Episode 10 : Niat Baik Willy

2173 Words
“Lagi di mana?” Pertanyaan barusan refleks membuat Willy menoleh ke sebelah kanannya, Diana ada di sana. Mereka duduk bersebelahan dan hanya berjarak sekitar dua jengkal. “Lagi pacaran!” Willy masih memperhatikan Diana. Seperti awal pertemuan mereka, Diana masih murung. Namun bagi Willy, Diana memang tidak pernah terlihat bahagia. Diana selalu terlihat sedih seperti menahan beban seluruh penghuni kehidupan. “Pacaran?” “Pacaran itu kencan!” “Hah? Memangnya ada yang mau sama kamu? Kuntilanak saja ogah sama kamu!” “Sembarangan kamu Om! Pacarku asli cantik, enggak kaleng-kaleng. Jangankan aslinya, bayangannya aja bikin bidadari kehilangan nyali!” “Halu kamu! Lagian kamu, jangan panggil Om, kenapa? Terkesannya aku Sugar Dady yang kesepian.” Balasan dari seberang refleks membuat Willy menahan tawa. “Namun faktanya memang gitu, kan?” “Panggil nama saja!” “Oke, deh. Dek Ferro ada apa? Kamu di mana?” “Harusnya aku juga kencan, sih. Masalahnya pasanganku pergi.” Balasan yang terdengar sangat jujur barusan langsung membuat Willy menahan tawa. “Nah, sekarang kebuktikan, yang ditakuti itu Om, bukan aku.” “Iya. Jadi bingung, mau makan enggak ada temen. Kamu kan tahu, aku paling enggak bisa kalau harus makan sendiri.” Willy cekikikan dan mati-matian menahan tawa lantaran balasan dari sebelah terdengar sangat memprihatinkan. “Sabar, Om. Ini ujian. Makanya nikah biar ada yang buat bareng-bareng. Makan bareng, ngobrol bareng, tapi susah cukup Om saja yang rasain, istri jangan dibuat susah karena orang tuanya udah susah payah jaga dia biar bisa hidup bahagia.” Sadar Diana jauh lebih membutuhkannya, Willy sengaja mengakhiri sambungan teleponnya. Di restoran yang belum lama Diana tinggalkan, Ferro mendengkus lemas. “Punya ponakan kok sesetres ini? Namun masa iya, dia beneran sudah punya pacar? Eh, tapi memang bener sih, enggak ada yang enggak mungkin buat Willy, nyatanya dia juga ngojek padahal dia yang punya perusahaan ojeknya.” “Huh! Terus aku harus minta temenin siapa? Lagian kenapa juga si Dita buru-buru pergi kayak tadi? Dan kenapa tadi aku enggak langsung ngikutin dia, ya? Pura-pura antar, kek. Modus dikit biar langsung cepat dekat?” gumam Ferro menyesali kenyataannya yang tidak menahan Diana. Hingga detik ini, Ferro masih menyangka Diana itu Dita selaku wanita yang dijodohkan dengannya. Dan yang membuat Ferro semakin ngenes sekaligus kesepian, tak lain ketika ia melirik ke ujung kanan sebelah depan, di sana, Romi dan Milla tampak begitu mesra. Keduanya tak segan saling suap dan tak hentinya memberikan perhatian satu sama lain. “Ngenes bener nasibku?” gumam Ferro yang langsung terusik oleh Pak Bondan yang seketika menyodorkan ponsel kepada Ferro. “Apa?” tanya Ferro lirih sekaligus tegas. Kontras dari ketika ia berbincang dengan Willy. “Tuan, Mas. Tuan nanyain pertemuan Mas dengan Non Dita.” Pak Bondan menjawab sambil menunduk sopan. Ferro mengernyit, menatap tak mengerti Pak Bondan. “Pak Bondan kan tahu, aku cocok dan aku mau sama Dita. Kenapa enggak langsung jawab saja?” Pak Bondan menunduk-nunduk menyesal. “Iya, Mas. Maafkan saya. Namun ini Tuan ingin langsung mendengar langsung dari Mas Ferro.” Meninggalkan Ferro yang mantap melanjutkan perjodohan dengan Dita padahal wanita yang ia maksud justru Diana, di sisi Willy, di angkringan kebersamaan mereka yang menjual gado-gado dan es kelapa muda, Diana masih terdiam larut dengan kesedihannya. “Iya, ini istri saya, Mila.” Ucapan Romi tersebut begitu melukai Diana. Diana selalu menyeka asal air matanya di setiap ia teringat kata-kata tersebut. Apa maksud mereka terus menahanku? Apa mungkin, mereka sengaja agar aku membuat kesalahan? Agar mereka bisa meresmikan hubungan mereka di depan keluarga Mas Romi? Diana terus menerka. Namun, sepertinya bukan hanya itu. Sepertinya Mas Romi memiliki tujuan lain. “Mbak, makan dulu.” Willy menyodorkan sepiring gado-gado dan segelas besar es kelapa muda. Diana menatap aneh Willy yang tampak akrab dengan semuanya. Bukan hanya dengan penjual angkringan kebersamaan mereka, tetapi juga dengan pengunjung bahkan pejalan kaki yang kebetulan lewat. “Nih bocah memang gini apa malah rada kurang? Siapa-siapa disapa, sok akrab!” gerutu Diana sambil mengamati Willy yang sampai meladenni setiap pengunjung di sana. Willy membantu pemilik angkringan. “Sudah, Mbak?” tanya Willy yang kembali menghampiri Diana. Diana yang tengah mencari-cari barang di dalam tasnya, refleks menatap Willy. “Sudah apa?” “Merenungi nasib?” balas Willy cepat. Diana langsung menggeleng bersama ia yang mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Ia memberikan satu lembar uang seratus ribu kepada Willy. Willy berangsur duduk bersama ia yang mendorong pelan uluran uang seratus ribu Diana menggunakan telapak tangan kirinya. Dan Diana langsung menatapnya tak mengerti. “Simpen saja, Mbak. Sekarang aku mau Mbak jujur ke aku.” Willy bertutur lirih sekaligus serius. Lah, ini kenapa lagi? Tiba-tiba seserius ini? batin Diana. “Mbak sebenarnya sudah nikah belum?” lanjut Willy. Diana mendengkus lemas. “Oke, aku memang sudah menikah. Aku menikah dengan laki-laki kejji yang merahasiakan pernikahannya dari keluarga kami. Kami menikah karena dijodohkan, tapi suamiku tidak mau menceraikan aku meski istrinya sedang hamil besar.” Willy refleks menatap kedua tangannya yang merinding efek dari pengakuan Diana. “Kenapa Mbak enggak cerita saja ke keluarga Mbak?” “Sudah, tapi suamiku memutar balikkan fakta dan justru aku yang disalahkan. Susah sih, ya. Apalagi istri pertamanya merupakan sekretaris sekaligus asisten pribadi suamiku.” Diana mendengkus pasrah dan sengaja menjeda ucapannya. “Ya sudahlah. Jangan dibahas lagi. Yang ada nanti aku yang dosa buka aib suami sendiri.” Diana bergegas pamit. “Tunggu!” Willy refleks menahan salah satu pergelangan tangan Diana. Diana refleks menatap nanar tahanan tangan Willy, kemudian berganti menatap Willy. Ia sudah berusaha menarik tangannya dari Willy, tapi bocah itu justru menatapnya dengan tatapan iba berkaca-kaca. “Dia yang kemarin teriak-teriak itu?” tanya Willy memastikan. Ia merasa sangat terluka hanya karena mendengar pengakuan Diana berikut beberapa fakta yang ia ketahui. Diana tidak menjawab dan memilih menunduk. “Jangan-jangan dia juga yang bikin tubuh Mbak terluka?” lanjut Willy. Hati Diana terenyuh mendengar itu karena mengingat luka-luka yang Willy pastikan, Diana juga sampai menjadi mengingat semua kehidupan kejji yang ia jalani semenjak diperistri Romi. “Mau sampai kapan Mbak diam?” lanjut Willy yang kemudian menghela napas dalam. “Terus ponsel Mbak enggak bisa dihubungi, itu karena suami Mbak juga?” Diana menunduk dan tetap diam meski air mata mulai berjatuhan dari kedua matanya. “Kalau Mbak mau, ayo kita ke kantor polisi. Kita laporin semuanya.” “Enggak semudah itu. Dia bukan orang bodoh. Kalau dia bodoh, enggak mungkin orang-orang enggak tahu sedangkan istrinya sudah hamil tua.” Willy menghela napas pelan sekaligus dalam seiring kedua matanya yang semakin basah. Ia sengaja menengadah demi menahan air matanya agar tidak mengalir. “Kasih aku waktu, Mbak. Aku akan cari solusi.” Tanpa memedulikan air matanya yang sudah membasahi pipi, Diana menatap Willy. “Sekolah saja yang benar. Masa depanmu masih panjang. Cukup jangan jadi orang seperti suamiku saja, itu sudah lebih dari cukup bikin dunia ini lebih baik.” Willy kembali menghela napas dan kali ini sambil menggeleng. Ia merogoh saku sisi kanan celana levis panjang warna biru tua yang dikenakan dan mengeluarkan ponselnya dari sana. “Pegang ponselku, biar aku lebih mudah menghubungi Mbak.” Karena Diana hanya menatap bingung sekaligus ragu kepadanya, Willy berkata, “Buat jaga-jaga. Aku akan menghubungi Mbak secepatnya.” Bocah ini? Masa iya, dia serius? batin Diana yang menjadi tegang sendiri. “Jangan lihat aku dari tampang apalagi usia, dong, Mbak. Contoh nyatanya, ya. Kalau usia menjadi patokan rasa tanggung jawab sekaligus keseriusan seseorang, apa kabar suami Mbak?” ujar Willy. **** Malam menyambut dengan begitu cepat sedangkan Diana masih terpaku menatap layar ponsel Willy yang digenggamnya menggunakan kedua tangan. Naifnya aku langsung berharap gini? Lagian memangnya Willy mau ngapain? Diana menjadi bertanya-tanya, apa yang akan Willy lakukan untuk meringankan masalah Diana? Breed! Pintu kamar Diana terbuka secara paksa dan sampai terbanting. Bisa Diana pastikan itu bukan Romi mengingat Diana tidak pulang ke penjara Romi. Tadi Diana yang sampai diantar Willy menggunakan motor, langsung pulang ke rumah orang tua Diana. Dita, wanita cantik yang selalu tampil modis itu menatap Diana dengan mata yang sudah basah. Yang tak kalah mencolok dari penampilan Diana adalah keadaan wajah Dita yang pucat. “Kenapa, Kak?” Diana berangsur menghampiri Dita sesaat setelah sampai menyimpan ponsel Willy di bawah bantal. Dita melongok takut ke belakang kemudian buru-buru menutup pintu kamar Diana yang sampai ia kunci. “Ada apa, sih, Kak?” Diana makin penasaran. Ia yang sampai membawa kotak tisu dari meja rias menyodorkannya ke Suci. “Ferro setuju, Di!” keluh Dita yang menjadi berlinang air mata. Diana terdiam bingung menatap Dita. “Ini tadi gimana, sih? Seharian ini aku telepon kamu susah banget! Apa yang kamu katakan ke dia, kenapa dia mendadak setuju dan ... ah!” Dita merasa sangat frustrasi. Diana menelan salivanya kemudian membasahi bibirnya. “Gini, Kak. Pertama, ponsel aku rusak dan aku pun tadi sempat kepikiran apalagi Kak mendadak menghilang sama sekali enggak pamit. Terus mengenai dia, aku belum sempat ketemu soalnya sebelum dia datang, Mas Romi justru datang! Kacau banget pokoknya tadi.” “Gimana aku enggak ngilang, kalau Ferro saja rupanya begini!” tangis Dita pecah. Diana yang makin penasaran langsung mengambil alih ponsel Dita. “Oalah ... ini yang namanya Ferro? Kalau bapak-bapak ini sih aku memang ketemu, Kak.” “Kan ... kamu saja bilang dia bapak-bapak.” Dita kian terisak pilu lantaran foto yang sedang mereka maksud merupakan foto pak Bondan. “Ya ampun, Kak, sabar.” Diana mengelus-elus salah satu lengan Dita. Di mata Diana, Dita yang memiliki selera tinggi tampak sangat hancur. “Pantas dia langsung setuju orang lihat sebening kamu, sedangkan dia setuwir ini!” raung Dita yang sampai terduduk di lantai. Diana berangsur jongkok demi menyeimbangi sang kakak. “Tadi tuh, aku langsung syok pas dikirimi tuh foto. Aku langsung blokir tuh nomor, terus minggat. Aku sudah kasih kode kamu, kamu sibuk baca dan aku telepon juga enggak bisa-bisa.” “Ya ampun, Kak. Sabar, ya. Namun meski tua kalau sayang dan bisa bikin nyaman, menurutku oke, sih, Kak.” “Oke kepalamu! Papah kita saja jauh lebih keren dari dia!” omel Dita. Diana langsung tersenyum masam seiring ia yang refleks menggaruk asal lehernya yang tidak gatal. “Terus rencana Kakak gimana? Aku enggak mau ikut-ikutan lagi, lho.” “Aku mau kabur, Di, dan aku butuh bantuan kamu!” “Bantu gimana, Kak?” “Pokoknya kamu harus bantu, kalau enggak aku tetap paksa atau kamu yang jalani perjodohan itu!” ancam Dita dan langsung membuat Diana tak berkutik. *** Sementara itu di kediaman orang tuanya, Willy masih duduk menghadap orang tuanya. Papah Willy tengah menyeruput teh hijau di cangkir kecil, sedangkan sang mamah tengah memoles kuku-kuku cantiknya dengan kuteks warna merah tua. “Sudah, kamu mau apa? Bilang saja, mumpung kami belum ke luar negri.” Pak Emil selaku papah Willy masih aktif menyeruput teh hijau di cangkirnya dan memang masih dihiasi kepulan asap. “Namun Papah sama Mamah janji sekaligus sumpah bakalan ngabulin permintaanku!” ucap Willy antusias. Emil dan Rossa sang istri refleks saling lirik kemudian menggeleng sambil tersenyum geli. “Mobil baru?” tebak Rossa sambil terus memoles kukunya dengan sangat hati-hati. Willy yang langsung menatap sang mamah langsung berkata, “Lebih. Lebih dari itu, Mah!” “Kalau bukan mobil baru apa? Motor? Apa jet pribadi kaya punya Ferro?” timpal Emil. Willy langsung menggeleng gelisah karena tawaran dari kedua orang tuanya tidak ada yang cocok. “Terus apa, Wil? Asal kamu enggak ngojek lagi, Mamah pasti kasih. Malu-maluin kamu, kayak orang susah saja pakai acara ngojek.” “Malu-maluin gimana, Mah? Perusahaan ojeknya kan punya Papah, berarti usaha papah malu-maluin dong?” balas Willy sewot. “Hus!” semprot Emil angkat bicara. “Mamah kira, uang bulanan termasuk kuteks yang lagi Mamah pakai itu belinya pakai apa kalau bukan uang dari usaha Papah dan salah satunya usaha ojek?” “Nah! Dikira Mamah, Papah kasihnya pakai daun, Pah. Bukan uang!” sindir Willy sambil bersedekap. “Ya secara, Pah. Teman-teman Mamah kan banyak yang protes.” “Sudah. Asal Willy enggak tellanjang mondar-mandir di luar rumah, Papah tetap oke.” “Sadis Papah, enggak berahlak banget doain aku jadi ODGJ!” Willy menertawakan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia teringat dengan tujuannya. “Gini, Pah ... Mah. Aku beneran mau ngomong serius. Aku, ... aku mau nikah.” “Memangnya sudah ada calon?” ujar Emil penasaran. Ia menatap tak percaya Willy yang detik itu juga langsung mengangguk tanpa sedikit pun keraguan. “Kamu masih bocah, Will. Jangan mikir nikah dulu, mikir kuliah saja. Mamah pengin kamu kuliah di luar negeri sekelas Harvard ....” “Diem, Mah!” tahan Emil penuh peringatan sebelum kembali memfokuskan tatapannya kepada Willy. “Ini serius, apa prank?” “Serius, Pah. Namun masalahnya, dia sudah punya suami jadi aku butuh bantuan Papah Mamah ...?” Willy tak kuasa melanjutkan ucapannya lantaran orang tuanya mendadak sesak napas. “Mah, Pah ... kalian kenapa?” Willy benar-benar cemas, tapi orang tuanya justru sibuk melemparinya dengan bantal sofa. Akankah Willy mengantongi restu kedua orang tuanya untuk menikahi Diana? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD