Seketika aku bingung harus bagaimana, Ibu sama Bapak pasti syok dengan kepergian Kak Aira.
Apa yang harus aku lakukan? tiga hari adalah waktu yang singkat untuk menyelesaikan kekacauan ini, kemana kamu kak?
Andai aku tahu kamu dimana, maka akan aku seret kamu untuk pulang saat ini juga, aku tak rela jika Bapak dan Ibu harus kamu perlakukan seperti ini, dan andai undangan belum menyebar, andai saja aku yang di jodohkan oleh Ibu, andai aku yang di cintai pemuda itu, aku tak akan pernah menolaknya, bukan karena aku matre, tapi lebih ke baktiku ke Ibu.
Seharusnya dari awal Kamu menolak, jika memang tak sesuai hatimu.
Kenapa harus sekarang? di saat semua orang sekampung sudah mengetahuinya?
Jahat kamu kak, kamu memang tak memikirkan orang tua kita? dimana letak hatimu Kak?
Tak berapa lama aku keluar dari kamar Kak Aira, aku jalan ke dapur dimana disana ada Ibu dan juga Bapak. Aku bingung harus memulai dari mana, apa yang harus aku katakan tentang surat ini? Ya Alloh kenapa harus begini cobaan yang kau berikan kepada orang tua ku? pasti orang tuaku tak akan ada muka dengan tetangga dan orang sekampung jika pernikahan ini benar-benar batal.
"Kenapa kamu Syakila? Kenapa muka kamu seperti itu? Ada apa dek? ada masalah?" pertanyaan Kak Anis yang tiba-tiba membuatku kaget dan gelagapan, kertas coretan Kak Aira pun jatuh dari tanganku.
Kak Anis langsung memungut kertas tersebut, saat Kak Anis membaca surat itu, seketika matanya membulat tak percaya, "ini beneran dek? Kak Aira lagi tidak bercanda kan?" tanya nya kemudian.
Aku hanya menggelengkan kepala tanda aku tak tahu.
"Bagaimana ini dek? bapak sama ibu pasti syok dek kalau tahu, pernikahan akan di laksanakan tiga hari lagi. Kenapa Kak Aira ini sih? kok tega sekali" Dia berkata persis seperti yang ada dalam hatiku" Mana nanti siang Kak Aira mau dijemput sama Mas Imam loh dek, kita beralasan apa jika Mas Imam kesini?
Lagian kenapa sih Kak Aira harus pake acara kabur segala.Kalau memang dari awal Kak Aira tak mau dengan perjodohan ini, harusnya Kak Aira terus terang saja sama Ibu dan Bapak bukan kayak gini". Kak Anis masih mengomel dan aku membiarkannya saja.
Tiba-tiba terdengar salam dari luar, suara seorang laki laki .
Mampus batinku.
"Assalamu'alaikum" ucap Mas Imam sembari masuk kedalam rumah.
"Wa'alaikumsalam, eh nak Imam sudah sampai di sini, silahkan duduk nak, jawab Ibu".
Kami berdua terpaku di tempat kami berdiri, tak berani menghampiri mereka, bingung harus ngapain.
"Syakila, Anis, panggil kakakmu Aira, ada Mas Imam ini", kata Ibu memanggil saat melihat kami didepan kamar Kak Aira.
Aku ikut duduk didekat Ibu
"Dek Anis Dek Syakila, Kak Aira mana? mau Mas Imam ajak ke rumah, ada sesuatu yang penting yang akan kami bicarakan di sana dengan Kak Aira"
Aku dan Kak Anis saling bertatapan, seolah sedang menyatukan frekuensi kami lewat pandangan kami, Seketika kami menggelengkan kepala bersamaan.
"Ada apa dek?" tanya Mas Imam bingung .
Tanpa banyak bicara, Kak Anis langsung menyodorkan kertas keatas meja.
"Mas Imam bisa membacanya sendiri". kata Kak Anis sambil memberikan kertas keatas meja.
Ibu nampak mengernyit heran.Sebelum Mas Imam mengambil kertas tersebut, ternyata Bapak lebih dulu mengambilnya.
Deg, seketika dadaku terasa berat untuk sekedar menerima oksigen. Nafasku memburu saat Bapak membaca tulisan Kak Aira. "Bagaimana ini? Aira kabur?" kata Bapak dengan lirih?.
"Kak Aira tak ada di kamarnya Pak". jawabku ke Bapak.
Seketika kulihat wajah Mas Imam memerah menahan marah.
"Apa apaan ini Pak,Bu? kenapa Aira bisa kabur? salah kami apa Pak Bu? kenapa kami di permalukan seperti ini? kenapa harus kabur saat undangan sudah menyebar Bu, Pak?, apa yang harus saya jelaskan ke mereka? mereka pasti akan sangat malu Pak Bu!!" pernyataan Mas Imam penuh dengan pertanyaan sama seperti yang kami ungkapkan dalam diam.
"Pernikahan ini harus tetap terjadi Pak Bu, saya tidak peduli siapa yang harus menjadi pengantin wanitanya, karena kesalahan dari fihak sini, saya mau ada pengganti Aira sebagai istri saya, saya tidak mau mencoreng nama baik orang tua saya". kata Mas Imam tegas penuh dengan penekanan.
"Bagaimana bisa nak Imam, kami harus mencari kemana pengganti Aira?", kata Bapak kebingungan,
"kalian masih ada dua anak gadis di hadapanku ini, silahkan kalian tentukan, siapa yang harus menggantikan Aira? toh mereka sudah cukup umur semua, dan sekarang juga mau saya bawa kerumah saya untuk menjelaskan kepada mereka.
Sejenak semua terdiam, lalu Imam melanjutkan kata katanya, "Dari awal saya tidak pernah memaksa untuk Aira menerima cinta saya, tapi karena saya mendengar bahwa Aira setuju menikah dengan saya, maka saya langsung melamarnya, karena saya tidak mau pacaran. tapi kalau saya tahu akhirnya Aira kabur begini saya tidak akan pernah mengajaknya untuk menikah" tandas Imam.
Bapak dan Ibu masih terdiam mencerna perkataan Imam, "Bagaimana Pak Bu ? siapa yang akan menggantikan Aira, disini saya tegaskan, saya tidak mau pernikahan ini gagal dan membuat keluarga besar saya malu".tegas Imam sekali lagi.
"Bagaimana ini Pak?", tanya ibu dengan sesenggukan.
"Anis, bisakah kamu legowo nduk? gantikan lah posisi kakak mu, selamatkan nama kami nduk sebagai orang tua, dan selamatkanlah nama baik keluarga Mas Imam" Kata Bapak menanyai Kak Anis.
"Apa pak? saya? saya harus menggantikan Kak Aira?
Tidak, tidak, Anis tidak mau, cita cita Anis masih panjang Pak, Anis tidak mau Pak" Kak Anis bangkit lalu berlalu menuju kamarnya.
Sejenak aku berfikir, "sudahlah biar aku saja yang menggantikan posisi kakakku ini" batinku.
"Pak Bu, biarlah untuk saat ini syakila yang akan menutup aib ini, syakila akan mendampingi Mas Imam sebagai istrinya, saya akan menggantikan Kak Aira" Bapak dan Ibu tercengang dengan yang dikatan anak bungsunya ini.
"Tapi saya punya syarat, kalau Mas Imam mau menerima syarat saya, saya akan menggantikan Kak Aira, toh weton kami sama, jadi tak perlu ada pencocokan weton dan perhitungan tentang weton" semua masih terdiam.
"Bagaimana Mas Imam? Mas Imam mau menerima syarat saya?" tanyaku kepada Mas Imam kembali.
Bapak dan Ibu hanya diam terpaku mendengar ucapanku, kemudian Bapak angkat bicara.
"Tapi nduk Syakila, ini bukan main-main, ini tentang pernikahan, Bapak nggak bisa,
biarlah Bapak dicaci maki, biarlah Bapak menanggung malu atas semua ini".
"Tidak Pak, biarlah untuk ini Syakila akan berkorban demi nama baik dua keluarga".
"Perlu Mas Imam ketahui, saat saya sudah maju dan di perkenalkan sebagai calon Mas Imam, semua itu tak bisa di rubah lagi, pantang untuk saya mundur saat saya sudah menyatakan untuk maju. dan posisi saya tidak bisa di ganti meskipun nanti pas hari pernikahan Kak Aira pulang menyatakan diri sebagai mempelai wanita, bagaimana? bisa mas Imam terima syarat saya?"
"Deel saya terima syarat kamu Syakila". jawab Mas Imam.
***
Dalam hati Imam bergumam.
"Akan kamu sesali keputusanmu hari ini Syakila.
kamu akan menyesal oleh persyaratan mu sendiri. Dan kamu Aira, adikmu akan membayar penghinaanmu terhadap keluargaku hari ini.
Akan selalu kamu ingat karena ulahmu adik kesayanganmu ini akan menderita.
Gerbang pernikahan kami akan menjadi awal neraka untuk adikmu. Gumam Imam dalam hati.