Chapter 3

1261 Words
Fiona pov     Aku gugup sumpah saat kejadian di lift itu. Aku masih tidak menyangka kalau Aldy bisa semanis itu, saat dia membersihkan wajahku dengan tissue. Aaaahhhhh betapa manisnya sikap dia kepadaku.     Untung saja aku bisa menahan diri, kalau tidak aku sudah jingkrak-jingkrak di tempatnya langsung. Mungkin aku sudah gila sekarang, memang! Aku memang tergila-gila dengan Aldy. Saat ini aku beriringan bersama Aldy menuju meja kerja kami. "Ma.. Makasih ya, Al." kataku mencoba menunduk untuk menghilangkan rasa gugupku. "Yap, sama-sama." katanya dan berlalu pergi, aku mengangkatkan kepalaku, huh... Masih saja dia bersifat acuh kepadaku. Aku kembali ke meja kerja dan duduk di kursi. Pikiranku melayang... saat malam itu aku membuka jejaring sosialku dan mencari nama Aldy, aku membuka album photo yang ada di jejaring sosialnya. Aku mendapat sesuatu, ya... sesuatu yang bikin hatiku menjadi sesak dan aku sangat sulit untuk bernafas. Irma, satu kalimat itu serasa tidak asing bagiku, dia... dia adalah mantan tunangannya Aldy, saat ini dalam status jejaringannya pun bertulisan engaged with Irma Shantica, bumi yang ku pijak serasa bergoncang, dan tubuhku melayang. Tetapi, itu semua tidak masalah bagiku, akanku keluarkan berbagai cara untuk Aldy bisa melupakan Irma. Terdengar begitu kejam? Yah, inilah aku Fiona Alberthat. Akan mengeluarkan isi otakku agar Aldy bisa menjadi milikku, dan kalau misalnya Aldy tetap pada pendiriannya, ya. Aku mengalah, aku mengalah bukan berarti kalah, tetapi aku mengalah karena aku ingin melihat orang yang ku cintai bahagia walau tidak bersamaku. ♬♬♬ Aku, bersama Alika duduk di sebuah bangku dalam restoran tepat berada di samping kantor. Berbincang dengan Alika seperti emak-emak arisan itu memang ritual kami berdua. Rasanya tidak afdhol kalau kami tidak melakukan ritual yang satu 'itu'. Mataku menatap lelaki itu, mata yang sangat tajam seperti elang yang siap memangsa. Dia duduk seraya membenarkan jassnya, setelah itu dia memanggil seorang pelayan dan memesankan makanannya. Sayup-sayup aku mendengar Alika yang masih ngedumel, aku biarkan dia ngedumel, mataku terus menatap Aldy yang sedang duduk. Aku berpamitan kepada Alika untuk menemui Aldy. Ya, Alika tahu kalau aku menyukai Aldy, Alika mengangguk dan menyuruhku untuk bertemu pangeran devilku. Kenapa aku memanggilnya devil? Karena dia mempunyai sorot mata yang tajam, well sudah ku bilang kan fisik dia. Aku beranjak dari kursiku berjalan kearah Aldy yang sedang menunggu pesanannya sambil bermain gadget. "Hai.....," sapaku. Aldy mendongak, dahinya berkerut, alis sebelahnya naik keatas. Tanda kalau dia sedang bingung. Apa mungkin dia tidak mengenalku? Padahal dialah yang mengusap dahiku saat di lift. Entah kenapa hatiku merasa sesak, karena dia secepat itu melupakanku. Aldy mengangguk, tatapannya pun beralih menatap gadget. Aku menghembuskan napas panjang. "Bolehkah aku bergabung denganmu?" tanyaku mencoba lebih dekat dengannya. Aldy mengangguk lagi, tatapannya tetap menuju gadgetnya. Aku duduk di kursi itu berhadapan dengannya. Walaupun aku masih duduk di hadapannya dia tetap memainkan gadgetnya. Aku bergerak membenarkan dudukku, "Eum, kamu sudah pesan makanan?" tanyaku. Aldy menatapku dengan sorot mata yang tajam, kedua tangannya masih berada di gadget kesayangannya. Tapi...... bibirnya tercetak sebuah senyuman yang sangat manis. Senyum yang tak pernah dia tunjukkan kepadaku saat sebelumnya. "Aku sudah pesan, kalau kamu mau pesan silahkan, aku yang mentraktirmu." Hah? Apakah ini dia? Aku masih menatap bingung kearahnya. Traktir? Gak salah dengar kan akunya? Apa jangan-jangan iblis sedang membisik di telingaku saat dia sedang berbicara sehingga aku salah dengar, malah aku mendengar suara iblis.  "Hei, kenapa melamun?" tanyanya, sambil mengibaskan tangannya didepan mataku. "Eum, ng.... nggak, aku tidak melamun." sahutku. Tangannya menyentuh pipiku, "Kamu gak mau ku traktir, eum?" tanyanya, matanya menatap mataku dalam-dalam, tangannya masih setia di pipiku. Wajahku terasa panas, mungkin wajahku berubah menjadi merah padam. Mungkin aku bisa memanfaatkan waktu ini, dan menerima traktirannya. "Apa kamu yakin mau mentraktirku?" Aduh.... ini pertanyaan yang sangat bodoh, bukan?  Tapi aku harus memastikan, siapa tahu dia sedang bercanda. Atau dia akan bilang April mop. Tapi sekarang kan bulan Desember. Alisnya naik keatas, "Hei, Nona. Apa aku sedang bercanda? Aku tulus mentraktirmu." katanya, tangannya menjauh dari pipiku. "Eng.... bo-boleh, so-soalnya aku belum makan siang." kataku, aduh kenapa gugup sih. "Baiklah, kamu carilah makanan dan minuman sesuai dengan seleramu. Aku panggilkan pelayan dulu," katanya, tangan kanannya naik keatas dan aku beralih menatap buku menu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayannya, aku menatap pelayan wanita itu sedang tersenyum kearahku. "Saya mau lasagna minumnya oreo blended."   Pelayannya mencatat pesananku, "Ada yang lain?" tanya pelayannya. Aku menggeleng, "Tidak ada." jawabku. Pelayannya membungkukkan badannya dan berlalu pergi. Hening........  Antara aku dan Aldy tidak ada yang membuka suara, kami masih membungkam mulut. Tetapi mata Aldy terus menatapku dengan tatapan tajamnya. Aku menundukkan kepalaku karena aku takut dengan tatapan mata elangnya "Kenapa kamu menunduk?" Aku menggeleng, kepalaku tetap menunduk menatap hells yang aku pakaikan di kakiku. "Permisi, ini pesanannya.... beef steak dan minumnya carrot juice." kata pelayannya seraya meletakkan pesanan Aldy. "Pesanan lasagna dan oreo blendednya harap di tunggu hingga 15 menit. Permisi." suara kaki menjauh berarti pelayannya telah pergi. Aku menaikkan kepalaku, Aldy tetap menatapku sambil menyilangkan tangannya di d**a. Pesanannya dia biarkan di atas meja. Tanganku terus melilitkan brazer yang aku pakai sekarang. Inilah kebiasaan jelekku kalau sedang gugup. "Kenapa kamu tidak memakan pesananmu?"  "Aku menunggu pesananmu datang dahulu, setelah pesananmu datang kita memakannya bersama" katanya, mata elangnya terus menatapku. "Jangan.... nanti makananmu dingin kalau kau menunggu makananku." Aldy mengangkat bahu cuek. "Biarkan saja." "Hei, makananku datang 15 menit, makanlah dulu kalau makananmu dingin nanti tidak enak lagi." "Shhhhtttt....... diamlah, aku juga sedang menikmati hidangan pembuka yang ada didepanku." sahutnya jahil, dan terus menatapku. Aku mengerenyitkan dahi, hidangan yang ada didepannya?  "Ya, kau lah hidangan pembukaku, jadi diamlah." katanya, seolah dia bisa membaca pikiran yang ada di otakku. "A-......" baru saja aku mau bertanya, dia menyelanya dengan cepat. Jarinya berada tepat di bibirnya, "Shhhhttt..... sudah aku bilang diamlah."  Aldy terus menatapku, dia bilang aku hidangan pembuka? Bah, maksudnya apa? Karena risih di tatap dengannya, aku beralih menatap Alika, eh. Kok, Alika bisa bersama Pak Radit? Biarkanlah, itu urusan mereka dan aku tidak berhak untuk ikut campur urusan mereka walaupun aku sahabat Alika, tapi kami mempunyai hidup masing-masing, bukan? Aku melihat sekilas kearah Aldy yang terus menerus menatapku, aku kembali menundukkan kepala. Keheningan terjadi diantara kami, hanya suara orang sekitar restoran disini. Suara langkah kaki mendekat, "Permisi, ini pesanan lasagna dan oreo blendednya. Selamat menikmati. Permisi." ternyata pelayan, pelayan itu pun pergi. Aku masih menundukkan kepalaku.  "Makanlah..." Aku mendongak, ternyata Aldy tersenyum kearahku. Aku mengambil sendok dan garpu memakan lasagna ternyata lasagna disini lebih enak apalagi hargannya sangat murah beda dengan restoran tingkat atas. Well, ini juga restoran tetapi restoran ini berbeda dengan restoran tingkat atas lainnya, di restoran ini kebersihannya sangat terjamin. Aku menatap Aldy, ternyata dia sedang memakan makanan siangnya. Aku dan Aldy menikmati makanan kami dalam keheningan. Aldy sudah menghabiskan makanannya begitupun aku. Aku meminum oreo blended mataku tertuju pada Aldy yang sedang membersihkan mulutnya dengan tissue. Aku menghabiskan minumanku, sedangkan Aldy sehabis membersihkan mulutnya dia kembali menatapku. "Fiona, aku tahu kalau kamu tertarik denganku, bukan?" tanyanya, badanku terasa tegang. Dia tahu namaku dan dia tahu kalau aku tertarik dengannya. Sebenarnya selama ini Aldy tidak pernah memanggilku bahkan menyapaku saja tidak pernah. Aku kira dia tidak tahu namaku ternyata perkiraan aku salah. Dan dia tahu dari mana kalau aku telah tertarik dengannya? "Fio, kenapa kamu tidak mau jujur, hem?" Aku diam tak bergeming, badanku terasa kaku, dan lidahku terasa kelu. "Kenapa diam, Putri Ballerina?" Apa? Dia memanggilku dengan sebutan Putri Ballerina? Oh, tuhan aku tidak percaya dia memanggilku dengan sebutan 'itu'. Tapi, kenapa dia bisa tahu kalau aku seorang Ballerina? Memikirkan itu membuat kepalaku berdenyut. Aldy menatapku dengan tatapan tajamnya, kedua tangannya menggenggam kedua tanganku. Jantungku terasa mau copot. "Aku mau kau jadi pacarku." Apa?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD