saja ia alami. Al tidak menyadari jika ruangan itu tiba-tiba saja kembali ke mode di mana ia pertama kali datang ke sana. Layar utama dan dua layar besar yang keluar dari layar infokus itu kembali ke tampilan awal. Lampu-lampu yang sebelumnya menyala ketika Al menekan tombol on/off, kini kembali mati. Al luput memerhatikan hal itu. Pemuda itu terlalu bersemangat dan bergegas meninggalkan ruangan aneh yang baru saja ia temui. Aliando membuka pintu dan pitu itu terbuka. Al keluar dan menutup kembali pintu kayu itu dengan baik. Al juga tidak lupa memasang kembali gembok tua yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Setelah memastikan semuanya aman, Al pun kembali ke kamarnya. udara dingin semakin menusuk kulit pemuda itu. Namun karena sudah begitu lelah, Al pun merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya membalut tubuhnya dengan selimut tebal yang sudah disiapkan Morena dan Kaddar untuknya. Tidak lama, Al pun terlelap. *** Pagi menjelang. Bunyi burung-burung berkicauan mengelilingi rumah pimpinan desa Pandora itu. udara yang semula sangat amat dingin, kini berubah sejuk. Suhu udara pun mulai sedikit menghangat, walau masih saja akan sangat dingin jika dibandingkan dengan suhu di ibu kota Jakarta. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Morena sudah selesai dengan semua masakannya. Wanita paruh baya itu memang tampak lebih bersemangat dan segar semenjak Al datang ke rumahnya. Morena seakan memiliki gairh dan semangat hidup kembali. “Nek, sudah tidak pakai tongkat?” Kaddar terpesona melihat istrinya tengah menata masakan yang sudah ia masak sendiri tanpa alat bantu untuk menopang tubuhnya. Morena menggeleng, “Masih sedikit goyang, tapi aku akan coba bertahan.” Kaddar tersenyum lebar. Ia mendekap Morena dari belakang, membimbing tangan itu dan menyuruh istrinya duduk dengan baik di salah satu kursi makan. “Biar aku yang teruskan menyiapkan sarapannya.” “Jangan, biar aku saja. Kalau kamu tetap memperlakukan aku seperti ini, itu artinya kamu sendiri yang menginginkan aku cepat mati, Kek.” “Mengapa kamu berkata demikian?” “Itu karena kamu terlalu memanjakan aku. Biarkan aku bekerja dan menggerakkan setiap persendianku ini. Semakin aku banyak bergerak, semakin cepat aku sehat. Aku tidak ingin terus-terusan tergantung pada dua benda itu.” Morena menunjuk kursi roda dan tongkatnya. Kaddar semakin tersenyum lebar. Wanita yang perawakannya sudah lebih tua dari usianya itu, begitu cantik di mata Kaddar. Ya, andai saja Morena tidak sakit-sakitan, wanita lima puluh dua tahun itu pasti terlihat lebih segar dari sekarang. Sekarang usianya tampak sudah seperti wanita tujuh puluh tahunan. “Kek, aku berjanji, mulai sekarang aku akan lebih banyak makan, terutama makan makanan yang bergizi. Aku ingin kembali berisi seperti dulu. Lihatlah tubuhku, sudah seperti tengkorak berjalan saja, hehehe ....” Morena tersenyum. Senyum di balik bibir keriput itu masih sangat cantik di mata Kaddar. Bagi Kaddar, Morena-nya adalah Morena yang sama seperti Morena yang pertama kali ia temui tiga puluh dua tahun yang lalu. Ketika Morena berusia dua puluh tahun, Kaddar pertama kali melihatnya dan langsung terpikat pada kecantikan gadis desa itu. wajah Morena sama persis seperti wajah Aliando. Memiliki wajah blasteran membuat Al memang cukup digandrungi teman