BAB 33

2012 Words
“Kalau kita pergi dan kalau bukan kakak yang melindungi mereka, lantas siapa lagi?”   So Ji menggeram kesal. Rasanya ingin sekali tak melakukan apapun setelah perlakuan warga yang tak mengenakkan kepada mereka. So Ji melemparkan kayu ke arah pembakaran mayat para zombie dengan perasaan benci. Tatapannya tajam ke depan sembari mengingat lagi semua yang telah terjadi hari ini.   “Aku tahu itu. Tapi..” So Ji melihat tumpukan manusia yang mati tersebut di dalam api. Perasaan bersalah tiba-tiba menggerogotinya.   “—tapi apa kakak tidak masalah jika mereka hanya memanfaatkan kakak?”   “Apa itu menjadi masalah buatmu?” tanya Ko Ji balik. Mereka berdua saling bersitatap satu sama lain seolah bisa menjelaskan semua. Namun, kekesalan dan kekecewaan so Ji tetap saja tak bisa mereda.   “Hum…aku tidak suka kakak dimanfaatkan—“   “Kamu sudah tahu kakak apa kan?”   Pertanyaan Ko Ji itu langsung membuat So Ji bungkam. Gadis itu kembali mengingat semua kejadian yang telah mereka lalui setelah virus datang. Tak bisa dipungkiri jika hari-hari itulha, kakaknya bisa lebih terlihat sebagai manusia yang berbeda. Tidak seperti yang selama ini mereka jalani di kehidupan sehari-hari.   Kakaknya yang ia lihat kini seperti manusiayang tak takut mati. Manusia terkuat dengan kemampuan pedang yang luar biasa. Lalu mata yang selalu bersinar merah ketika ia akan bertarung secara serius, seolah akan memusnahkan siapa saja yang menghalanginya.ada sedikit rasa takut jika So Ji melihat itu secara langsung. Kedepannya ia akan menemui hal-hal itu lagi.   “Kakak –“   “Kakak sama seperti mereka. Seorang vampire,” ungkap Ko Ji tenang. Nada suara yang selalu terdengar dingin pun tiba-tiba berubah menjadi hangat. So Ji bergidik ngeri jika mengingat pertarungan terakhir yang ia lihat.   Mereka mempunyai kekuatan yang besar. Senjata apapun takkan mempengaruhi mereka kecuali benda-benda atau titik-titik dimana seorang vampire bisa terbunuh. Seperti semua cerita itu hany sebuah cerita dongeng belaka, kini So Ji melihat dan merasakannya sendiri bagaimana vampire itu memang ada. Dan kakaknya adalah sosok manusia langka itu.   “Kapan kakak menyadarinya?” tanya So Ji perlahan. Ia sendiri tidak yakin jika Ko Ji akan menceritakan hal itu kepadanya.   “Saat orang tua kita meninggal dunia.”   “Sudah selama itu. Kakak menahan semua ini.” So Ji tertunduk lesu. Ia tak menduga sudah selama itu kakaknya menderita sendirian. Dan apa selama itu pula Ko Ji menahan diri untuk tidak minum darah?   Seperti bisa mendengar apa yang So Ji katakan tentangnya, Ko Ji tersenyum tipis sambil mengusap rambut So Ji lembut. Perasaan hangat langsung menerpa hati So Ji yang sempat bingung dan sedih. Gadis itu tanpa sungkan memeluk Ko Ji erat setelah sekian lama.   Kini So Ji baru menyadarinya. Mengapa tubuh kakaknya bisa begitu dingin.   “Maafkan aku kak –“   Alih-alih menjawabnya, Ko Ji kembali mengusap rambut So Ji lembut. Menghidu wanginya malam yang bercampur dengan kayu bakar yang melenyapkan onggokan manusia yang mati terkena virus. Malam itu, suasana sedikit menghangat. Meski sebenarnya yang terjadi setiap kawasan menjadi cepat dingin karena berkurangnya kehangatan cahaya.   Banyak wilayah maupun perkotaan ataupun pedesaan yang kosong dan gelap karena ditinggalkan penghuninya. Bahkan tanda-tanda kehidupan juga tak terlihat lagi di manapun.   Setelah virus itu menyerang, hidup semua orang menjadi lebih panjang dan melelahkan. Banyak dari mereka yang harus berjuang hidup di luar sana. Tak lagi sempat untuk melindungi orang lain,manusia yang tersisa hanya tinggal memikirkan diri mereka sendiri. Entah sampai kapan peristiwa ini akan berakhir. Menggantungkan hidup di barak pun juga tak menjamin semua menjadi aman dan kembali nyaman. Masih ada lagi ancaman yang akan mereka hadapi. Tentu saja serangan dari para vampire yang ingin menangkap mereka semua.   Keadaan di barak juga tak sepenuhnya baik. Beberapa orang mulai letih dan tak berdaya terkurung di dinding tinggi yang hanya seekor elang saja yang dapat keluar dari tembok tinggi tersebut. Meski barak dibuat layaknya rumah komplek yang memiliki perlengkapan lengkap baik dari sandang, pangan dan papan, tetap saja kekosongan mereka yang menginginkan dunia kebebasan terus mencuat.   Satu bulan setelah virus menerjang, para manusia murni mulai merasakan kegelisahan. Apalagi tentang kondisi terburuk yang belakangan ini mencuat. Para zombie semakin mengepung wilayah mereka. Belum lagi serangan makhluk penghisap darah lainnya yaitu vampire yang mulai meresahkan, membuat kepercayaan warga tentang keamanan barak timur dipertanyakan. Beberapa kabar bahkan mulai terdengar bahwa masyarakat umum diharapkan untuk berlatih kemiliteran yang itu artinya tenaga keamanan di luar semakin memburuk.   Para warga yang memiliki keberanian tentu saja dapat menerima tawaran itu dengan baik. Tapi bagi beberapa orang yang dipaksa untuk melakukannya tentu sangat menderita. Tak heran jika rasa was-was dan ragu jika mereka bisa aman dan nyaman di tempat penampungan ini lebih lama.   “Kalian lihat? Mereka tak melakukan apapun selama satu bulan ini,” keluh seorang pria yang tengah duduk sambil menikmati dua buah kaleng bir yang dia keluhkan selama sebulan ini juga tidak merasakan nikmatnya.   “Mereka juga takut menghadapi zombie-zombie tersebut. Dan sekarang malah memaksa kita untuk ikut latihan militer,” keluh pria lain yang juga ikut dalam kumpulan para pria yang tengah mabuk-mabukan di siang hari itu.   “Mereka juga membuat peraturan yang tak masuk akal. Membuatku tak bebas melakukan apapun,” ucapannya itu disetujui oleh mereka berempat, tapi tidak dengan seorang pria berkaca mata yang tengah duduk menyendiri. Ia diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka hingga ia menanggapinya sendiri.   “Kalian sendiri malah sibuk minum di sini. Lebih baik tukar tempat kalian pada orang yang masih berada di luar,” gumam pria muda tersebut yang memilih untuk bangkit dari kursinya kemudian pergi meninggalkan beberapa lembar uang di meja.   Pria yang tengah menenteng laptop tersebut lantas berjalan santai ke sebuah lorong yang dipadati oleh orang-orang frustasi lainnya yang sama sekali tak tahu akan nasib mereka ke depannya seperti apa. Beberapa ada juga yang mencoba peruntungan dengan menjadi pedagang ataupun memberikan jasa. Dari kasat mata, barak ini memang dibuat layaknya sebuah kota besar yang dapat menampung banyak penduduk. Di dalam sebuah rumah bertingkat, bahkan bisa ditempati oleh enam keluarga.   Meski bangunan tersebut dibuat sederhana,namun fasilitas di dalamnya tetaplah mengikuti kemuktahiran alat di jaman sekarang. Hanya saja, untuk mengakses dunia luar dari tembok barak, sama sekali tak diberikan ijin. Alasannya pun beragam. Banyak yang beranggapan mereka melakukan itu untuk menekan mental para penduduk yang mungkin merasa trauma dengan epidemic ini. Sebagian yang lain pun berasumsi bahwa kemungkinan lainnya yang terjadi di luar sana.   Dan yang paling santer terdengar adalah tentang proyek besar yang tengah di buat untuk memusnahkan wilayah yang terdampak. Hal tersebut tentu saja ditentang oleh sebagian penduduk yang mengungsi. Mereka memberikan protes tentang rencana tersebut jika benar-benar dilakukan. Pasalnya mereka masih percaya bahwa keluarga mereka yang tertinggal masih bisa terselematkan.   Jika satu kota dimusnahkan dengan bom besar, bukankah itu hanya akan menimbulkan masalah baru?   Kembali pada pria muda yang mengenakan kaos polo putih dengan celana jeans terikat di perut, tampak pemuda tersebut mengamati sekitar sebelum akhirnya memilih berjalan menyepi di sebuah lorong. Ia terus berjalan melewati dinding bisu dengan elegan melepaskan satu persatu barang yang menempel di tubuhnya.   Mulai dari kacamata, laptop dan jam tangan. Sebuah dinding menghalangi sosoknya yang kini telah berubah menjadi pemuda yang amat berbeda. Mengenakan pakaian yang berbeda pula, pemuda tersebut tampak santai dan lebih nyaman dengan kaos bunga-bunga acak miliknya itu. Dari penampilan yang culun nan kutubuku, kini ia telah berubah menjadi pemuda yang modis dan kekinian.   Bukan hanya dari segi pakaian, wajah serta gaya berjalan pun juga berbeda. Pria berkacamata hitam tersebut lantas keluar dari lorong sambil tersenyum menebar pesona pada siapapun yang ia lewati. Tak sedikit pula gadis-gadis yang ada didekatnya balas tersipu melihat pemuda misterius tersebut.   Pemuda yang pernah So Ji lihat di tepi jembatan saat itu..   Dia tampak sibuk dengan alat komunikasi yang tertempel di telinganya. Lebih tepatnya sejak tadi ia bicara pun dengan seseorang yang ada di alat komunikasinya itu. Kali ini One berbelok untuk menghindari tentara yang berpatroli menggunakan alat pendeteksi yang ia benci.   Cukup merepotkan bagi One mengubah banyak penampilan demi tidak terciptanya kecurigaan satuan keamanan kepadanya.  Karena sudah beberapa kali juga One nyaris tertangkap karena mendapati tertangkap radar yang mereka kenakan di kacamata mereka.   Yah..bisa tertebak jika kacamata tersebut berfungsi untuk mendekteksi suhu tubuh yang jelas berbeda bagi para zombie maupun vampire. One nyaris tertangkap beberapa kali karena hal tersebut. Karena itu kini ia memilih menyamar dan melaksanakan misinya dengan lebih hati-hati.   “Ada tiga tentara di sini,” ungkapnya yang dicatat sebagai laporan oleh lawan bicaranya yang entah berada di mana itu.   “Baiklah..jangan sampai tertangkap,” pesan seorang gadis bertaring yang tengah asik duduk di depan computer yang jumlahnya bukanlah sedikit. Bahkan di tengah-tengah pekerjaannya itu, ia tengah santai menikmati segelas cairan merah yang ia anggap lebih istimewah daripada botol-botol wine di belakangnya.   “Apa ada petunjuk?”   “Terus saja. Markas mereka bukan di gedung besar itu. Kali ini percayalah padaku,” tukas gadis itu yakin. One malah menekan keningnya untuk berpikir sejenak.   “Oh ya..apa gadisku selamat sampai di desanya?”   Rekan kerjanya yang mendengar hal tersebut sampai tersedak. Mulutnya mengeluarkan banyak cairan merah yang lebih detailnya mirip dengan darah.   “Gadismu? Sejak kapan dia menjadi gadismu?”   “Sejak pertama kali kami bertemu –“   “Hei..hei..kau ditugaskan dan diciptakan untuk bekerja. Bukan untuk jatuh cinta dengan seorang manusia. Apa kau mengincarnya hanya untuk persiapan makanan penutupmu?” ucapan gadis itu berhasil membuat One terdiam sesaat. Pemuda dengan rambut setengah mohank itupun kemudian tersenyum tersipu-sipu sendiri sambil mengingat cerita singkatnya dengan So Ji.   “Aku tahu. Setelah tugas ini selesai,aku ingin bertemu dengannya lagi.”   “Aku rasa jika kau menemuinya, kau akan dibunuh olehnya nanti. Karena tentu seakarang dia sudah tahu siapa kau sebenarnya,” kekehnya puas. Tapi One tampak sama sekali tak terganggu dengan hal itu.   “Yah..itu mungkin saja terjadi. Tapi aku benar-benar rela jika dia yang menakhiri hidupku,” ucap One terdengar didramatisir. Gadis yang ia hubungi itu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil melanjutkan pekerjaannya.   “Jangan konyol. Bisa saja kau malah mati di tangan kakaknya. Oh ya, apa kau sudah dengar kabar tentang trio vampire Tania itu?”   One mengamati seseorang yang langsung ia ikuti langkahnya. Lagi-lagi One mengubah penampilannya setelah melewati sebuah toko pakaian muslim. Dengan persiapan seadanya, kini One malah terlihat seperti wanita berpakaian gamis putih panjang dengan penutup kepala yang diikuti cadar di wajahnya.   “Tentu saja. Aku sudah dengar kabar itu. Mereka telah dikalahkan oleh Ko Ji. Vampire misterius itu.”   “Sekarang dia bukan lagi misterius tetapi pantas disebut vampire terkuat saat ini. Setelah kematian Minerva, ia jadi semakin popular karena diincar,” sambung gadis tersebut yang tak menyadari setelah mendengar ucapanya itu, One seketika mengkhawatirkan So Ji.   “Tidak. Kalau begitu, gadisku berada dalam masalah karena kakaknya itu.”   “Hmm..berhentilah mengkhawatirkannya. Pikirkan diri kita saja,” ketusnya lagi.   Meski One mengatakannya seperti tak bersungguh-sungguh, nyatanya apa yang dikhawatirkan One itu benar-benar terjadi. Sebulan setelah pertarungan Ko Ji dengan Minerva, banyak para vampire yang mampir untuk menguji kemampuan sekaligus mengusik keamanan yang dilakukan Ko Ji untuk desa Sobong.   Hal tersebut jelas cukup menyulitkan Ko Ji. Dia terus berjuang sendirian demi dapat melindungi desa Sobong yang amat ia cintai itu. Para penduduk sekitar tetap mementingkan diri mereka sendiri dengan memanfaatkan Ko Ji yang memiliki kemampuan seorang vampire itu.  Sehingga selalunya, Ko Ji akan berhadapan terus menerus dengan para zombie ataupun dengan para vampire.   Kesal, sedih dan takut menjadi hal yang So Ji rasakan setiap kalinya. Ia ingin sekali dapat membantu sang kakak untuk menyingkirkan musuh-musuh yang datang ke desa mereka. Tapi kerap kali pula, Ko Ji melarangnya untuk ikut maju.   Ditambah lagi para penduduk juga tak berniat menolong mereka, menambah titik kejenuhan So Ji untuk berpura-pura tak tahu apapun terhadap mereka yang tak acuh.   “Kakak!”   So JI berteriak histeris saat Ko Ji terkena sabetan pedang dari vampire yang bergaya ala tentara perang romawi jaman dulu itu. Pertarungan sengit mereka malah menjadi tontonan para warga desa yang semakin menambah kekesalah dan kebencian So Ji.   Dan yang lebih menyakitkan dari itu adalah, ia melihat paman Han dan keluarganya bahkan ikut merayakan kemenangan setiap kali Ko Ji terlihat kewalahan dan kalah. Disitulah hati kecil So Ji semakin terluka tak merasakan lagi nyamannya tinggal di desa.   “Kak..maukah kau keluar dari desa ini bersamaku?” . BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD