“Gochisousama deshita,” ucap Sakura dengan kedua tangannya yang mengatup di depan d**a setelah menghabiskan makananya. Kemudian ia menatap Rai yang sedari tadi hanya diam bahkan tak menyentuh makanannya. Dan sepertinya ia tahu, kenapa.
Sakura memangku dagu dimana tangannya bertumpu di atas meja. “Ada apa, Rai-san? Nikujaga-nya sangat lezat dari mana kau membelinya? Bagaimana jika lain kali kita membelinya bersama?”
Rai tersentak saat hendak memasukkan makanan ke mulutnya. Sebelumnya ia hanya memainkan makanannya dengan menunduk dan tak berani bertanya bahkan menatap Sakura saja tidak. Dan saat mendengar Sakura telah menyelesaikan makanannya, ia baru hendak memasukkan makanannya ke dalam mulut.
Rai menegakkan kepalanya menatap Sakura, namun segera membuang muka saat melihat Sakura menatapnya dengan senyuman seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. “Mu—mungkin lain kali,” jawabnya. Ia berusaha bersikap sebiasa mungkin, tapi nyatanya ia tak bisa. Tak mudah baginya melupakan ingatan saat melihat dengan mata kepalanya sendiri Sakura b******u dengan pria lain.
Sakura hanya diam dan tak melepas pandangannya dari Rai dimana senyuman tipisnya pun terus terukir. “Ada apa, Rai-san? Apa ada yang ingin kau tanyakan?”
Mata Rai melebar, apakah ia harus mengatakannya?
Sementara melihat ekspresi Rai, senyum Sakura tampak kian melebar. “Ada apa, Rai-san? Jika ada yang ingin kau tanyakan, katakana saja. Aku akan menjawab.”
Rai menelan ludah kasar, namun rasa penasarannya begitu membuatnya ingin bertanya. Tapi apakah pantas? Rai tersenyum kecut merasa bimbang dengan tindakan yang harus ia ambil. Tapi … ini lah kesempatannya, jika pria itu memang kekasih Sakura maka ia akan menjaga jarak dan memilih mendekati Sakura dalam diam seperti hari-hari kemarin sebelum Sakura datang ke dalam apartemennya.
“A– apakah tadi … kekasih Sakura-san?” Akhirnya setelah berkutat pada pikirannya, Rai memberanikan diri bertanya tanpa berani menatap Sakura.
Sakura hanya diam dan lagi-agi hanya senyum kecil yang terukir menghiasi wajah ayunya. “Um … bukan.”
Seketika Rai menegakkan kepala dan menatap Sakura tepat pada kedua netranya yang tampak begitu jernih seakan-akan sama sekali tak ada kebohongan yang terlukis lewat tatapan matanya. Dan entah kenapa, mendengar jawaban demikian membuatnya merasakan kelegaan meski saat mengingatnya dan dipikir kembali rasanya tidak mungkin. Bagaimana mungkin bukan kekasih tapi mereka berciuman?
“Tapi aku tidak tahu kalau dia menganggapku kekasihnya.”
Rai seperti terhantam pada batuan karang hingga membuat tubuhnya hancur saat mendengar ucapan Sakura. Ia sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan Sakura sebelumnya dan barusan.
Seperti mengetahui keterkejutan Rai, Sakura pun kembali membuka suara. “Hm, bagaimana ya. Sebenarnya aku tidak menyukainya, tapi dia terus saja mengejarku. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan, Rai-san?”
Rai terdiam membisu, mendengar Sakura bertanya demikian membuatnya seperti tengah membicarakan dirinya. Ia yang mencintai Sakura tapi tidak dengannya.
“Ke—kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya saja, Sakura-san,” ujar Rai dimana suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Haish,kau lihat sendiri tadi. Padahal aku sudah berusaha menolak tapi dia bersikeras mengantarku. Semakin aku menghindarinya, semakin dia terus saja mengejarku. Apa aku harus membawa kekasih sungguhan agar ia berhenti? Hm. Bagaimana menurutmu?”
Rai terdiam beberapa saat mencerna ucapan Sakura sampai akhirnya ia hanya bisa menggaruk pipinya yang tak gatal. “A—itu … mungkin ide yang bagus.”
“Tapi aku tidak punya kekasih dan tidak menyukai pria manapun, jadi bagaimana? Apa harus meminta bantuan seseorang memintanya berpura-pura menjadi kekasihku?” Entah apa tujuan Sakura yang sebenarnya, namun setiap kata yang terucap oleh mulutnya juga gerak tubuh dan ekspresi wajahnya seperti sengaja dibuat-buat.
“Se—sepertinya itu juga ide yang bagus.”
“Tapi siapa, Rai-san? Ah, aku tahu! Bagaimana jika kau yang membantuku Rai-san?” ucap Sakura dengan antusias.
Mata Rai melebar menatap Sakura. “A—apa? Aku? Ta—tapi …” Apa Sakura tengah membuat lelucon untuknya?
Sakura mengangguk dimana wajahnya menunjukkan keceriaan juga kesenangan. “Uum. Kau. Kau bisa menemuinya dan mengatakan kau adalah kekasihku dan memperingatkannya untuk tidak mendekatiku, bagaimana?”
“Ta—tapi … aku …”
Kedua tangan Sakura yang bertumpu di atas meja menyatu dengan sela-sela jari yang saling terpaut. Ia setengah memiringkan kepala dan bertanya, “Eh? Kenapa?”
“Bu—bukankah Sakura-san harus mencari pria yang lebih dari pria itu? Mak—maksudku setidaknya agar pria itu takut,” ujar Rai dimana suaranya terdengar sedikit gugup. Ia hanya melihat di televisi cara membuat nyali lawan menciut, dan cara satu-satunya adalah menjadi lebih dari si lawan itu.
Sakura tampak berpikir kemudian menjawab, “Ah, Rai-san benar. Tapi kurasa Rai-san sangat cocok. Aku yakin Rai-san bisa melindungiku.” Lagi-lagi senyumannya merekah terlempar pada Rai yang tampak kebingugan. Rai ingin, tapi ia sadar diri dan posisi.
“Ta—tapi aku …”
Sakura mengedipkan sebelah mata dan menjentikkan jari. “Baiklah, kalau lain kali Rai-san melihatnya lagi saat mengantarku, Rai-san harus berpura-pura jadi kekasihku dan mengusirnya, okey?” Seolah tak mendengarkan Rai, Sakura justru mengatakan rencananya meski Rai tak mengatakan bersedia.
Bukan Rai tak berani, bahkan jika harus berkelahi dan itu demi Sakura, ia siap. Sayangnya yang membuatnya sedikit berkecil hati adalah pria tersebut seperti orang kaya sementara ia? Dia hanya pria biasa yang bekerja di minimarket. Mereka bagiakan bumi dan langit dan harusnya Sakura memilih pria itu atau pria kaya lain yang menjadi kekasih pura-puranya. Tapi … dengan ini ia tahu, bahwa Sakura tak hanya memandang dari kekayaan, jika benar tentu Sakura akan menerima pria itu dengan senang hati bukan?
“Oh, ya, apa Rai-san sudah punya kekasih?” tanya Sakura yang tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
“A—aku? Tidak-tidak,” jawab Rai cepat dengan mengibaskan tangan
Sakura tampak membeo. “Eh? Kenapa?”
Rai tersenyum kecut dan setengah menunduk menatap makanannya yang dingin. “Mana mungkin ada yang mau dengan pecundang sepertiku?” gumamnya. Bahkan ia hanya bisa mencintai seorang wanita dalam diam. Jadi, ia sama sekali tak pantas dicintai bahkan sampai memiliki kekasih.
Sakura memejamkan mata sejenak dengan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Hm, siapa yang mengatakannya? Kupikir Rai-san pria yang baik dan pantas mendapat wanita yang baik pula. Atau ada seseorang yang Rai-san suka?”
“Yang aku suka?” Rai menelan ludah susah payah dimana kedua tangannya yang terkepal di atas pangkuan tampak gemetar. Ia tertunduk dalam kemudian beberapa saat setelahnya suaranya seolah terlontar dengan keras. “Aku … yang aku suka adalah … kau! Wanita yang aku suka adalah kau Sakura-san! Aku menyukaimu sudah sejak dulu! Dan aku ingin menjadi kekasih sungguhan untukmu! Aku mohon, aku mohon, aku terima lah aku!”