Chapt 9. Hooked on Desire

3367 Words
---**--- Beberapa hari kemudian., Mansion Mr. Bandit, New York, USA., Halaman belakang mansion., Malam dini hari.,             Dia baru saja selesai membidik sesuatu yang ada di ujung sana. Keringat di tubuhnya masih belum kering. Rambutnya yang gondrong juga masih sedikit basah.             Dia masih duduk di bangku kayu yang ada disana. Tangan kanannya masih memegang satu botol anggur yang dia koleksi di mansion ini. Sungguh penampilannya saat ini sangat berantakan sekali.             Salah satu bodyguard mendekatinya. “Boss, Jack sudah istirahat. Apa perlu aku bangunkan dia ?” Tanya pria bertubuh tinggi besar, berpakaian kaus hitam.             Enardo masih menatap lurus ke depan. “Tidak perlu. Biarkan saja dia.” Balasnya lagi. Selang beberapa detik, dia kembali membuka suaranya. “Apa dia tidak datang kesini dalam minggu ini ?” Tanyanya lagi. “Tidak, Boss! Mr. Bandit tidak ada berkunjung kesini. Beliau masih berada di Indonesia bersama keluarganya sampai 1 minggu ke depan.” Jawabnya lugas. “Tapi Beliau menitip pesan, jika Shallom kembali menemui Mr. Bandit sebelum dia berangkat ke Dubai. Meminta Mr. Bandit untuk mengamankan jaringan ponselnya.” Jelas pria bertato itu.             Enardo mengernyitkan keningnya. Dia menghela panjang nafasnya. “Hanya itu saja ?” Tanya Enardo lagi. “Iya, Boss! Hanya itu!”             Dia menganggukkan kepalanya dan memijit keningnya. “Baiklah. Kau boleh pergi.” Perintah Enardo padanya.             Pria itu menunduk hormat dan pergi meninggalkan Enardo seorang diri di halaman mansion yang sangat luas itu. Mansion yang sudah menjadi hak mereka berdua sebagai tempat untuk mengadakan rapat penting seputar bisnis illegal mereka.             Jika memikirkan Shallom, dia tahu bahwa wanita itu masih terus mengejar obsesinya. Dia tidak mau melarangnya, sebab dia sudah memberi peringatan untuk tidak mengacaukan keluarga dari pengusaha yang dia sudah tahu asal usulnya.             Walaupun terbesit di hatinya untuk memiliki Shallom, tapi dia kembali pada pikiran normalnya. Dia tidak mau jika istrinya memiliki sifat nakal dan haus akan harta. Apalagi dengan begitu mudah menjual harga diri hanya demi kekayaan dan kemewahan. ‘Kau tidak akan menggapai obsesimu, Shallom …’ ‘Dendam di hatimu tidak akan pernah puas untuk kau tebus …’             Dia kembali meneguk anggurnya dengan nafas memburu. Mengingat bagaimana Shallom sangat memuja pria yang merupakan saudara dari rekan bisnisnya, Adyrta Abraham Althaf.             Pria yang pernah dia sebut saat mereka mencapai pelepasan nikmat diatas ranjang. Pria yang tidak akan pernah menjalin hubungan dengannya. Karena pria itu sangat menjaga sikapnya dalam berbisnis. ‘Kau mencintai dia karena semua orang memujinya …’ ‘Dan kau memilihku, sebagai tempat kau berlindung …’             Dia menyeringai, kedua matanya menyipit. ‘Kau beruntung, Shallom …’ ‘Kau masih bisa bernafas walau berhubungan dengan kami yang seharusnya tidak punya belas kasih.’ Bathinnya lagi. Rahangnya mulai mengeras. …             Selama beberapa menit dia berada disana. Dia meneguk habis anggurnya, dan meletakkannya kasar diatas meja kayu berlapis kaca.             Dia melirik jarum jam tangan bermerk miliknya. Jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari. “Hahhh …” Helaian nafas panjang membuat dirinya merasa jauh lebih baik.             Sudah 2 minggu lebih dia tidak kembali ke mansion. Dan kedua matanya kembali segar. “Aishe ?” Dia bergumam pelan. Entah kenapa dia mengingat Aishe saat ini.             Dia langsung beranjak dari posisi duduknya. Kakinya melangkah lebar menuju mobil yang ada disana.             Salah satu bodyguard mengikuti dirinya. “Anda butuh sesuatu, Boss ?!” Tanya pria itu padanya. “Siapkan helikopter. Antar aku mansion sekarang!” Ucapnya lantang. “Baik, Boss!” Pria itu langsung berlari menuju mobil hitam bermerk BMW yang ada disana. Dia langsung menghubungi salah satu pilot untuk standby dan segera menyiapkan helikopter yang ada di bandara mansion.             Mereka tahu, kalau Boss mereka tidak pernah menerima gerak lambat. Mobil langsung melaju mendekati Boss mereka, Enardo.             Enardo sigap membuka pintu mobil untuknya sendiri, dan langsung masuk ke dalam mobil. “Cepat!” Ketusnya dengan nada tidak sabar. ---**--- 1 jam kemudian., Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Kamar Enardo., Malam dini hari.,             Saat dirinya keluar dari lift, dan mulai menapak di lantai kamarnya. Keningnya berkernyit melihat dekorasi kamarnya yang sepertinya berbeda.             Dia terus melangkahkan kakinya menyusuri kamarnya. Dan melewati lorong ruangan gantinya. Kedua matanya fokus melihat nuansa kamar utamanya.             Dia melirik ke sana kemari, mencari perbedaan sebelum dia meninggalkan kamar ini beberapa minggu yang lalu. Tata letak perabotan, dan warna ranjang juga berbeda.             Dia yang lebih suka dengan warna serba abu-abu, kini kamarnya dicampur dengan warna putih krim. Dan hanya sedikit warna abu-abu disana.             Tidak peduli dengan bagaimana bentuk kamarnya, kakinya kembali melangkah menuju ranjangnya. Dia membanting tubuhnya di ranjang. Tanpa membuka sepatu dan pakaiannya, dia merentangkan kedua tangannya disana. “Haahhh!” Dia menghela panjang nafasnya.             Kemaja putih yang masih berkeringat. Celana panjang abu-abunya yang sedikit kotor. Sepatu kulit berwarna coklatnya juga masih dia pakai.             Kedua matanya menatap langit kamar berwarna sedikit gelap, karena pencahayaan di kamarnya tidak sepenuhnya menyala.             Dia mencoba memejamkan kedua matanya. Tapi dia tetap tidak bisa tidur. Dan tidak biasanya dia seperti ini.             Entah apa yang membuat tubuhnya menjadi berubah dan tidak bisa diajak kompromi. Dia sungguh kesal.             Matanya kembali mengerjap, sembari mengatur nafas yang sejak tadi memburu. Masalah yang belum selesai selalu menjadi bahan otaknya untuk berpikir. Dia sungguh tidak habis pikir terhadap dunia. Kenapa dunia memberinya takdir yang sangat dia benci.             Dia pikir, dia ingin memeriksa sesuatu. Tubuhnya kembali bangkit dari sana. Kakinya kembali melangkah menuju lorong yang ada di sisi kanan ranjang. Dinding pembatas dari kamar utama. Dia terus berjalan menuju ruangan ganti pakaian miliknya.             Dan fokusnya menatap satu pintu berwarna coklat, senada dengan desain warna lemari pakaiannya. Dia menekan ibu jari kanannya disana dan menggeser pintu itu. Dia masuk ke dalam kamar berbeda warna dengan miliknya. … Kamar Aishe.,             Ruangan bernuansa emas. Dan sang pemilik kamar mungkin sudah tidur, sebab ruangan sudah terlihat remang-remang.             Dia mengambil remote control cahaya ruangan yang ada di dinding sebelah sana. Dan menyalakan lampu ruangan agar sedikit lebih terang.             Matanya menatap seorang wanita yang terlihat sudah lelap dalam tidurnya. Selimut emas itu menutupi tubuhnya yang dia tidak tahu, wanita itu memakai piyama berwarna apa.             Dia mendekati wanita itu. Rambut emasnya berwarna senada dengan ranjang dan segala isi kamar. Tidak salah dia mendekorasi ruangan ini sesuai dengan warna rambutnya, pikirnya.             Nafasnya sudah teratur. Tapi dia membutuhkan wanita ini sebagai pelengkap tidurnya. ‘Apa yang kau pikirkan, Enar! Dia sudah tidur bodoh!’ Bathinnya seraya menolak perintah otaknya saat ini.             Dan ternyata semua salah, kakinya tertekuk naik ke atas ranjang. Kedua tangannya bergerak hendak menggendong wanita bertubuh mungil itu. Selimutnya tersibak. Glek!             Tenggorokannya tercekat. ‘s**t!’ Umpatnya dalam hati.             Dia salah besar melakukan ini. Pakaian Aishe sungguh menggoda imannya. Dalam hitungan detik miliknya mulai mengejang. Sakit sekali rasanya.             Perlahan kedua mata indah itu mulai mengerjap. “Aah, Tu … Tuan …” Kedua matanya langsung segar. Dia mulai menegakkan tubuhnya.             Enardo menegakkan tubuhnya, melepas kedua tangannya dari tubuh yang hanya berlapis tanktop hitam bertali satu dan hotpants hitam sebatas paha bagian atas.             Aishe langsung menarik selimut, menutup tubuhnya yang menurutnya sangat terbuka sekali. Wajahnya mulai pucat. “Tu … Tuan sudah pulang ?  Tuan butuh sesuatu ?” Tanya Aishe mundur ke belakang, menjauhi Enardo. Glek!             Enardo semakin susah menegukkan salivanya sendiri. Wajah takut Aishe semakin membuat libidonya naik.             Dia langsung turun dari ranjang mewah itu. Dan membuka suaranya. “Tidak ada. Selimutmu turun ke bawah. Aku hanya membenarkannya saja.” Jawabnya bernada cuek dan berbalik badan, hendak meninggalkan kamar itu.             Aishe mengernyitkan keningnya. Jawaban Tuannya seperti jawaban seorang pria yang tengah perhatian terhadap kekasihnya. Sungguh tidak masuk akal sekali, pikirnya. “Tuan butuh sesuatu ? Mau aku bawakan makanan ?” Tanya Aishe lagi. Seketika dia teringat bahwa dia belum pernah melakukan tugasnya sedikit pun.             Tanpa sadar, dia langsung bergerak menuruni ranjang. Dan menghampiri Enardo.             Enardo menghentikan langkah kakinya. ‘Yah. Aku butuh makanan darimu.’ Bathinnya seraya menjawab kesal.  Rahangnya sudah mengeras, menahan sesuatu di bawah sana. “Aku mau mandi.” Jawabnya langsung berjalan menuju lorong kecil, penghubung kamar mereka.             Aishe terkesiap dan menganggukkan kepalanya. “Ah … iya, Tuan.” Jawabnya mengikuti langkah kaki Tuannya.             Namun keningnya berkernyit saat melihat Tuannya berjalan menuju salah satu lorong diantara pintu geser khusus ruangan ganti pakaian dan kamar mandi miliknya.             Dia melihat Tuannya menggeser pintu besar yang dia pikir itu hanya dinding bermotif saja.             Tanpa melihat ke belakang, Enardo tahu kalau Aishe mungkin belum tahu apapun mengenai kamar mereka yang terhubung satu sama lain. “Ini penghubung kamar kita.” Ucapnya seraya memberitahu Aishe. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam walk in closetnya, tanpa menutup pintu penghubung itu. Karena dia tahu, Aishe mengikutinya dari belakang. Dia berjalan menuju kamar mandi             Aishe terdiam. Selama ini dia tidak tahu apapun mengenai kamar mereka berdua. Bahkan dia sudah sering keluar masuk dan membereskan kamar Tuannya, tidak sedikit pun dia tahu hal ini. … Kamar Enardo., Walk in closet.,             Enardo masih melanjutkan kalimatnya. “Tutup lagi pintu penghubungnya.” Ucapnya lagi.             Aishe langsung menggesernya lagi, menutupnya. “Kunci penghubungnya ada di ruangan ini. Lihat di sudut pintu, ada kaca tipis. Disana sidik jari akan terdeteksi …” Enardo berbalik badan melihat Aishe yang masih memperhatikan pintu itu. Dia mendekatinya.             Aishe langsung melihat ke arah pintu penghubung itu. Pintunya seperti lemari yang sama dengan yang lain. Dan ternyata ini hanya kecohan. “Setelah pintu ini tertutup, tidak akan bisa terbuka lagi, kecuali …” Dia langsung menekan ibu jarinya disana.             Dia langsung menggeser pintu itu ke samping. “Jika sidik jari yang terpasang, terdeteksi. Dia tidak bersuara. Tapi pintu langsung terbuka.” Dia melirik Aishe yang memperhatikan pintu itu. Dia yakin Aishe memahaminya.             Dia menarik tangan kanan Aishe. “Kemarikan ibu jarimu.” Dia langsung mengambil ibu jari Aishe dan menekannya pada kaca tipis yang ada disana.             Aishe hanya diam saja, dan mendongakkan kepalanya. Melirik Tuannya. Deg!             Kedua mata mereka saling bertemu. Aishe langsung merundukkan kembali pandangannya. “Hanya kau yang tahu pintu penghubung ini. Sisanya, hanya beberapa orang saja. Dan kau bisa membukanya melalui kamarmu.” Jelasnya lagi.             Aishe menganggukkan kepalanya.             Enardo melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. “Jangan membuka pintu jika ada orang lain di kamarmu.” Dia memperingati Aishe. “Baik, Tuan.” Jawabnya melihat Tuannya yang ada disana. “Kalau kau mau tidur. Tidur di ranjangku. Jangan kemana-mana …” “Aku tidak bisa tidur sendiri.” Dia langsung menghilang dibalik pintu kamar mandi. Membiarkan Aishe sendirian disana.             Aishe mengernyitkan keningnya. “Tidak bisa tidur sendiri ? Selama ini dia tidur dengan siapa ?” Gumamnya pelan  seraya heran.             Terlintas di pikirannya, kamar mandi Tuannya searah dengan kamar mandinya. Mungkinkah ada pintu penghubung antara kamar miliknya dengan kamar mandi milik  Tuannya.             Dia segera menggelengkan cepat kepalanya. “Tidak mungkin. Kalau kamar mandi, itu privasi. Tidak mungkin ada pintu penghubungnya.” Dia langsung berjalan menuju lemari yang ada disana. “Lagi pula, dinding kamar mandi terbuat dari keramik putih semua. Tidak ada celah sedikit pun.”  Gumamnya lagi menepis hal yang masih mengganjal di pikirannya. … 30 menit kemudian.,             Dia baru saja selesai dari acara mandinya. Dia keluar dari sana dengan handuk sebatas pinggang. Rambutnya masih basah, dan dia enggan untuk mengeringkannya dengan handuk.             Kakinya melangkah menuju kamar utamanya. Dia melihat wanita berambut emas itu duduk di sofa tepat di dekat ranjangnya.             Aishe langsung melihat ke arah samping. Dia beranjak dari duduknya. “Tuan, sudah selesai …” Dia langsung mengambil satu gelas teh hangat yang berada di meja kristal, di dekatnya. Dia mendekati Enardo. “Ini masih hangat. Langsung diminum saja.” Dia menyodorkan gelas panjang itu ke arah Tuannya.             Enardo terdiam. Dia menatap lekat Aishe.             Aishe tidak tahu, apakah sikapnya salah ? Dia hanya mencoba untuk melakukan tugasnya saja. “Tuan ?” Aishe berusaha menyadarkan Enardo yang masih diam menatapnya.             Enardo berjalan menuju meja kerjanya yang ada di sudut sana. Tidak menghiraukan Aishe.             Aishe mengikutinya dari belakang. “Tuan, ini masih hangat. Sayang jika tidak diminum. Aku sendiri yang membuatnya, ini biasa dibuat almarhum Ibu untuk almarhum Ayahku.” Ucapnya seraya memberitahu.             Enardo hendak duduk di kursi kebesarannya. Dia langsung berbalik badan, melihat Aishe yang sudah berada di belakangnya. Dia menatapnya lagi.             Aishe tersenyum tipis. “Tuan takut jika saya meracuni minuman ini ?” Tanya Aishe lagi. Entah kenapa dia bisa berpikiran seperti itu. Tapi wajar saja, sebab dirinya baru bekerja di mansion ini. Tuannya pasti belum mempercayai dirinya sepenuhnya.             Dia yang merasa ditatap tajam, dia langsung merundukkan pandangannya ke bawah.             Enardo menghela panjang nafasnya. Dan duduk di kursi kebesarannya.             Aishe bingung harus bagaimana.  Tapi dia tahu, ini sudah jam dini hari. Tuannya pasti kedinginan. “Tuan, ini tidak panas. Hanya hangat saja. Bisa langsung diminum.” Dia semakin mendekati Tuannya.             Enardo sudah mengeraskan rahangnya. “Jangan dekati aku, Aishe.” Dia memperingati Aishe. Sebab dirinya tidak mau lagi terjebak dalam hasrat yang tidak mungkin dia lampiaskan pada Aishe. Untuk menenangkan miliknya saja dia perlu tenaga ekstra bermain solo.             Aishe pikir dia harus melakukan sesuatu. Dia langsung meminumnya sedikit sebagai pembuktian.             Enardo langsung menatapnya. “Kalau Tuan takut aku meracuni minuman ini. Maka aku juga akan mati saat ini juga.” Ucapnya berani.             Enardo menyeringai. Tidak habis pikir dengan wanita ini. Berani sekali dia melakukan hal ini di depannya.             Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyambar gelas yang disodorkan Aishe. Meminum teh hangat itu sampai habis.             Aishe tersenyum. Dan mengambil gelas itu lagi.             Enardo beralih menarik laptopnya, dan hendak membukanya. “Ini sudah malam sekali, Tuan. Beristirahatlah. Besok bisa bekerja lagi.” Aishe menasehati tanpa takut. Dia berbalik badan hendak pergi dari sana.             Enardo menghentikan gerakan kedua tangannya. Dia menatap punggung wanita yang sangat seksi itu. “Tuan, aku akan segera kembali.” Dia langsung pergi dari sana.             Keningnya berkernyit. “Apa yang mau dia lakukan ?” Gumamnya pelan.             Beberapa detik dia meminum teh hangat itu. Tubuhnya terasa relaks. Dia bersandar nyaman disana. Tanpa berpikir mau memakai pakaian yang mana. …             Selang beberapa menit, Aishe kembali lagi ke kamar utamanya. “Tuan bisa pakai ini. Dan saya akan bantu mengeringkan rambut, Anda.” Ucapnya meletakkan pakaian itu di ranjang.             Dia kembali mendekati Enardo yang masih duduk di kursi kebesarannya. Tangannya sudah membawa alat pengering rambut.             Enardo melihat Aishe. Dia langsung beranjak dari duduknya. Dan mendekati ranjangnya.             Tanpa aba-aba, dia langsung membuka handuknya. Membiarkannya jatuh di lantai.             Aishe langsung berbalik badan, memunggunginya.             Enardo menyeringai. “Kau akan terbiasa.” Ucapnya sembari memakai celana dalam hitamnya. Tanpa berniat memakai piyamanya. “Lebih baik kau tidur.” Enardo langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Memejamkan kedua matanya.             Aishe membelalakkan kedua matanya. “Tuan … rambut Anda masih basah. Saya keringkan dulu.” Dia langsung mendekati ranjang. Keadaan Tuannya sudah tidak dia hiraukan. Meski dia sedikit malu melihat Tuannya dalam keadaan hanya memakai celana dalam saja.             Enardo membuka matanya. Dia melirik Aishe. Sejak tadi Aishe selalu memperhatikannya. Mungkinkah dia mau menunaikan tugasnya disaat dirinya kembali ke mansion, pikirnya.             Dia kembali menegakkan tubuhnya. “Baiklah. Aku harus duduk dimana ?” Tanyanya lagi.             Aishe sempat berpikir. Dan sedikit melirik ke sana kemari, mencari lubang penghubung listrik.             Enardo yang paham, dia langsung paham. “Di bawah sofa ada.” Ucapnya sembari menunjuk.             Aishe sedikit tersenyum. “Ah iya. Disini saja kalau begitu.” Dia langsung ke sana, dan memasangnya.             Enardo masih memperhatikan gerak-gerik Aishe yang memunguti handuknya dan pakaian lain yang tidak dia kenakan. “Sebentar, Tuan. Saya akan merapikan ini.” Dia langsung melipatnya rapi, dan meletakkannya di sofa. “Tuan, duduk di bawah ya.” Ucapnya seraya menyuruh.             Enardo menaikkan satu alisnya ke atas. Dia langsung berdiri. “Di bawah ?” Tanaynya lagi dan direspon anggukan kepala oleh Aishe. “Iya, Tuan. Di bawah …” “Karena Tuan tinggi. Jadi saya tidak akan sampai kalau posisi duduk Tuan sejajar dengan saya.” Jelasnya lagi seraya meyakinkan.             Enardo menghela panjang nafasnya. Sungguh dia lelah sekali, dan tidak mau berdebat dengan seorang wanita. Cukup sang Mommy yang selalu mengajaknya berdebat. Itu pun dia tidak mau ambil pusing, dan lebih memilih meninggalkannya.             Dia langsung duduk di lantai. Tidak peduli apapun yang akan dilakukan wanita berambut emas ini.             Aishe tersenyum dan langsung mengambil alat pengering rambut itu. Dia segera naik ke ranjang. Dan mulai mengeringkan rambut basah itu dengan handuk.             Enardo hanya diam saja. Kedua kakinya tertekuk. Kedua lengannya lurus ke depan, di atas lutut. Kedua matanya terpejam menikmati gosokan rambutnya. “Kita tidak boleh tidur dalam keadaan rambut basah, Tuan …” “Itu tidak sehat.” Aishe sembari berbicara. Dia terus menggosok rambut basah itu, menghilangkan airnya. Agar dia mudah untuk mengeringkannya.             Enardo tidak mau merespon banyak. Sebab dia menghargai Aishe yang mau menjalankan tugasnya. Dia merasa, kalau Aishe mungkin sudah terbiasa dengan kamarnya sehingga dia tidak terlalu takut menghadapi dirinya. Tidak seperti waktu lalu.             Dia langsung menyalakan alat pengering rambut itu. Dan menyisir rambut dengan sisir. “Tuan tidak kedinginan, tidak memakai baju ?” Tanya Aishe.             Enardo berulang kali menarik nafas dalam-dalam. “Aku terbiasa tidur seperti ini.” Jawabnya malas.             Aishe menganggukkan kepalanya. Dan kembali menjalankan tugasnya. Glek!             Dia susah dengan suasana seperti ini. Bersama wanita polos yang tidak bisa paham keadaan. Bahkan dirinya saja sudah susah menyeimbangkan hormon di tubuhnya.             Kedua paha yang terbuka lebar, wanginya sungguh menggoda imannya sekali lagi. Dia sangat tahu, kulit putih itu sangat mulus sekali. Rasanya pasti sangat manis. Dan kini otaknya mulai berkeliaran kemana-mana.             Dia sungguh tidak berdaya. Dan mundur ke belakang, hingga kepalanya merasakan benda kenyal. Deg!             Aishe sedikit terkejut. Dan hendak mundur ke belakang. “Jangan bergerak.” Enardo memperingatkannya.             Selama beberapa menit mereka berada di situasi yang tidak seharusnya. Apalagi jarum jam menunjukkan pukul 3 dini hari.             Aishe merasa biasa saja. Walau awalnya dia tidak nyaman, sebab dua gunung kembarnya digoda dengan gerakan yang tiba-tiba. Tugasnya hampir selesai, rambut basah itu kini sudah kering dan mulai bergelombang.             Berbeda dengan Enardo yang frustasi sejak awal. Bahkan miliknya sudah menegang kembali. ‘Oh, ayolah … aku tidak mau memesan jalang di jam seperti ini …’ ‘Aku tidak mungkin meniduri dia!’ Bathinnya seraya geram. Berulang kali dia mengatur nafasnya, agar tidak ketahuan oleh Aishe.             Aishe mematikan alat pengering rambut itu. “Sudah selesai.” Dia menyisir rapi rambut bergelombang itu. “Kalau bisa setiap hari diberi vitamin rambut, Tuan. Supaya tetap terawat, dan sedikit rapi.” Gumamnya pelan.             Enardo masih bisa mendengarnya dengan baik. ‘Cerewet sekali wanita ini.’             Aishe hendak mundur ke belakang. Namun kedua kakinya tertahan. “Mau kemana ?” Tanya Enardo masih mengelus pelan betis mulus itu. Sikapnya justru berbalik dari perintah hatinya. Glek!             Aishe mulai gugup. “Eumhh … mau merapikan barang-barang, Tuan.” Jawabnya.             Enardo menyeringai. Kedua tangannya masih bergerak lembut di betisnya. Bulu-bulu halus disana mulai menegang. Entah kenapa dia puas sekali. “Setelah itu ?”             Aishe mulai menegang. Bahkan dia tidak berani menggerakkan kedua kakinya di bawah sana. Dia bingung harus menjawab apa. “Eumhh …  mau tidur, Tuan …” Jawabnya mulai bersuara lemah.             Enardo beranjak dari posisi duduknya. Dia berbalik badan menghadap Aishe. Dia mengukung Aishe, kedua tangannya tergepal di ranjang.             Aishe mulai takut. Perlahan dia mundur ke belakang.             Enardo menyingkirkan alat pengering itu. Membiarkannya terjatuh di lantai. Dia meniti wajah cantik alami Aishe.             Pipinya masih kemerahan. Kedua matanya masih sangat segar. Bisa dia pastikan jika Aishe belum pernah disentuh oleh siapapun. “Aku sudah katakan padamu, untuk tidur disini saja.” Gumamnya pelan masih menatap lekat Aishe.             Aishe menganggukkan pelan kepalanya. “I … iya, Tuan.” Aishe takut sekali saat ini. “Kau masih ingat perjanjian tertulis kita ?” Tanya Enardo sekali lagi.             Tiba-tiba otaknya berpikir keras. Kedipan matanya tak bisa dibohongi. Dia berusaha mengingat semua perjanjiannya dengan pria yang saat ini masih menatapnya lekat.             Enardo tidak bisa menolak malam yang hadir dalam suasana seperti ini. Bahkan untuk melewatkannya pun, dia tidak mampu.             Dia bisa saja bersikap kasar dan sesuka hati. Bisa dipastikan jeritan wanita ini tidak akan terdengar oleh siapapun. Tapi dia lemah untuk satu wanita ini. Dia juga tidak tahu kenapa. “Kenapa diam ?” Tanya Enardo untuk terakhir kalinya.             Aishe mendongakkan kepalanya. Membalas tatapan Enardo. “Tu … Tuan …” “Aku …” “Eumhh … kita tidak mungkin melakukannya …” Gumamnya lemah.             Enardo semakin bergerak maju, sebab Aishe memberinya ruang untuk semakin bergerak ke tengah ranjang. Sangat pintar sekali, pikirnya. “Hanya sebentar saja …”             Wajah itu mulai mendekatinya. Dia tidak bisa menolaknya. Kedua matanya mulai berair. Tangannya sudah terkunci. “Tuan, aku mohon …”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD