“Di, kok tangan kamu jadi kasar banget?” Dita yang awalnya akan memeluk Diana, menjadi urung. Sebab kasarnya telapak tangan Diana, jauh lebih mengusik perhatian Dita. Dita langsung penasaran dan ingin memastikan. Takut ada yang lebih parah dari apa yang ada di tangan Diana.
Tak hanya Romi yang bingung, sebab Diana yang masih Dita pastikan keadaan kedua telapak tangannya, juga mengalami hal serupa.
Dita menatap saksama tangan Diana yang terus membuat jemari lentik berkutek warna-warni miliknya, mengelus di sana. Telapak tangan Diana begitu kasar, sedangkan kulit-kulitnya juga kering dan sampai mengelupas. Itu bertanda bukan hanya kurang perawatan, melainkan karena efek obat keras sejenis pembersih lantai, deterjen, atau bahkan hal yang belum pernah terpikir oleh Dita.
“Rom, penampilan istri ibarat cerminan perlakuan suaminya, lho. Lidahku bisa langsung jahat, kalau keadaannya sudah begini. Bukannya lebih baik, menikah sama kamu keadaan Diana justru lebih parah.” Dita langsung merasa pusing hanya karena melihat keadaan Diana. Tak hanya tangan Diana yang rusak. Wajah Diana yang tak luput dari pengamatannya juga terlihat kusam tak terawat. Diana seperti kelelahan dan memang tidak terurus.
Dita memang berbeda dengan Diana. Dita tipikal pemberontak dan tak pernah takut kepada apa pun, sekaligus siapa pun. Jangankan pada Romi yang hanya suami Diana dan katakanlah orang lain, kepada orang tua mereka saja, Dita berani. Dan meski penampilan Dita sangat feminin mengingat statusnya yang seorang model, Dita juga bisa melakukan gerakan bela diri dan tak segan bermain kasar jika sudah kesal.
“Mbak ....” Diana ketar-ketir. Tak menyangka Dita akan membuat kakaknya itu tanpa pikir panjang menegur Romi.
Dita tak lantas menjawab Diana. Yang ia lakukan pada wanita muda dan tingginya memang lebih pendek darinya, adalah menatap sangat lama. Sampai-sampai, Diana menunduk kebingungan. Sedangkan jika sudah seperti itu, itu bertanda memang ada yang sengaja Diana sembunyikan.
“Besok kamu nginep di rumah, yah?” ucap Dita agak memaksa. Tak disangka, permintaannya langsung disambut senyum bahagia oleh Diana. Adiknya itu seperti orang yang sudah sangat kehausan dan langsung diberi minuman segar. Sebab di mata Dita, reaksi Diana sekarang sangat berlebihan.
Diana langsung mengangguk sambil tersenyum ceria. Mana mungkin ia menolak sedangkan apa yang Dita tawarkan merupakan hal yang sangat ia inginkan?
“Nanti aku sesuain sama jadwal dulu, Kak. Kami kan mau bulan madu.” Romi yang awalnya diam, akhirnya angkat suara, selain karena ia takut, Dita yang baginya berbahaya, akan langsung menghancurkan semua rencananya.
“Kalian mau bulan madu? Kok kamu enggak bilang?” Dita mengernyit, menatap penasaran sang adik. Ia masih ingin memastikan kebenarannya, mengingat Diana terlihat tidak tahu menahu, mengenai bulan madu yang baru saja Romi katakan.
Alasan Dita mencurigai hubungan pasangan di hadapannya, tak lain karena Romi dan Diana, menikah karena perjodohan dengan waktu perkenalan berikut kebersamaan yang begitu singkat. Dua bulan kenal dan sangat jarang bertemu bahkan mungkin berkomunikasi, keduanya dipaksa untuk bersatu dalam ikatan pernikahan.
“Aku ... aku enggak tahu, Mbak! Aku baru tahu!” balas Diana meyakinkan.
Romi yang berdiri di sebelah Diana berkata dengan santainya. “Kejutan! Bulan madu kejutan. Sebenarnya, awalnya aku masih ingin merahasiakannya. Namun karena Mbak bilang seperti tadi, mau gimana lagi?”
Diana refleks mendengkus sambil menunduk. Rasa kecewa yang kembali tercipta karena sikap Romi, membuatnya tak kuasa menyembunyikannya. “Sebenarnya apa maunya Mas Romi?” batinnya.
“Kok kamu kelihatan enggak bahagia gitu?” Dita semakin penasaran. “Kalian mau bulan madu, lho.”
“Mungkin Diana mengantuk. Soalnya tadi kami sudah hampir tidur.” Melalui ucapannya barusan, Romi sengaja memperingatkan Dita yang sudah berani mengusik kedamaiannya.
Balasan Romi barusan langsung membuat Dita tersentak. Apalagi, ketika ia juga menatap Romi. Iparnya itu menatapnya dengan tatapan tak suka bahkab marah.
“Ya sudah, kalau memang kamu pengin menginap di rumah, mending sekarang saja. Kita siap-siap dulu. Bentar, Kak, kami siap-siap dulu. Oh, iya. Kakak bawa mobil apa gimana ke sininya? Mau bareng kami apa gimana pulangnya?” Romi sengaja menggandeng salah satu pergelangan tangan Diana, membawanya masuk kamar meninggalkan Dita yang masih berdiri di ruang tamu, sesaat sebelum kakak iparnya itu mengatakan datang dengan menyetir sendiri.
“Sebenarnya mereka kenapa? Kelihatan banget ada masalah. Mereka sedang bertengkar? Atau memang aku yang salah dan enggak seharusnya datang malam-malam?” pikir Dita yang juga langsung kepikiran mengenai keadaan Diana yang tak terawat. “Apa memang, rumah ini enggak ada pembantu, makanya Diana ngerjain semuanya sendiri?” pikirnya lagi.
***
Kamar Diana yang ada di rumah orang tuanya terbilang sangat biasa. Hanya ada satu tempat tidur tak begitu besar dan malah masih besar tempat tidur Diana yang ada di rumah Romi. Sebuah meja belajar lengkap dengan kursi ada di sudut ruangan dekat jejeran jendela, di mana di sebelahnya juga dihiasi beberapa rak buku, meski rak buku yang lebih besar ada di sebelah lemari pakaian berukuran besar. Benar-benar tak ada yang istimewa. Semacam meja rias pun berukuran kecil dan jauh dari ekspetasi Romi yang kebetulan baru pertama kali memasuki kamar Diana.
Tempat tidur, lemari pakaian yang di satu baris sisinya untuk menampung sandal dan koleksi sepatu yang jumlahnya tak seberapa, meja belajar, rak buku, meja rias, benar-benar suasana kamar yang sangat biasa di mata Romi.
Diana yang sadar Romi sedang mengamati suasana kamarnya, refleks menelan saliva sambil menghela napas sekenanya. Ia yang memang hanya membawa tote bag kecil dan ia dekap di pundak kanan, langsung masuk ke kamar mandi. Ia mencuci tangan kemudian mencuci wajah.
Dari depan tempat tidur, Romi yang meletakan ransel miliknya melongok apa yang sedang Diana lakukan.
Untuk kali pertama, mereka akan tidur bersama. Tapi bisa mereka pastikan, tak akan ada yang terjadi. Bahkan, Diana memilih pergi duduk dan menekuk lutut di kursi depan meja belajar.
“Aku enggak minta kamu buat tidur di situ,” ucap Romi yang memang sudah bersiap untuk tidur, ia sudah duduk selonjor sambil berkirim pesan dengan Milla.
Romi yang masih menatap Diana yang memunggungi keberadaannya, hanya mendapat balasan gumaman berikut anggukan. Diana tidak memberikan balasan lebih bahkan sekadar meliriknya. Yang ada, kali ini tampaknya Diana justru menjadi fokus ke ponsel layaknya apa yang Romi lakukan.
+6281 ... : Mbak, malam-malam gini, hujan, apalagi kamu doyan makan, mau, enggak, aku kirim seblak kuah apa mi kuah yang pedes? Enak tuh, hujan-hujan makan yang berkuah panas-panas, pedes juga.
Diana hanya membaca pesan tersebut tanpa berniat membalasnya, meski pesan selanjutnya yang Willy kirimkan dan kontaknya memang tidak Diana simpan, membuat Diana merasa bersalah.
+6281 ... : Sebenarnya aku sudah di depan. Cepet keluar. Ambil makanannya.Tubuhku sudah kaku gara-gara nahan dingin.
“Ya ampun nih bocah,” batin Diana yang memutuskan untuk membalas.
Aku enggak di rumah itu lagi. Aku pulang kampung. Anakku sakit.
+6281 ... : OMG ... anakmu sakit, kamu pulang kampung, kok kamu enggak bilang? Terus gimana? Butuh sesuatu enggak?
Balasan Willy membuat Diana refleks menahan napas. Tak bisa Diana pungkiri, perhatian dari Willy membuatnya yang juga butuh perhatian, tersentuh. Meski Diana sadar, Willy orang asing dan tak seharusnya Diana hiraukan.
“Mungkin gara-gara begini, banyak pasangan yang selingkuh. Karena mereka kurang perhatian dan enggak puas dengan perlakuan pasangan?” pikir Diana yang refleks mengerucutkan bibirnya. Diana meyakini keyakinannya, meski di detik berikutnya, Diana langsung mengoreksi anggapannya. “Aku dan Romi bukan pasangan. Kami ada karena keadaan yang memaksa. Dan aku tetap ada karena dia yang memaksa. Namun, ....” Terpikir oleh Diana, jika dirinya memiliki pasangan dan bahkan bisa menjamin masa depan Diana, mungkin dengan cara begitu, Diana bisa lepas dari Romi.
“Tapi masa Willy? Dia masih bocah. Yang ada Willy bisa habis dihajar Romi,” pikir Diana yang seketika menjadi tak berkedip menatap layar ponselnya dan kembali dihiasi pesan dari Willy.
+6281 ... : Kirimi aku nomer rekening, Mbak. Nomor siapa pun asal kamu bisa ambil uangnya. Anaknya dibawa ke rumah sakit, ya. Jangan mikir biaya, yang penting anaknya dapet perawatan terbaik, biar cepet sembuh. Mengenai biaya beneran aku yang bakal urus.
Kebingungan Diana semakin menjadi-jadi lantaran Willy juga sampai menelepon. Sedangkan Romi yang mendengar dering ponsel Diana juga menjadi terusik dan refleks melongok. Namun, kenapa Diana hanya memandangi layar ponselnya, tanpa melakukan jawaban.
“Sudah malam, jangan berisik. Tidur!” Romi tidak tahu kenapa mulutnya berucap begitu. Akan tetapi, Romi memang tidak suka Diana sibuk sendiri dengan ponsel apalagi jika sibuk berkirim pesan dan parahnya teleponan tidak jelas.
Diana refleks menoleh dan menatap Romi. Romi masih menatapnya. Namun karena ponsel Diana kembali berdering dan itu dari Willy, Diana memilih beranjak masuk ke kamar mandi sekaligus menutupnya. Diana menjawab telepon dari Willy.
Hati Diana langsung berdesir perih dikarenakan suara dari seberang terdengar berisik suara hujan.
“Mbak ... kirimin nomor rekening! Aku serius. Anaknya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Minta bantuan orang buat anter dulu kalau Mbak belum sampai rumah. Aku mau langsung transfer uang ini!” teriak Willy dari seberang di antara riuh suara hujan.
Diana yang bungkam menjadi berlinang air mata. Ketika Diana berpikir di dunia ini tidak ada yang peduli kepadanya, nyatanya ada seorang bocah yang benar-benar memperhatikannya.
“Kenapa sampai masuk kamar mandi? Sebenarnya Diana lagi teleponan sama siapa?” pikir Romi penasaran.
****
Sekitar satu jam kemudian, Willy yang mengendarai motornya dan masih mengenakan seragam kerja, berangsur menghentikan laju motornya di depan sebuah gerbang rumah megah, selain kawasan perumahan kunjungan Willy yang memang kawasan elite. Bahkan, rumah Romi termasuk rumah orang tua Diana, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah yang Romi kunjungi.
Seorang satpam langsung berlari menerobos guyuran hujan tanpa berlindung. Ia buru-buru membuka gerbang setelah memastikan wajah Willy yang langsung ia kenali. Willy menepikan motornya di depan pos satpam yang posisinya tak jauh dari gerbang. Ia melepas helmnya dan langsung diterima oleh satpam yang juga sudah sampai memayunginya.
“Den Willy, tumben pulang?” ucap sang satpam dengan akrabnya dan langsung dibalas senyum ceria oleh Willy.
“Ini ceritanya lagi enggak amnesia, Pak!”
“Hahaha ... Den Willy bisa aja. Pulang kok nunggu kalau enggak amnesia.”
“Pak, ini ada makanan. Makan, ya. Mi kuah sama seblak kuah.”
“Wah ... rezeki nomplok ini. Makasih banyak, Den!”
“Sip! Papah sama mamah ada, kan?” Willy mengambil alih payungnya dari sang satpam.
“Untuk sekarang, Mamah dan Papah, di rumah, Den. Tapi tadi siang ada kiriman tiket pesawat. Kayaknya sih, bentar lagi, papah sama mamah Aden, bakalan ke luar negeri lagi!”
Mendengar itu, Willy refleks menghela napas. “Keluar negeri lagi. Kerja terus,” gumamnya yang kemudian menatap sang satpam. “Pak, kalau Pak Mul berani bilang ke papah mamah daripada keluar negeri terus, mendingan sekalian digendong luar negerinya biar enggak bolak balik pergi terus, aku kasih Pak Mul uang tiga juta!” ucapnya gemas yang langsung menepuk salah satu pundak sang satpam.
Pak Mul dan tak lain satpam Willy, langsung kebingungan. “Gede, sih. Tapi, saya mana berani bilang begitu, Den!”
Willy tertawa lepas sambil menggeleng tak habis pikir.
“Kalau sama Aden, saya berani. Orang Aden orangnya rame, asyik banget. Kalau sama papah mamah Aden, saya masih sayang nyawa.”
Willy masih tertawa dan berlalu dari hadapan Satpamnya, sesaat setelah ia juga sampai pamit. Willy memasuki rumah megah kunjungannya dan memang rumah orang tuanya.
Bersambung ....