“Kembaliannya 1 yen. Terima kasih.” Pemuda berseragam merah yang merupakan seragam pegawai minimarket itu terlihat tersenyum ramah seraya memberikan uang kembalian pada pembeli. Suasana minimarket kali ini terbilang ramai dengan antrian mengekor. Namun pemuda bername tag Rai Sora itu tetap memberikan pelayanan terbaik dengan melempar senyum ramah pada setiap pengunjung.
Rai Sora namanya, pemuda berusia 26 tahun dan saat ini menjabat sebagai penjaga kasir di salah satu minimarket. Wajahnya lumayan, namun belum bisa disebut tampan meski begitu, tidak bisa disebut jelek pula. Tingginya 170 cm dengan berat badan 60 kg. Rambutnya hitam lurus dengan model chicken butt. Meski kerap tersenyum ramah pada pengunjung minimarket namun sebenarnya ia merupakan pribadi yang kurang percaya diri dan sedikit pendiam.
“Terima kasih,” ucap anak kecil berusia sekitar empat tahun itu seraya menerima kembalian permen yang Rai berikan.
“Uum.” Rai mengangguk kemudian mempersilahkan pelanggan selanjutnya untuk segera maju dan menghitung belanjaan. Seperti ini lah kegiatan Rai setiap harinya. Melayani pengunjung dengan ramah dan sepenuh hati adalah moto dari minimarket tempatnya bekerja.
Deg!
Tiba-tiba mata Rai tampak membulat saat seorang wanita meletakkan keranjang belanjaannya ke atas meja. Semburat kemerahan pun samar-samar menghiasi wajah saat wanita itu tersenyum manis ke arahnya.
“Hai, Rai-san,” sapa wanita itu dimana senyum manis merekah di bibirnya.
Glek!
Rai terlihat menelan ludah susah payah kemudian menjawab sapaan dari wanita yang merupakan tetangga sebelah apartemennya. “Se—selamat siang, Sakura-san,” jawabnya dimana suaranya terdengar sedikit gugup. Bahkan sebulir keringat terlihat meluncur melewati pelipis. Dengan hati-hati tangannya yang tampak gemetar menghitung belanjaan wanita yang ia panggil Sakura.
Sakura Yuno namanya, wanita yang merupakan tetangga apartemen Rai dan juga merupakan wanita yang dicintainya. Rai tak tahu tepatnya sejak kapan, tapi yang ia tahu semakin hari perasaannya pada Sakura semakin meningkat. Di matanya Sakura adalah wanita yang baik, lemah lembut, pekerja keras dan mandiri. Bukan munafik, meski hal pertama yang membuatnya tertarik adalah, kecantikannya. Di matanya Sakura adalah wanita tercantik dan wanita yang memiliki senyuman termanis yang pernah ia temui.
Rai tinggal seorang diri di salah satu apartemen sederhana yang berjarak tak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Setiap hari ia akan pergi bekerja pukul delapan pagi dan pulang pukul sembilan malam. Pekerjaan itu ia lakoni setiap harinya tanpa rasa lelah. Karena saat lelah mendera, seketika lelahnya itu menghilang karena telah mendapat obat. Dan obatnya ialah, Sakura, wanita yang saat ini tengah membayar belanjaannya. Dan wanita yang menghuni apartemen sebelah apartemennya.
“Sampai jumpa nanti malam, Rai-san,” ucap Sakura yang mengukir senyuman ramahnya setelah membayar kemudian segera membawa sekantong belanjaannya sebelum Rai memberikan kembalian.
“Tu—tunggu!” cegah Rai yang hendak memberikan kembalian yang masih tersisa 2 sen. Namun ia mengurungkan niatnya saat Sakura menoleh ke arahnya dan mengatakan untuk menyimpan kembaliannya.
Rai terpaku sesaat dengan menggenggam uang kembalian Sakura di tangan. Sampai akhirnya gerutuan pengunjung yang hendak menghitung belanjaan membuatnya segera kembali menjalankan tugas dan pekerjaannya.
*
*
*
“Hah … rasanya lelah sekali,” ujar seorang pemuda yang saat ini berdiri membelakangi meja kasir di depan Rai dimana kedua tangannya bertumpu tepian meja. “Bagaimana denganmu, Rai,” kata pemuda itu kembali seraya menoleh pada Rai di balik meja kasir.
“Hari ini memang lebih ramai dari biasanya,” sahut Rai disertai senyum tipis di bibirnya.
Pemuda di depan Rai membalikkan badan, memangku dagu dengan satu tangannya yang bertumpu meja. “Tadi gadis yang kau suka ke sini? Aku melihatnya,” ucapnya yang berniat menggoda Rai.
“A-- apa, ti-- tidak, di-- dia bu-- bukan.” Rai kelabakan, kedua tangannya mengibas mengelak dimana wajahnyanya terlihat merah.
“Hahahaha,” gelak tawa pemuda yang merupakan rekan kerja Rai merekah hingga ia memegangi perutnya. “Rai, Rai, lihat tampang konyolmu itu, kau lucu sekali, hahahah,” kelakarnya tanpa berhenti tertawa. Beberapa kali Rai pernah mengatakan mengenai wanita yang ia suka meski tak menyebut nama. Dan sepertinya ia tahu siapa gadis yang Rai maksud dan merupakan tetangga apartemennya sendiri.
“Nohara-san, to- tolong ja-- jangan katakan ini pada siapapun,” pinta Rai hingga membungkuk.
“Haish, sudah kukatakan panggil saja Nohara tanpa sufiks apapun,” potong pemuda yang Rai panggil Nohara. Ia merupakan rekan Rai yang bertugas menata barang ke rak.
Nohara merupakan rekan Rai yang sama-sama bekerja sekitar tiga tahun yang lalu. Ia merupakan pemuda yang ramah dan supel. Meski memiliki wajah yang biasa, namun Naohara memiliki kepercayaan diri yang tinggi sangat berbeda dengan Rai. Tingginya hampir 185 cm dengan tubuh yang cukup kurus dimana rambut sebahunya selalu ia ikat rendah. Meski wajahnya seperti lebih tua dari Rai namun usianya sebenarnya masih di bawah Rai dua tahun. Meski begitu ia tak pernah menganggap bahwa Rai lebih tua darinya dan memperlakukan Rai seperti teman akrab seusianya.
Nohara meregangkan tangan ke atas kemudian melangkah meninggalkan Rai untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Saat minimarket cukup sepi, sesekali ia akan menyusul Rai sekedar untuk berbincang. “Baiklah, kembali bekerja, Rai,” ujarnya seraya melangkah menuju gudang dengan tangan yang terangkat dan melambai.
Rai hanya diam dimana hela nafas panjang lolos dari mulutnya saat melihat Nohara tak lagi terlihat. Wajahnya masih terasa panas hingga telinga mengingat apa yang Nohara katakan sebelumnya. Tiba-tiba saja ia teringat Sakura, ia menunduk dimana seulas senyum amat sangat tipis menghiasi wajah. Matanya melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya dan berharap jam kerja segera habis agar ia bisa bertemu dengan Sakuranya.
Tak terasa hari sudah malam dan berakhir sudah pekerjaan Rai hari ini.
“Sampai jumpa besok,” ucap Nohara saat mereka telah berada di luar mini market yang beberapa menit lalu tutup. Minimarket buka mulai pukul sembilan pagi dan tutup pukul sembilan malam. Dan ini saatnya Rai pulang. Rai membawa satu kantong plastik berisi ramen instan dan beberapa minuman kaleng yang ia beli sebagai persediaan selama seminggu ke depan. Hidup seorang diri memaksanya menjadi pribadi yang mandiri. Ia bekerja untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi keluarga yang dimiliki. Kedua orang tuanya telah meninggal saat ia lulus sekolah menengah atas. Dan sejak saat itu lah ia dipaksa menjadi sosok pria yang mandiri.
Rai melirik jam tangan di tangan kirinya kemudian mempercepat langkah agar segera sampai rumah. Hawa dingin tak menjadi penghalangnya berlari. Ia tak ingin melewatkan satu kesempatan emas yang selalu ia tunggu dan nanti-nanti. Kesempatan yang bisa membuatnya tidur nyenyak sampai alam mimpi.
Tap! Tap! Tap!
Rai sedikit mengurangi kecepatan berlari saat ia hampir sampai area apartemennya. Sesekali ia kembali melirik arloji yang melingkar di tangan dan sepertinya ia masih memiliki waktu. Belum sampai pukul sepuluh malam, itu artinya masih ada kesempatan. Dan benar saja, senyum tipisnya merekah saat melihat sosok yang ia harap mulai terlihat. Ia semakin memperlambat langkah agar pertemuan mereka di tangga seperti sebuah kebetulan.
“Ah, Rai-san.”
Sempurna, untuk kesekian kalinya Rai berhasil menciptakan kebetulan yang disengaja. Saat ini Sakura tengah menatapnya dengan senyum ramahnya yang merekah kala hendak menaiki tangga menuju apartemennya di lantai dua.
“Se—selamat malam, Sakura-san,” jawab Rai sedikit gugup dimana wajahnya terlihat berkeringat karena berlari.
“Seperti biasa,” jawab Sakura seraya mengangguk dan melempar senyuman hingga matanya menyipit. “Mari,” ucapnya kembali yang kemudian mulai melangkah menaiki anak tangga.
Seperti biasa, sama dengan malam-malam sebelumnya Rai mengikuti Sakura di belakangnya. Menapaki setiap anak tangga yang membawanya ke lantai atas, apartemennya. Saat mereka bertemu di bawah tangga, maka Sakura akan menaiki tangga terlebih dahulu dan Rai mengekor di belakangnya.
Rasanya Rai tak ingin mengakhiri ini. Mengakhiri momen dimana ia bisa menikmati Sakura dari dekat bahkan bisa merasakan dan mencium wanginya aroma tubuh yang menguar dari tubuh Sakura. Kakinya melangkah dengan kedua mata tak melepas punggung Sakura dari pandangan sedikitpun. Punggung yang setiap malam ia nikmati namun tak bisa memiliki, punggung yang setiap malam selalu membuatnya terbuai ke alam mimpi surgawi, dan punggung yang selalu ingin ia raih sejak beberapa tahun belakangan ini.
Rai seolah terhipnotis dan kembali pada saat pertama kali ia bertemu dengan Sakura. Ia lupa kapan, tapi rasanya sudah sangat lama, sama lamanya dengan ia menyimpan perasaan ini dalam diam. Mungkin jika ia menceritakannya pada orang lain, ia akan dianggap sebagai pria gila karena jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang gadis seperti di dongeng juga drama-drama romansa. Tapi ini lah kenyataannya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertamanya dengan Sakura.
Tap!
Sakura menghentikan langkah saat telah berdiri di depan pintu apartemennya. Ia menoleh menatap Rai yang saat ini juga berdiri di depan pintu apartemennya dimana pria itu menatap ke arahnya dengan pandangan tak terbaca. Ia tersenyum kecil kemudian mengucapkan, “Selamat malam, Rai-san. Sampai jumpa besok malam.”
Rai tersentak dengan semburat kemerahan terlihat samar muncul di wajah saat Sakura mengatakan ‘sampai jumpa besok malam’. Sakura seolah tahu bahwa pertemuan mereka setiap malam adalah unsur kesengajaan yang Rai buat. Namun entah disengaja atau tidak, Sakura seperti tak keberatan. Buktinya mereka tetap berpapasan setiap malamnya.
Sakura membuka pintu apartemennya kemudian masuk ke dalam, namun sebelum menghilang di balik pintu, ia melambaikan tangan pada Rai dan kembali mengucapkan selamat malam.
Rai seolah terhipnotis, tangannya terangkat membalas lambaian tangan Sakura dengan senyum penuh arti. Rasanya ia ingin mengulanginya lagi dan lagi sayangnya ia terlalu pengecut. Sampai akhirnya lambaian tangannya turun perlahan dimana senyumnya perlahan juga luntur dan menghilang. Rasanya selalu menyesal setelah melihat Sakura menghilang di balik pintu apartemennya. Ia ingin berbicara lebih lama, menatap wanita itu sedikit lebih lama tapi sayangnya ia terlalu pengecut untuk melakukanya. Bahkan hanya berbicara dengannya saja ia harus mengumpulkan keberanian. Ia hanya pemuda biasa dengan wajah biasa pula dan hanya pria penjaga toko dengan gaji tak seberapa. Sementara di matanya Sakura adalah wanita yang sempurna, wanita yang pantas bersanding dengan pria hebat.
“Tsk.” Rai berdecak disertai senyum kecut terukir di bibir. Ia masih berdiri di depan pintu menatap pada pintu apartemen Sakura yang telah tertutup rapat. Rasanya ia ingin marah pada dirinya sendiri karena ia hanya pria biasa, bukan pria hebat yang ia bayangkan pantas bersanding dengan Sakura.
Cklek …
Rai membuka pintu apartemennya, memasuki rumah dan menyalakan lampu kemudian membuka sepatu dan meletakkannya ke rak sepatu. Selalu seperti ini setiap malamnya, pulang dan hanya kehampaan yang ia rasakan di apartemen kecilnya. Namun sejak kehadiran Sakura yang menghuni apartemen sebelah, perlahan harinya mulai berubah, terlebih saat beberapa waktu yang lalu ia berhasil melakukan sesuatu hingga cukup menguras tabungannya.
Tak menunggu lama, Rai segera melangkah ke dapur untuk menyimpan sekantong mie instan dan minumannya ke dalam kulkas. Ia kembali melirik jam yang melingkar di tangan kiri seperti tengah memastikan sesuatu dan menunggu. Merasa masih ada waktu, ia memilih memasak mie terlebih dahulu untuk makan malam sebelum melakukan rutinitas malamnya sebelum tidur. Dituangkannya air dari termos ke dalam cup mie dan menutupnya dengan mangkuk.
Tiba-tiba saja Rai merasa ada yang aneh saat kembali melirik jam di tangan. Jam itu tiba-tiba saja mati dan membuatnya gugup. Ia pun segera berlari ke kamar, menarik kursi dan mendudukkan bokongnya dengan kasar dimana nafasnya terdengar terengah. Ia terlalu terburu-buru karena tak ingin melewatkan sesuatu yang akhir-akhir ini menjadi rutinitasnya setiap malam. Dinyalakannya laptop di atas meja dimana tangannya terlihat cekatan menekan kursor seperti tengah mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian layar laptop itu menunjukkan sebuah gambar dimana dengan jelas menunjukkan Sakura yang tengah mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Hela nafas kelegaan lolos dari mulut Rai. Ini lah yang ia tunggu sebagai pengantar tidur. Ia menaruh kamera tersembunyi di kamar Sakura secara diam-diam. Hanya di kamar, karena tabungannya tak cukup untuk membeli banyak kamera dan meletakkannya di seluruh ruangan apartemen Sakura. Meski begitu ia sudah sangat puas, karena setiap malam ia bisa melihat Sakura yang tertidur dengan pulas. Melihat saat Sakura bersolek hingga mengganti pakaian dan melakukan kegiatan lainnya. Ia hendak meletakkannya di dalam kamar mandi namun sebagian hatinya menyadarkannya bahwa hal itu sangat keterlaluan. Meski apa yang dilakukannya sebenarnya sudah keterlaluan, setidaknya ia melakukannya sebagai bentuk rasa sukanya pada Sakura bukan sekedar suka akan tubuhnya. Tanpa ia sadari tangannya seolah bergerak sendiri membuka resleting celananya. Bagaimanapun ia hanyalah pria normal pada umumnya dan masih seorang perjaka.
Glek!
Rai tak berhenti menelan ludah susah payah dan tak mengalihkan sedikitpun perhatiannya dari Sakura. Sampai tiba-tiba ….
Deg … deg … deg …
Degup jantung Rai tak terkendali saat melihat Sakura seolah menatap ke arahnya. Seketika rasa takut mulai menyambanginya, tubuhnya meremang, antara menikmati sensasi gilanya dan khawatir Sakura mengetahui perbuatannya. Namun setelahnya ia mulai bernafas lega saat Sakura terlihat mengedikkan bahu kemudian melangkah menuju kamar mandi dengan membawa pakaian tidur dan handuk yang tersampir di tangan.
Rai meraih tisu dan membersihkan keringat yang membanjiri wajah saat rasa takut jika Sakura tahu apa yang ia lakukan seolah menamparnya. Kekhawatiran pun seolah bagai magnet yang menempel di punggung saat pandangannya bersibobok dengan pandangan Sakura. Andai saja Sakura tahu perasaannya dan menerima cintanya, tentu ia tak akan menunggu waktu lebih lama, ia pasti akan segera mengajak Sakura menikah dan tak akan lagi melakukan hal gila dan terlarang juga melanggar hukum seperti ini. Sayangnya, ia bahkan tak berani mengutarakan perasaannya, jadi bagaimana mungkin Sakura mengetahui perasaannya? Ia terlalu menyedihkan dan hanya seorang pecundang. Benar-benar pecundang.
Brugh!
Rai menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap langit-langit kamarnya dengan penyesalan. Setiap kali setelah melihat Sakura yang beraktivitas di kamar, ia menyesal dan digelayuti rasa bersalah, namun saat kembali membayangkan senyuman manis dan wajah cantik Sakura saat menyapanya, penyesalannya seolah menghilang dan digantikan oleh hasrat dan khilaf yang tak dapat dibendung. Sementara setiap kali menahan diri agar berhenti dari kegiatannya menjadi stalker, ia tak mampu. Kegiatannya seolah menjadi candu yang membuatnya merasakan sakit jika tak melakukannya. Karena jauh dalam lubuk hatinya ia ingin memliki Sakura, sangat bohong jika mengatakan asal melihat Sakura bahagia ia akan bahagia tanpa memilikinya.
Sret!
Bunyi deritan kursi terdengar saat Rai tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia pun segera keluar dari kamar dengan langkah cepat menuju dapur. Dan seperti dugaannya, saat ia mencapai dapur, mie instannya telah mengembang dan pasti sudah tidak sedap.
“Sssh--” Rai mendesis kesal dan merutuki kebodohannya. Terlalu memikirkan Sakura dengan tak ingin terlewatkan sesuatu, ia sampai melupakan makan malamnya. Ia mengacak rambutnya frustasi namun dengan terpaksa menarik kursi dan duduk menghadap mie-nya yang penuh. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak dimakan mie itu akan mubazir. Lagi pula ia juga sudah sangat lapar.
Sret!
Rai bangkit dari duduknya dan melangkah menuju wastafel cuci piring untuk mencuci tangan. Dicucinya tangannya menggunakan sabun kemudian meraih sumpit sekali pakai di dalam laci. Setelah itu ia kembali duduk dan berniat tetap menyantap makan malamnya. Namun saat hendak duduk, tiba-tiba suara ketukan pintu menghentikan niatnya. Meletakkan sumpitnya di atas cup mie, ia berjalan menuju pintu depan untuk melihat siapa tamu yang datang di waktu seperti ini.
Cklek …
Dan saat membuka pintu, seketika matanya melebar melihat siapa yang saat ini berdiri di hadapannya. Degupan jantungnya pun seketika berpacu dengan cepat. Saat ini Sakura tengah berdiri di hadapannya dengan rambut yang masih basah dimana kedua tangannya mengulurkan sebuah kotak makanan tepat di depannya.
“Aku tadi membeli dua okonomiyaki, bagaimana jika kita makan bersama?” tawar Sakura disertai senyuman manis yang merekah menghiasi bibirnya.
Rai masih terpaku, ia masih belum percaya jika saat ini Sakura berada di hadapannya dan menawarkan makanan. Ini seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan.
“Uum, Rai-san?” Satu tangan Sakura melambai di depan wajah Rai karena melihat Rai hanya terdiam dan menatapnya dengan pandangan tak terbaca.
“A-- i-- ya, ba- bagaimana? A-- ada apa?” Rai benar-benar gugup hingga tak dapat mengontrol ucapannya. Bibir dan suaranya sama-sama terlihat dan terdengar bergetar.
Satu tangan Sakura terkepal lemah dan menutup mulut dimana tawa kecilnya terdengar begitu indah di telinga Rai. “Aku membeli dua okonomiyaki, bagaimana jika makan bersama?” ulang Sakura menjelaskan tujuannya. “Jadi, bagaimana? Jika mengganggu, aku akan memberikannya ke tetangga sebelah,” ucapnya kemudian setelah sebelumnya menghentikan tawa kecilnya dan menatap Rai dengan setengah memiringkan kepala.
“Jangan!” cegah Rai seketika hingga membuat Sakura terkejut. Menyadari ia terlalu berlebihan, ia hanya bisa memalingkan muka dari Sakura dan memintanya masuk dimana semburat kemerahan menghiasi wajah.
“Baikla ...h,” suara Sakura tiba-tiba terdengar aneh. Suara yang terdengar sumringah tiba-tiba melemah di akhir kata dimana satu tangannya seketika menutupi muka.
Alis Rai terlihat mengernyit dan menatap Sakura keheranan. Dan sebelum ia sempat bertanya ada apa, Sakura lebih dulu menunjuk ke arah resleting celananya yang terbuka. Mata Rai melebar dengan perasaan yang tiba-tiba saja menjadi tak enak. Ia pun mengikuti arah tunjuk jari telunjuk Sakura dengan gerak perlahan. Dan saat pandangannya jatuh pada resleting celananya yang terbuka seketika ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.