wanitanya di Jakarta. Begitu juga Morena yang langsung memikat hati Kaddar kala itu. “Aku akan mulai membelikanmu suplemen lagi. Kamu mau meminumnya’kan?” “Ya ... ya ... tentu saja. Belikan aku, belikan aku semua itu. Aku sugguh-sungguh ingin kembali sehat. Jamu-jamuan, sayuran, buah-buahan, semuanya belikan. Aku akan mulai memakan semua itu.” Morena kembali tersenyum lebar. Kaddar begitu bahagia. Kehadiran Aliando di sana, membuat neneknya benar-benar sangat b*******h. Senyum ceria yang sudah lama hilang, kini kembali lagi. Kaddar sudah tidak melihat lagi wajah murung Morena yang duduk di atas kursi roda seraya menatap jalanan desa. Berharap, Sammy, menantunya dan cucunya akan datang ke sana, tinggal di sana dan menemani dirinya hingga Tuhan memanggilnya. Tapi kini, Morena tidak lagi melakukan hal itu. Nenek Aliando itu bahkan melupakan kursi roda dan tongkatnya. Ia fokus menyiapkan makanan untuk cucu kesayangannya. “Kek, coba bangunkan Al. Ini sudah waktunya sarapan. Jangan sampai anak itu rugi karena tidak dapat menikmati pagi yang cerah di desa ini.” “Baiklah, aku akan ke atas membangunkannya. Kamu tunggu di sini, siapkan semuanya dengan baik. Tapi ingat, Sayang. Kamu harus hati-hati. jangan sampai semangatmu malah membahayakanmu.” “Iya, aku akan berhati-hati.” Morena kembali menyunggingkan senyum. Senyum yang membuat Kaddar semakin detik semakin bahagia. Kaddar pun bangkit, dan berjalan menuju kamar Al. Pria lima puluh delapan tahun itu terus menapaki tangga kayu yang terlihat masih kokoh dan sangat awet. Kaddar mengetuk pintu kamar Al tiga kali, namun tidak ada jawaban apa pun dari kamar Al. Kaddar pun kemudian memutar gagang pintu dan pintu itu pun terbuka. Ternyata Al tidak mengunci pintunya, gumam Kaddar seraya masuk secara perlahan ke dalam kamar Al. Dugaan Morena benar, Aliando ternyata masih tidur dengan lelap. Al bahkan menutup seluruh tubuhnya hingga bagian kepala menggunakan selimut tebal. Terlihat jelas jika pemuda itu sangat kedinginan. Kaddar berjalan mendekat. Pria tua itu menyingkap sedikit selimut Al di bagian kepala. Al sama sekali tidak terusik karena tidurnya memang sangat nyenyak. Kaddar terus memerhatikan wajah itu. wajah yang sangat mirip dengan Morena waktu muda. Morena muda dalam versi laki-laki seperti Aliando ini. Kaddar membelai lembut rambut cucunya itu sebelum membangunkannya. Wajah pria paruh baya itu sangat bahagia. Baru saja Kaddar hendak mengguncang tubuh Al, netranya menangkap sebuah benda yang terletak tepat di samping kepala Al. Sebuah buku petunjuk yang sudah lama ia tinggalkan. Dengan hati-hati, Kaddar mengambil buku itu dan memerhatikannya dengan saksama. Dari mana Al mendapatkan buku ini? Mungkin’kah? Kaddar berpikir sejenak. Ia kembali memerhatikan wajah Al yang tidur dengan nyaman. Kaddar meletakkan buku itu di atas meja. Perlahan, pria paruh baya itu mulai mengguncang tubuh Aliando dan membangunkannya. “Al ... Aliando ... Bangun, Nak.” Al bergerak dan bergumam. “Al, bangun ... ini sudah siang. Nenekmu sudah menyiapkan makanan untukmu.” “Tapi Al masih ngantuk, Kek.” Aliando kembali menarik selimutnya hingga menutupi seluruh wajahnya. Kaddar kembali membuka selimut itu, “Al, dari mana kamu mendapatkan buku ini?” Aliando yang sebelumnya malas untuk membuka mata, seketika terbelalak. Ia terduduk dan menyeka wajahnya dengan kasar. Perlahan, Al memutar wajahnya dan menatap Kaddar yang sudah duduk di tepi ranjangnya. “Kek, maafkan Al.” Aliando menyingkap selimutnya dengan sempurna dan duduk di samping Kaddar. “Semalam Al tidak bisa tidur karena udaranya sangat amat dingin. Demi melepas jenuh, Al pun berkeliling rumah ini. Tanpa sengaja, Al menemukan sebuah ruangan yang terdapat di bagian belakang rumah ini. Ruangan itu sangat keren. Jadi Al menemukan buku itu di sana.” Aliando menjelaskan seraya menundukkan kepala. Kaddar masih terdiam. Aliando memegang tangan Kaddar tanpa menatap wajah pria paruh baya itu, “Kek, maafkan Al. Al masuk begitu saja tanpa meminta izin pada kakek. Al benar-benar jenuh semalam. Udara yang dingin membuat Al tidak mampu beristirahat dengan tenang.” Kaddar masih saja terdiam. Ia hanya memerhatikan setiap sikap dan gerak bibir cucu tunggalnya. “Kek, mohon jangan diam saja. Al tahu jika Al salah. Awalnya Al memang ingin meminta izin dan penjelasan dulu pada kakek. Tapi semua perangkat itu seolah-olah memanggil Al. Seakan ada bisikan-bisikan di telinga Al yang menyuruh tetap berada di sana.” Kali ini Aliando mengangkat wajahnya dan menatap wajah Kaddar dengan netra berkaca-kaca. Bukannya marah, Kaddar malah menyunggingkan sebuah senyum lebar. Ia menepuk pundak Al berkali-kali dengan pelan. “Selamat datang, Aliando Geneva. Selamat datang di kerajaan Pandora. Kau ... kau adalah penerus selanjutnya untuk memecahkan misi yang belum bisa dipecahkan oleh siapa pun.” Kaddar tiba-tiba memeluk Aliando dengan sangat erat. “Ka—kakek ... kakek tidak marah pada Al?” Kaddar melepaskan pelukannya. Ia memegang ke dua pipi cucu tampannya itu, “Marah? Buat apa kakek marah? Justru dengan kehadiranmu, kejayaan kerajaan Pandora akan kembali. Kakek sudah tidak mampu lagi untuk pergi ke sana. Apa lagi semenjak nenek Morena sakit, kakek tidak mungkin meninggalkan nenekmu begitu saja demi kerajaan Pandora. Nenekmu lebih berharga dari segala-galanya untuk kakek.” “Kakek beneran nggak marah?” Aliando yang awalnya takut dan kaku, kini tersenyum lebar. Kaddar menggeleng, “Tidak, Nak. Justru kakek sangat senang. Oiya, segeralah mandi dan ganti pakaianmu. Nanti kita akan berbincang panjang mengenai kerajaan Pandora. Kakek akan jelaskan semuanya kepada Al.” “Benarkah? Tanpa Al minta kakek mau menjelaskannya begitu saja?” Aliando semakin bersemangat. Senyumnya semakin lebar. “Tentu saja ....” Kaddar memukul pelan pipi kanan Al. “Sekarang cepat pergi mandi.” “Nggak mau, dingin.” “Jangan jadi anak manja. Kalau kamu tidak mandi, nanti tampanmu bisa hilang.” “Tapi beneran dingin, Kek. Aku pernah ke puncak tapi dinginnya tidak seperti ini. Ini rasanya seperti masuk ke dalam freezer.” “Hahaha ... kamu berlebihan. Di dalam kamar mandi itu sudah tersedia air hangat dengan berbagai pilihan suhu. Silahkan mandi dan tentukan sendiri tingkat panas air yang akan kamu gunakan.” “Rumah kakek beneran keren. Hotel bintang lima saja kalah.” “Tentu saja kalah, hahaha ... Ayolah, cepat pergi mandi!” Kaddar mendorong tubuh Al hingga tubuh cucunya itu seketika berdiri. Al segera melangkah ke kamar mandi. Sebelum menghilang dari balik pintu kamar mandi, Al menyunggingkan sebuah senyum manis ke arah kakeknya. Kaddar membalas dengan senyuman yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD