Pak Purnomo duduk di teras rumahnya, menikmati lintingan Bako bali kesukaannya, sejak dulu Pak Purnomo tak pernah membeli rokok bungkusan, tembakau bali yang di racik sendiri dengan bumbu cengkeh dan sedikit taburan bubuk menyan itulah yang selalu di hisapnya, baik di rumah maupun saat dulu ia masih aktif di sawah.
Namun sejak karena sering sakit-sakitan ia tak lagi bekerja menanam padi, bahkan sawahnya sendiri kini sudah terjual, untuk biaya sekolah anaknya Devi, juga biaya pengobatannya. Dokter yang mewanti-wanti agar ia berhenti merokok tak di gubrisnya, karena merokok seakan sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Kepulan asap rokok lintingannya membumbung di udara, saat dilihatnya sebuah mobil yang bertuliskan "Polisi" memasuki pekarangan rumah.
“Selamat siang, Pak Purnomo.”
“Selamat siang Bapak-bapak Polisi, mari ... Silahkan duduk.”
“Sebentar.. Saya panggilkan istri saya dulu. Pak Purnomo berteriak memanggil istrinya, “Sari.. Sari..!, iki loh ono Bapak-bapak Polisi, gawekno kopi telu. (Ini ada Bapak-bapak Polisi, Buatkan Kopi tiga)”
Pak Purnomo kembali menghadapkan wajahnya kepada tamunya tersebut, “Kira-kira ada apa ya ini, Bapak-bapak Polisi menyempatkan datang kemari.”
Seorang Polisi berkata, “Begini Pak Purnomo. Dari hasi penyelidikan kami, kami sudah mulai menemukan titik terang. Kemarin ada seorang lelaki yang datang ke Kantor Polisi dan menyerahkan sebuah dompet yang dia temukan di jalan, yang berisi kartu ATM beserta kartu identitas milik Juminten putri Bapak.”
Kemudian Pak Polisi tadi menyerahkan dompet yang di maksudnya kepada Pak Punomo, dengan tangan gemetar Pak Purnomo menerima dompet tersebut, memeriksa isinya.
Pak Polisi yang menyerahkan dompet tersebut melihat mata Pak Purnomo yang berkaca-kaca, tampaknya melihat dompet dan isinya tersebut kembali menorehkan luka yang dalam di hati Pak Purnomo.
Istri Pak Purnomo keluar dengan membawakan tiga gelas kopi dan menghidangkan di meja, lalu mempersilahkan dua orang tamu Polisi tadi, kemudian ia kembali masuk.
Pak Purnomo hanya manggut-manggut mendengarkan ucapan Pak Polisi. Ekspresinya tampak datar, ia menghela nafas panjang, kemudian berkata, “Saya sepenuhnya percaya kalau Bapak bapak ini sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam melacak pembunuh putri saya, saya sangat menghaturkan ribuan terima kasih. Saya tak bisa membalas apa-apa, hanya Gusti Pangeranlah yang nanti akan membalasnya.”
“Kami hanya menjalankan tugas kami sebagai Anggota Kepolisian untuk tetap terjaganya ketertiban dan keamanan."
“Ya saya tahu itu, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan para pembunuh itu segera tertangkap.”
Sadewo masih belum kembali bekerja, ia sudah mengajukan cuti setidaknya untuk satu minggu sejak kematian Juminten pada Mandor Kepala, di Pabrik tempatnya bekerja. Siang itu ia hanya muter-muter Kota, menghilangkan rasa sakit yang terasa begitu pedih di tanggungkan hatinya, karena Juminten bisa di bilang adiknya yang paling dekat dengannya di bandingkan Devi, walau pun sebagai Kakak tiri ia sangat menyanyagi keduanya tanpa membeda-bedakan.
Sore harinya ia langsung memutar motor kembali ke Desa M, Dewo sudah berjanji pada Devi bahwa sore ini ia ingin mengantarkan Devi untuk berziarah ke makam Juminten.
Sesampainya di rumah setelah memarkirkan motor di halaman depan ia melihat Bapaknya yang sedang duduk melamun.
“As Salaamu ‘alaikum, Bapak lagi ngeliatin apa?” tanya Dewo.
“Ini loh, dompet adikmu, Juminten,” Pak Purnomo meletakkan dompet itu di meja, Dewo mengambil dan melihat isinya. Dewo pun sama, matanya tampak berkaca-kaca.
“Bapak dapat ini dari mana?”
“Tadi ada dua orang Polisi kemari, mereka yang memberikan ini sama Bapak. Mereka mengatakan bahwa pembunuh Juminten salah satunya sudah ketahuan. Kini sedang di buru oleh Polisi.”
Dewo antusias mendengarkan keterangan Bapaknya. Jauh dalam hatinya ia menyimpan api kemarahan yang membara, andai pembunuh itu kini berada dihadapannya tentu ia takkan menyerahkan kepada kepolisisan, melainkan ia habisi dengan cara paling keji dan sakit, agar terlepaskan api dendamnya yang masih berkobar itu.
Dewo lalu meletakkan kembali dompet itu kemudian masuk kedalam rumah, di ruang tengah tampak sepi, bergegas ke dapur dilihatnya Ibunya, Devi dan ada tiga orang lagi ibu-ibu tetangganya, tampak mereka sedang sibuk memasak untuk acara nanti malam, Tahlil malam ketiga kematian Juminten.
“Vi, dadi ora sore iki ning makame Juminten? (jadi ora sore ini ke makam Juminten?)” tanya Dewo.
“Yo sido Mas. Bu, pamit yo arep ziarah ning makam Mbakyu Juminten bareng Mas Dewo.
“Yo wis ngati-ati ae, ibu durung iso njenguk merono mergo akeh gawean ngene nggo acara Tahlil mengko mbengi. (Ya sudah hati-hati saja, ibu belum bisa jenguk kesana karena banyak pekerjaan begini untuk acara Tahlil nanti malam)”
Jarak rumah mereka ke Pemakaman Umum Desa Medasari cukup jauh sekitar setengah kilo meter. Devi naik motor di bonceng Sadewo.
Sesampainya di makam mereka terkejut bukan main, karena ternyata makam Juminten sudah amblas tanahnya kedalam, menyisakan lubang besar, nisannya sendiri rubuh. sementara dilihatnya makam-makam lain disekitarnya tampak normal, tak ada satu pun yang amblas seperti makam Juminten.
“Vi, kamu disini saja ya sebentar, Mas mau pinjam cangkul sama penjaga makam.”
Dewo berlalu, Devi berjalan memungut papan nisan kakaknya yang tergeketak di tanah, dan kembali Devi di kejutkan saat ia membalikkan papan nisan kakaknya itu, karena di bagian atas dimana tertulis nama dan tanggal meninggalnya Juminten berlumuran darah yang masih segar, dalam hati Devi bertanya-tanya darah apakah itu kiranya.
Devi bangkit dan mencari daun-daun kering yang rontok di sekitar makam Dewi, ia lalu membersihkan papan nisan dari darah yang menutupi nama kakaknya, tetapi anehnya setelah ia membersihkan darah tersebut selalu saja keluar darah segar dari papan nisan.
la mulai merasakan ketakutan, di lemparkannya papan nisan tersebut, darah terus keluar dan mulai merembes masuk ke tanah, sebagiannya mengalir menggenangi sekitar papan nisan.
Devi segera berdiri, berbalik arah dan berlari untuk menemui kakaknya Dewo, dari kejauhan ia sudah melihat kakaknya yang datang membawa sebuah cangkul ditangannya.
Setelah dekat Devi mengatakan apa yang baru saja dilihatnya kepada Sadewo.
“Kamu jangan mengada-ngada, Vi.”
“Beneran, Mas. Sumpah, sudah Devi coba bersihkan tetapi darah itu masih saja mengalir, itu darah yang masih segar, Mas."
“Ya udah, ayo.. Mas mau lihat.”
Namun sesampainya mereka di makam Juminten, Sadewo sama sekali tak menemukan darah seperti yang tadi di ceritakan adiknya.
“Mana, Vi. Kering begini?”
Devi memeriksa daun-daun kering yang tadi dipakainya untuk membersihkan darah, daun-daun itu memang tampak rusak bekas gesekan dengan papan nisan, namun sama sekali tak ada darah disana.
“Sudahlah, kamu duduk saja dulu disana, Mas akan merapikan kuburan Mbakyumu.”
Devi yang masih merasakan takut melihat darah segar di nisan itu, masih tak habis pikir, bagaimana bisa darah-darah itu menghilang begitu saja tanpa bekas, sedangkan nyata-nyata sebelumnya ia melihat dengan mata kepala sendiri.
Usai membereskan makam seperti semula, mereka berdoa.Mereka beranjak untuk pulang. Langit sudah mulai gelap, mendung sudah menggumpal, kilatan cahaya di langit kian menguatkan, bahwa malam ini tentulah akan turun hujan lebat lagi. Sebelum hujan
turun mereka harus sudah sampai kembali kerumah. Setelah mengembalikan cangkul pada penjaga makam, Dewo membonceng Devi, di kebutnya motor, berpacu dengan rintik hujan yang mulai turun.
Sayangnya mereka tidak melihat bahwa saat mereka meninggalkan makam tadi sesosok bayangan bergaun putih lusuh, dengan rambut panjangnya yang tertiup angin memandangi mereka dari bawah sebatang pohon Kemboja yang tumbuh dekat makam Juminten, sosok itu lantas melesat keudara dan menghilang.
Sosok itu membawa amarah dan dendam, karena malam ini ia akan mulai memburu satu persatu orang yang telah merenggut nyawanya. Hujan pun akhirnya turun dengan deras, membasahi tanah Desa M, Desa yang kini penduduknya mulai dilanda ketakutan pada sosok Hantu yang mengenakan gaun putih lusuh itu, sebagian masih bertanya-tanya siapa sosok itu, sedangkan sebagian lagi sudah bisa menduga kalau Hantu yang mulai menebar Teror di Desa M adalah Hantu Juminten, yang Arwahnya belum bisa tenang sebelum para pembunuh dirinya mati satu persatu.
Malam sudah semakin larut, Ilung malam itu mabuk berat. la baru saja pulang dari Karaoke langganannya. Sebelumnya ia sudah membooking sebuah kamar Hotel. Sampai di kamar ia merebahkan tubuhnya, masih terbayang wajah LC yang mendampinginya di Karaoke tadi, terbayang kembali saat ia meraba-raba dan menciumi tubuh gadis Pemandu lagu itu, tentu saja lung harus mengeluarkan tips yang cukup besar Bayangan itu membangkitkan nafsu birahinya, di bukanya smartphonenya, di carinya sebuah nama, Rinjani.
“Hallo, sayang. Bisa temani Abang gak malam ini. Di Hotel biasa No 14 ya. Buruan. Ok deh ditunggu loh,” telpon ditutup.
llung senyum-senyum sendiri karena sebentar lagi dorongan syahwatnya akan segera terlampiaskan. Tak sampai 5 menit pintu kamarnya ada yang mengetuk, Ilung membukakan pintu, didepannya berdiri sosok seorang perempuan cantik mengenakan baju merah yang sexy, mata Ilung memandangi tubuh perempuan itu dengan tatapan penuh nafsu.
“Cepat banget kamu, Rin, biasanya sampe setengah jam Abang nungguin kamu.”
“Hihihihi... Abang bisa aja, itu karena macet,"
“Buka bajumu, Rin."
“Sabar Abang, aku bukanya di kamar mandi ya, mau bebersih sekalian.”
“Disini aja napa..”
“Malu ah, Bang.”
“Hahaha.. Kayak gak biasa aja.”
“Hihihihi.. Sabar ya Abang.” Rinjani lantas masuk kedalam kamar mandi, menutupnya. lung merebahkan tubuhnya di pembaringan, sambil mengkhayalkan ia akan mencumbui Rinjani malam ini sepuasnya.
Tak terasa sudah setengah jam tapi Rinjani tak juga keluar dari kamar mandi.
“Rinjani..” lung memangggil.
Diulanginya memangil Rinjani beberapa kali, namun tak ada jawaban.
Karena penasaran Ilung bangkit dan segera menuju kamar mandi dibukanya kamar mandi. llung kaget bukan main, karena ternyata kamar mandi itu kosong. “Rinjani, kamu dimana?”
“Hihihi.. Aku disini, Bang.” Tahu-tahu terdengar suara dari belakangnya, llung berbalik dan ingin langsung mendekapnya.
Lagi-lagi Ilung di buat kaget, tetapi kali ini ia benar-benar terpana, karena sosok dibelakangnya bukanlah Rinjani, melainkan sesosok makhluk yng menebarkan aroma bunga Kemboja yang sangat menyengat, llung spontan berlari ke arah pembaringan,
sosok itu perlahan mendekatinya.
“Kenapa, Bang..”
“Kamu.. kamu.. bukan Rinjani. Kamu
siapa...?”
“Sudah lupa denganku, Bang? padahal empat hari yang lalu Abang menyetubuhi saya di gubuk di tengah sawah, masak Abang lupa."
“Kini sadarlah llung siapa sosok di depannya itu, wajahnya perlahan berubah semakin menyeramkan, kedua mata sosok itu jatuh ke lantai hingga yang tersisa hanyalah dua lubang hitam yang mengerikan dan mengeluarkan darah.
“Ampun Juminten ... Maafkan aku..”
“Hihihihihi.. Maaf Bang?, dulu aku juga berteriak memohon belas kasih Abang, tapi Abang terus saja memperkosaku bersama teman-teman Abang.”
“Tolonglah, Juminten.. Ampuni aku.. Aku berjanji.. tak mengulangi lagi perbuatan itu."
“Hihihihihihi.. ******** seperti Abang memangnya bisa di pegang omongannya?”
“Sumpah, Juminten. Demi Tuhan. Aku janji..”
“Terlambat, k*****t!!! Dosamu tak bisa kumaafkan!!”
“Ampun, Juminten.”
Juminten semakin mendekati Ilung. Ilung merapatkan tubuhnya ke dinding, dan dengan sangat cepat tangan Juminten sudah menjebol perut Ilung lalu menarik jantungnya keluar.
llung langsung mati saat itu juga. Seorang wanita memasuki parkiran Hotel dan menuju Pos Satpam, “Pak, bisa antarkan saya ke kamar no 14?”
Pak satpam yang sudah biasa dan mengerti maksud wanita tersebut hanya tersenyum.
“Jangan lupa itunya ya.”
“Tenang aja, Pak," sahut wanita itu yang tak lain adalah Rinjani, wanita panggilan yang tadi di telpon oleh Ilung.
Belum sampai Pak Satpam dan Rinjani memasuki pintu masuk Hotel, terdengar suara jendela kamar pecah dari lantas atas, sesosok tubuh meluncur dengan deras kebawah dan langsung menghantam lantai dasar Hotel. Kepalanya pecah, dengan perut yang sudah jebol hingga otak dan ususnya terpencar kesegala arah mengenai pakaian Rinjani dan Pak Satpam. Rinjani langsung pingsan di tempat.