bc

Loving you

book_age18+
849
FOLLOW
14.8K
READ
escape while being pregnant
forced
arranged marriage
arrogant
sensitive
maid
doctor
drama
tragedy
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Sejak bayi Chendana di asuh oleh kakek neneknya di desa. Delapan belas tahun kemudian, ia di bawa ke Jakara oleh ibu kandungnya untuk sekolah di sana.

Saat itu, dia berpikir akan mengubah nasibnya dan memboyong kakek dan neneknya ketika dia sukses nanti.

Nasibnya memang berubah, bukan menjadi baik, tapi menjadi lebih buruk.

Dijebak hingga hamil, menikah dan punya anak dan bercerai di usia muda, mengandaskan semua cita-cita.

Ketika dia bangkit, untuk memulai kembali hidupnya.

Tuhan memberi ujian, sehingga dia harus memilih satu diantara kembali ke masa lalu atau bertahan untuk mengejar kebahagiaannya.

chap-preview
Free preview
LVY part 1
Hujan sama sekali belum turun pada pertengahan Juli, sinar matahari menyengat, dan gelombang panas menggulung menerbangkan debu. Di lantai dua rumah sakit daerah, di lorong kamar kelas dua. Duduk seorang gadis, dia mengenakan seragam putih abu-abu, garis lehernya bengkok ketika dia menundukkan kepalanya. "Andai lantai itu punya jantung, pasti dia berdebar-debar kamu tatap terus sejak tadi." Dia mendengar lagi suara akrab di telinganya. Suara itu milik seorang pria muda. Dua bulan sudah dia bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani kakeknya yang dirawat karena menderita 80% luka bakar setelah kiosnya di pasar dilalap si jago merah. Selama itu, membuat Chendana akrab dengan beberapa dokter muda dan juga perawat. Salah satunya, Rayyi. Dia dan lima orang rekannya adalah dokter muda di rumah sakit kabupaten. Mereka ,menimba ilmu di universitas nomor satu di Indonesia. Sosok setinggi 180 cm itu, mengeluarkan sesuatu dari saku jas, lalu mengulurkan tangan. Dahi Chendana mengeriput. Lolipop? Memangnya aku anak kecil? "Ambillah," Ujarnya sembari duduk, "Makan makanan manis bisa bikin hati tenang." Chendana nampak sangat muda, cantik, dan lugu, sehingga Rayi ingin mengatakan apa saja kepadanya asalkan bukan hal yang menyedihkan untuk gadis itu. Rambutnya yang hitam membingkai wajahnya yang tirus. Matanya sayu dan pipinya memerah akibat udara panas di luar, dan kali ini ia nampak semakin mungil. Senyum Chendana hilang di wajahnya ketika ia mengawasi Rayyi.  Kemudian menunduk, dan nampak rapuh saat menggesek-gesekkn sepatu murahnya ke atas keramik bangsal rumah sakit. "Mana bisa tenang kalau keadaan kakek semakin memburuk. Menurut dokter, apa kakekku masih bisa bertahan?" "Keajaiban hanya untuk mereka yang punya semangat. Wajah sedih tak cocok, saat hati tenggelam dalam kesedihan, yakinlah, Tuhan pasti memberi jalan." Senyum Rayyi begitu hangat dan lembut, sehingga hati Chendana dialiri perasaan hangat karenanya. Pria itu mempedulikannya, dan kenyataan itu membersitkan kegembiraan tersendiri pada gadis yang masih polos itu. Chendana menyukai dokter Rayyi yang menurutnya sangat baik. Chendana membuka bungkus lolipopnya sambil mengangguk. Semburat rasa manis menyecap indra perasanya. Mereka duduk bersebelahan dan makan permen bersama. Tidak ada yang bertukar  kata. Dalam hatinya, Chendana senang bisa melakukan hal sederhana seperti itu bersama orang yang disukainya, dan perasaannya yang buruk berangsur  membaik.   "Terima kasih ya, dok. Permennya enak." Rayyi mengacak-acak atas kepala Chendana dengan gemas. Pada saat itu, pintu bangsal terbuka dan suara seorang wanita bergema. "Jangan suka mengacak-acak rambut anak gadis, itu bikin dia jadi jelek tahu!" "Bikin dia jelek atau bikin kamu cemburu?" "Mimpi!" Dokter Sandra merengut. Tawa Rayi yang meriah membuat koridor yang sunyi seketika menjadi hidup. Pria itu merangkul bahu Sandra dengan penuh kasih sayang seraya berkata, "Benar nggak cemburu? Diambil orang nyesel lho." Chendana ikut tertawa karenanya, bukan rahasia lagi, Raden Rayyi Saguna sudah lama menjalin hubungan dengan Sandra. Mereka pacaran sejak masih SMA sampai menjadi dokter muda, berarti hampir delapan tahun. Baik Rayyi maupun Sandra sama-sama berasal dari keluarga terpandang di kota asal mereka. Mengikuti saran orangtua, sebenarnya kedua orang itu bisa terus melanjutkan sekolah dan menjadi dokter spesialis, lalu praktek di rumah sakit besar. Tetapi Sandra menolak, dia lebih suka menikmati semua prosesnya dari bawah supaya menjadi dokter yang baik. Saking cintanya, Rayyi mengikuti semua kehendak Sandra, dan ikut terjun di ke daerah terpencil yang dipilih olehnya. Sebagian dari informasi diperoleh Chendana dari cerita perawat yang sering bergosip, tetapi kebanyakan diperoleh langsung dari Rayi, karena begitu dia dapat tugas jaga malam. Rayi akan memanggil Chendana yang menunggui kakeknya. Rayi mengajarinya pelajaran yang tidak ia mengerti, memberinya motivasi untuk menggapai cita-cita.  Mereka sering berbincang tentang banyak hal. Tentang ibukota yang belum pernah ia lihat. Tentang mengapa Rayi mau jadi dokter. Yang paling utama, tentu saja tentang Sandra. Tentang bagaimana cintanya Rayyi kepada wanita itu. Dalam benak Chendana, Sandra itu selalu bahagia dikelilingi oleh orang-orang yang sayang sama dia, tidak pernah bosan dan kesepian seperti dirinya. Dia tidak pernah mengalami keraguan dan ketidak bahagiaan. "Na," Suaranya lembut menenangkan, "Masuklah, ibumu di dalam." Setelah mengatakan itu, Sandra yang diikuti Rayi, bergegas pergi sambil mendiskusikan catatan medis milik oasien. Ibu? Hampir delapan belas tahun hidup di dunia. Chendana belum sekalipun memanggil seorang wanita dengan sebutan itu. Dia lebih akrab dengan panggilan aki dan nini, daripada ayah ibu.   Sudah bertahun-tahun yang lalu sejak terakhir kali dia melihat ibu kandungnya lewat foto, dia bahkan tidak ingat bagaimana tampangnya sekarang. Orang tuanya segera bercerai sebulan setelah ia lahir. Ibunya tidak menginginkannya, wanita itu pergi ke kota begitu saja, meninggalkan dia yang masih bayi hanya dengan ayahnya. Ditinggal oleh istri, dan bayi yang terus menerus menangis, membuat pria itu frustrasi dan kehilangan akal. Walaupun begitu, pria itu tetap mengurus dengan baik. Tuntutan untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya, dia kerja serabutan. Apa saja dia mau, asal dapat uang untuk membeli s**u. Meskipun sudah bercerai, hubungan ayah Chendana dengan mantan mertuanya tetap terjalin baik. Mungkin karena dia tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Sementara ayahnya bekerja, Chendana dititipkan di rumah neneknya dan diambil lagi kalau pulang kerja. Sampai musibah itu terjadi. Ayahnya tertimbun tanah bekas galian tambang pasir ilegal di Bogor. Jenazahnya baru bisa dievakuasi tiga hari setelahnya. Menurut cerita akinya, usia Chendana waktu itu baru dua tahun. Sejak saat itulah, dia diasuh oleh aki dan nini. Bukan kehidupan yang mudah untuk pasangan lanjut usia. Tidak cukup mengandalkan  pensiunan sebagai masinis kereta api, kakeknya membuka toko sembako di pasar yang kini hanya tersisa puing-puing arang. Chendana tersenyum sarkastik. Dia berdiri di sisi tempat tidur, satu kaki sedikit melengkung, dan mendengarkan tanpa ekspresi. Suara Mahya terdengar acuh tak acuh di seberang, "Abah  dalam kondisi serius. Aku akan membawanya ke Jakarta untuk perawatan lebih lanjut. Chendana, kamu juga ikut. Sekalian pindah sekolah di sana."  "Lalu, bagaimana dengan nenek? Kenapa nggak dibawa sekalian?" Mayha menjawab dengan kesal atas permintaan Chendana "Aku sudah setuju membawamu ke keluarga Bairi, jadi nggak mungkin menambah satu beban lagi. Apa yang suamiku pikirkan tentang aku nanti?" Chendana menatapnya, bertanya-tanya apakah itu ironis atau sesuatu yang lain. Matanya rumit. "Kalau begitu,aku nggak mau ke kota. Aku tetap di sini sama nenek." "Chendana!" Nenek keluar dari kamar mandi dan melihat cucunya, dia berhenti dan mendesah, "Ikut ibumu, suaminya kaya, mereka akan menemukan sekolah yang bagus buatmu. Kamu bisa melanjutkan kuliah di masa depan, bukankah kamu bercita-cita jadi dokter?" Chendana mendorong kursi, menatap rambut neneknya saat dia berkata, "Itu hanya cita-cita, tak masalah jika tidak terkabul. Yang penting nini, nggak mungkin aku ninggalin nini sendirian di sini." Nenek melambaikan tangannya, "Aki nggak kemana-mana. Dia tetap di sini, rumah sakit di desa juga bagus, ada Rayi dan yang dokter muda lainnya yang bisa bantu kami. Jadi kamu tak perlu khawatir." Setelah mendengar ini, Chendana tak punya alasan yang tepat untuk menolak. Dia mengangguk dengan lemah. Selesai berkemas pada malam hari, Chendana mengambil buku sketsa, membuat coretan wajah yang dia ingat di sana. Dia tidak punya uang untuk membalas kebaikan dokter Rayi, tapi dia punya sedikit ketrampilan. Esok harinya, Chendana datang ke rumah sakit lebih awal. Dengan buku sketsa di tangan, dia bergegas ke ruangan dokter.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Mas DokterKu

read
238.9K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook