Di tengah-tengah acara sarapan, tiba-tiba saja ada yang datang ke rumah itu. Seorang gadis manis datang seraya membawa sebuah rantang kecil.
“Selamat pagi, Nek, Kek ....” Gladies masuk begitu saja dan langsung memberikan ciuman hangat untuk dua paruh baya yang sudah ia anggap kakek dan neneknya sendiri.
“Glaedies ... tepat sekali datangnya. Mari duduk, kita sarapan bersama. Nenek baru saja masak banyak hari ini.” Morena menyuruh gadis itu duduk di salah satu kursi kosong yang ada di sebelahnya.
“Apa? Nenek yang masak semua ini?” Gladies terkejut. Ia memerhatikan isi meja dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Iya, sekarang nenek kamu sudah sehat. Lihatlah, bahkan ia sudah menyingkirkan kursi roda dan tongkatnya.” Kaddar menunjuk kursi roda Morena yang sudah terlipat dan tersandar di dinding.
“Wah ... bagus sekali. Pasti semua karena kehadiran cucu nenek ya?” Gladies tersenyum manis.
Morena mengangguk,” Iya, nenek sangat bahagia dengan kehadiran Al di sini. Oiya, hari ini Gladies sibuk?”
Gadis itu menggeleng, “Enggak, memangnya ada apa?”
“Kalau Gladies tidak keberatan, nenek mau minta tolong. Tolong temani Al berkeliling desa kita.”
“Owh, tentu saja Gladies bersedia, Nek.”
“Baguslah ... sekarang mari makan bersama.” Morena memberikan sebuah priang kepada Gladies.
“Oiya, tadi mama buat sup ayam. Lalu mama menyuruhku mengantarkannya beberapa ke sini. Silahkan di makan.” Gladies membawa kotak bekal yang baru saja ia bawa dari rumahnya.
“Hhmm ... aromanya enak sekali,” puji Morena.
“Iya, Nek. Silahkan ... AL, kamu juga coba cicipi ya ....” Gladies memberikan kotak bekal berisi sup ayam itu kepada Aliando.
Al mengangguk dan menerima. Ia mengambil sepotong kecil dan mencobanya.
“Hhmm ... ternyata orang sini pintar masak ya ... Aku pikir hanya masakan nenekku saja yang lezat, ternyata masakan mama kamu juga sama lezatnya.” Al juga memuji sup ayam yang baru saja dibawa Gladies.
“Ah, kamu bisa saja, Al.” Gladies tersenyum. Sesekali netra gadis itu melirik ke arah Al. Pemuda itu sangat tampan di mata Gladies.
Setelah sarapan selesai, Gladies pun bangkit dan membantu Morena mengemasi meja makan. Tidak hanya membantu mengemasi meja makan, Gladies juga mencuci semua piring kotor yang ada di dapur Morena. Gladies memang sudah terbiasa melakukan hal itu sedari dulu.
“Al, Gladies itu cantik ya ...,” gumam Morena seraya menatap Gladies yang tengah asyik membersihkan semua piring-piring kotor yang ada di dapur.
Aliando hanya diam tanpa berkomentar.
“Al di Jakarta, sudah punya pacar?”
“Kok nenek tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“Nenek hanya ingin memastikan saja. Kalau sekiranya Al belum punya pacar, Gladies cocok lho jadi pacarnya Al.” Morena tersenyum. Aliando hanya terdiam dan ikut memerhatikan gadis yang membuatnya kesal waktu pertama kali bertemu.
Tidak lama, dapur Morena kembali kinclong. Gladies membersihkan semuanya dengan sangat detail hingga westafel itu juga ia sikat sampai bersih.
“Gladies adalah gadis yang sangat baik. Semenjak nenekmu sakit, ia setiap hari selalu datang ke sini membantu pekerjaan rumah dengan suka rela. Ibu dan ayahnya juga sangat baik dan begitu peduli pada kami. Sementara putra kami sendiri?” Kaddar kembali merenung. Al menatap kakeknya, terlihat jelas gurat kecewa dan kerinduan di sana.
“Sudahlah, Kek. Bukankah sekarang ada Al di sini.” Morena mencoba membela.
“Iya, tapi hanya beberapa hari dan setelah itu Al juga akan kembali ke Jakarta dan entah kapan akan ke sini lagi. Mungkin akan kembali lagi ketika kita berdua sudah tidak bernyawa.” Kaddar menatap langit-langit rumahnya dengan tatapan sendu.
Gladies mendekat dan memeluk pria paruh baya itu, “Kakek ini bicara apa? Memangnya kakek sudah nggak sayang lagi sama Gladies?”
Kaddar menepuk pelan lengan Gladies yang melingkar di lehernya, “Siapa bilang kakek tidak sayang Gladies? Akan tetapi sebagai seorang ayah, tentu kakek juga sangat merindukan putra kandung kakek. Kakek juga juga merindukan cucu kandung kakek.” Kaddar tidak kuasa menahan ledakan lahar dingin yang mulai tumpah dari ke dua netranya.
Aliando tertunduk, ia tidak tahu harus berbuat apa. Sekiranya boleh jujur, apa yang dikatakan kakeknya itu benar adanya. Al tidak akan betah tinggal di sini terlalu lama. Jakarta dan Aliando Geneva seakan sudah menyatu dan sulit untuk dipisahkan.
“Sudah ... sudah ... Nenek tidak ingin lagi ada air mata di rumah ini. Lagi pula, apa yang dikatakan kakekmu itu belum tentu akan terjadi. Entah mengapa, nenek memiliki keyakinan yang begitu kuat. Nenek yakin, Al akan betah tinggal di sini. Nenek yakin, Al akan meneruskan kepemimpinan desa Pandora.”
Aliando menatap neneknya. Ia pun tertunduk seketika.
“Oiya, Gladies ... coba ajak Al jalan-jalan. Mumpung masih pagi, biar Al bisa melihat betapa indahnya desa kita ini di pagi hari.”
Gladies mengangguk,” Siap, Nek. Al, ayuks kita jalan-jalan.”
Al mengangguk tanpa menjawab.
“Nek, Kek, Gladies pamit dulu ya ....”
“Iya, Sayang ... hati-hati. oiya, bawa beberapa bekal untuk camilan di jalan.”
Gladies mengangguk, “Akan Gladies siapkan.”
Sebelum Gladies kembali ke dapur untuk mengambil camilan, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Morena, “Gladies akan coba bujuk Al agar mau tinggal dan menetap di sini,” bisiknya.
Morena menangguk. Ia menepuk pelan pipi Gladies dan mencium gadis itu dengan sayang.
Gladies pun berlalu ke dapur dan menyiapkan beberapa camilan untuk dirinya dan Aliando.
“Ayo Al, kita berangkat. Tapi kita mampir ke rumahku dulu ya ... aku juga harus pamit sama mama dan papa.”
Al mengangguk “Iya ....”
Al menoleh ke arah kakek dan neneknya, “Kek, Nek, Al pergi dulu.”
“Iya, Nak. Semoga Al menyukai desa kita ini. Karena bagaimana pun juga, Al memiliki darah asli desa ini. Al adalah keturunan Geneva.”
“Semoga saja,” jawab Aliando merasa tidak yakin.
Setelah berpamitan, Aliando pun melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Kaddar menuju kediaman Gladies yang berada tepat di sebelah rumah Kaddar.
“Selamat pagi, Ma ....” Gladies menyapa ibunya yang tengah menyirami tanaman di depan rumah mereka.
“Selamat pagi, Sayang ... Eh, ada tamu ya. Cucunya pak Kaddar’kan?”
Aliando menghampiri ibunda Gladies, lalu mengulurkan tangan ke wanita yang terlihat masih sangat muda dan segar, “Salam kenal, Tante. Saya Al, cucuknya kakek Kaddar.”
“Iya, tante sudah tahu. Dulu Al ke sini masih sangat kecil. Enam tahun kalau tidak salah. Itu juga hanya sebentar, tidak sempat mampir ke rumah tante. Sekarang Al sudah besar saja.”
Aliando tersenyum, ramah.
“Oiya, silahkan masuk. Anggap saja rumah sendiri.”
“Iya, Tante.”
Baru saja Aliando hendak membuka sendalnya, Gladies keluar dari pintu samping dan memanggil pemuda itu.
“Al, ayuk kita berangkat.” Gladies mendorong sepedanya.
“Lho, langsung pergi saja? Nggak ajak Al main ke rumah dulu?”
“Nanti aja, Ma. Kata nenek Morena, Aliando harus melihat desa kita di pagi hari.”
“Owh, ya sudah ... sudah bawa minuman dan camilan?”
“Sudah, Ma.”
“Ya sudah, hati-hati ya ... ajak juga Al berjalan-jalan ke perkebunan dan peternakan yang ada di sini.”
“Iya, Ma. Pasti.”
Aliando kembali mengulurkan tangannya ke arah ibunda Gladies, “Tante, Al pergi dulu.”
“Iya, hati-hati ya, Nak. Semoga betah berteman dengan Gladies.”
Al mengangguk, ramah. Pemuda itu pun segera menyusul Gladies.
“Biar aku yang bawa sepedanya, kamu duduk di belakang saja.” Gladies naik lebih dahulu ke bagian depan sepeda.
“Apa? Kamu nggak salah? Aku ini laki-laki, masa aku yang duduk di belakang?”
“Ya sudah, kalau begitu kamu aja yang bawa. Aku yang duduk di belakang.”
“Itu lebih baik.” Al tersenyum, ramah.
Gladies pun kembali turun dan Aliando naik ke bangku bagian depan. Gladies naik ke bangku bagian belakang.
“Ma, Gladies pergi ya, Da ....” Gladies melambaikan tangan ke arah ibunya.
Ibunya membalas seraya mengukir senyum. Wanita itu sama cantiknya dengan Gladies.
“Kita mau kemana dulu?” tanya Al.
“Aku ingin ajak kamu ke danau. Pagi-pagi begini, air danau biasanya berasap dan itu terlihat sangat indah.”
“Tapi ini’kan sudah jam sembilan dan matahari juga sudah mulai meninggi.”
“Biasanya danau akan tetap berasap sampai jam sepuluh atau sebelas siang. Kalau musim dingin tiba, seharian danau itu akan berasap. Bahkan kita bisa main ice skating di atasnya.”
“Hhmm ... kakek Kaddar juga mengatakan hal itu. aku penasaran, bagaimana bentuk danaunya.”
“Danau itu sangat indah, Al. Ada gua di sana dan ada air mancurnya juga. Kalau kita masuk ke dalam gua, maka bisa menemukan gletser-gletser keren yang berkilauan.”
“Ah , yang benar?” Al tidak percaya. Menurutnya tidak ada gua gletser di Indonesia.
“Kamu nggak percaya?”
Al menggeleng, “Semua terdengar aneh. Seakan aku ini bukan sedang berlibur di Indonesia saja.”
Gladies terkekeh ringan, lalu ia berucap, “Makanya Al, kamu itu harus sering mengunjungi kampung halalamn kamu. Desa pandora ini bahkan lebih indah dibanding tempat-tempat indah lain di luar negeri sana.”
“Hhmm ... kemana lagi jalannya?” Aliando memberhentikan kayuhan sepeda sebab ia dihadapkan pada tiga buah persimpangan.
“Belok kanan, Al. Kalau ke kiri itu nanti kita akan sampai di peternakan. Kawasan itu khusus untuk peternakan saja. Ada kambing, lembu, sapi, kerbau dan juga babi. Ada juga peternakan milik masyarakat muslim, jaraknya agak ke utara. Terpaut cukup jauh dengan peternakan babi.”
“Toleransi sekali di sini.”
“Iya, dong. Kamu tahu nggak, khusus untuk peternakan ayam, itu yang mengelola khusus masyarakat muslim saja. Sisanya banyak yang dikelola oleh kristen seperti kita.”
“Berarti orang muslim itu tidak boleh beternak kambing dan sapi?”
“Hahaha ....”
“Lho, kok kamu malah tertawa?”
“Kalau tidak boleh, itu artinya tidak toleransi dong. Gimana sich kamu, Al.”
“Lho, ‘kan kamu sendiri yang bilang kalau mereka hanya beternak ayam saja.”
“Bukan hanya beternak ayam saja, Aliando Geneva ... Akan tetapi, khusus peternakan ayam dalam skala besar, hanya mereka saja yang mengelola. Tapi beberapa diantara mereka tentu boleh beternak atau memelihara binatang apa pun yang mereka inginkan. Seperti halnya aku, aku’kan juga beternak ayam, tapi dalam skala kecil atau lebih tepatnya untuk konsumsi pribadi.”
Aliando berpikir sejenak. Begitu banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya saat ini.