BAB 3

1103 Words
EPISODE SEBELUMNYA   Ko Ji hendak mengejar So Ji yang pergi entah kemana. Namun atensinya jatuh pada seseorang yang berdiri tepat di luar restauran. Pemuda misterius yang mengenakan hoddie putih dengan headset di telinganya. Pemuda itu lantas menaikkan kepala plontosnya dan menyeringai. Beradu pandang dengan Ko Ji sambil menunjukkan taring lancipnya.     Terdengar deru napas yang amat memburu. Deru napas pemangsa yang melihat buruannya untuk cepat ia tangkap dan mangsa. Ko Ji mendengar itu dengan amat jelas. Dari pemuda di seberang jalan yang menyeringai untuknya. Tapi Ko Ji lebih memilih pergi setelah pemuda itupun tiba-tiba menghilang disebalik mobil yang melintas di depannya.     Entah apa yang akan terjadi nanti, tapi perhatian Ko Ji terpaku pada So Ji sang adik yang mencoba kabur darinya. Tapi sayangnya gadis itu tersesat hingga ia hanya bisa bengong di pinggir jalan setelah melihat beberapa orang berkerumun.     Tampak mereka memperhatikan sesuatu yang menghebohkan hingga beberapa pejalan kaki rela untuk berhenti dan mengamati. So Ji salah satunya. Ia yang tadinya ingin menyeberang jalan malah tertarik untuk ikut masuk dalam kerumunan untuk melihat apa yang menghebohkan orang-orang sekitar.     Suara-suara sumbang saling sahut menyahuti. Mereka berbisik menilai apa yang terjadi. Padahal seseorang tengah tergeletak di jalan. Kondisinya amat mengenaskan dengan mulut penuh darah dan belatung.     Polisi setempat langsung mengamankan dan So Ji tak sempat melihat orang malang tersebut. So Ji terusir dari kerumunan dan sebuah tangan langsung menangkapnya agar tak terdorong jatuh ke belakang.     So Ji berbalik dan mendapati sang kakak dengan wajah datarnya menangkapnya selalu.     Yah..So Ji selalu mengeluhkan, bagaimana sang kakak bisa dengan mudah menemukannya?     So Ji sampai mengira kakaknya adalah anjing pelacak kepolisian karena begitu akurat menemukan dirinya. Permainan pun usai. So Ji tak sempat untuk kabur sambil berkeliling kota sendiri. Tujuan ia 'ngambek' memang karena itu. Tapi usahanya gagal total. Kini ia harus pasrah diseret keluar dari kerumunan yang semakin menjadi.   “Jangan berkeliaran,” ucap Ko Ji serius.   Wajah penuh antisipasinya tak bisa ia tutupi. So Ji terdiam mengamati wajah itu.   “Ada apa di depan sana?”   “Entahlah. Baik kita pulang. Ini sudah larut malam.”   “Ah..kakak – “ rengek So Ji. Tapi ia menurut saja saat Ko Ji menariknya untuk segera kembali ke mobil pick up mereka yang terparkir tak jauh dari sana.   So Ji menoleh ke belakang, menyaksikan kehebohan yang mulai terjadi di dalam kerumunan itu. Tapi ia memilih untuk tak mengatakannya lagi pada Ko Ji karena ia sudah tahu bahwa Ko Ji hanya akan menariknya keluar dan pura-pura tak tahu apapun tentang itu.   #   Pagi yang tenang dan dingin. Di kebun, tampak Ko Ji tengah bersiap dengan sepatu boot kuningnya. Dua keranjang berada di sampingnya dengan beberapa alat pertukangan yang siap menemani pekerjaannya pagi ini.   Tentu saja ladang yang akan ia urus hari ini bukan lagi hamparan ladang strawberry milik pamannya, tapi kali ini adalah miliknya sendiri. Meski banyak yang harus digarap dari awal olehnya, ia tetap semangat untuk mengerjakannya pagi-pagi buta begini.   Dan melihat hal itu, bibi Bae sudah siap dengan ocehannya yang langsung tak digubris oleh Ko Ji yang dengan santai melenggang ke mobil pick upnya.   “Semoga hari ini hujan lokal untukmu!” umpat bibi Bae yang masih menyisakan rasa kesal di hatinya.   Ko Ji tersenyum sambil melajukan mobilnya. Sisa-sisa darah di kaca mobilnya kembali mengingatkannya akan rusa dan manusia mayat hidup itu. Tercetus ia ingin melihat kembali tempat kejadian untuk memastikan apa yang terjadi setelahnya. Tapi melihat rekan kerjanya sudah sibuk di pos desa, membuatnya menghentikan mobil dan turun barang sebentar untuk obrolan pagi yang sibuk ini.   “Pagi-pagi sekali,” sapa pria yang mengenakan pakaian polisi hutan itu.   Ko Ji yang irit senyum itu menampilkan sedikit kebahagiaanya dengan menunjukkan senyumnya itu, “Ada yang harus aku garuk.”   “Ladang baru milik paman So Man?”   Ko Ji menaikkan sudut bibirnya bangga, “Milikku –“   “Wah…kau akhirnya benar-benar membeli ladang itu? Hebat!” puji polisi yang bernama Lee Yeon itu.   Ko Ji tak ingin menanggapi ocehan panjang rekannya itu dan malah fokus pada apa yang Lee lakukan. Pria bertubuh agak pendek dari Ko Ji itu tampak banyak membawa peralatan ke dalam bagasi mobil patroli hutan mereka   “Kalian akan berburu?”   “Oh. Ada laporan yang masuk tentang banyaknya rusa yang mati dimangsa secara brutal oleh binatang lain.”   “Bukankah itu sudah biasa?”   “Yah memang biasa tapi dalam semalam menghabiskan sepuluh ekor tanpa melahapnya habis? Hewan apa yang hanya mengincar darah untuk dimakan?”   Mendengar hal itu Ko Ji lantas tertarik untuk membahas hal ini. Apa yang mereka maksud juga rusa yang ia hadapi semalam?   “Apa rusa-rusa tersebut juga mengeluarkan belatung dari mulut mereka?”   Lee Yeon melihat buku laporannya dan ia tak yakin dengan itu, “Entahlah. Tidak masuk dalam laporan. Aku akan memeriksanya nanti.”   Ko Ji terdiam. Mungkin ini kasus yang beda lagi.   “Apa kau melihat sesuatu semalam?” tanya Lee Yeon yang merasa Ko Ji mengetahui sesuatu.   Ko Ji ingin mengelak dari pertanyaan itu, tapi sepertinya ini juga berita penting demi kelangsungan hidup hutan mereka. Meski Ko Ji terlihat antisocial dengan yang lainnya, tapi ia tak mau mengelak bahwa ia akui dia sangat suka dengan tempat dimana ia tinggal sekarang. Hutan dan desa ini sudah seperti saudara dan keluarga baginya. Kehangatan tempat ini selalu membuatnya rindu untuk selalu cepat-cepat kembali ke rumah. Karena itu ia tak pernah sungkan untuk mengurus dan membantu melindungi desa yang ia cintai itu. Karena baginya, desa tersebut sudah menjadi bagian dari dirinya.   “Yah. Ada seekor rusa yang menghampiri trukku. Aku pikir kami menabraknya tapi ternyata ia menabrakkan dirinya. Lalu –“   “Lalu apa?” tanya Lee penasaran. Tapi atasannya sudah memanggilnya untuk bergegas.   Wajah cemas juga terpatri ke kepala polisi hutan – pak Sam. Pria blasteran Inggris – Korea itu terlihat membawa dua senapan laras panjang yang ia masukkan ke kursi penumpang mereka.   Lee segera berlari ke sana untuk membawa barang bawaan yang tersisa.   “Nanti aku tanya lagi kau tentang rusa tersebut,” pesan Lee yang langsung ditanggapi dengan anggukan oleh Ko Ji.   Pemuda berdedikasi itu lantas masuk ke dalam mobil patrolinya dan meninggalkan Ko Ji yang terdiam sendirian di depan pos. Embusan angin dari arah hutan yang membuatnya terdiam. Suara-suara angin dan cuap-cuap tak jelas kembali terdengar di telinganya. Awalnya itu tak menyakitkan dan tak memiliki makna. Namun kali ini mulai mengganggu Ko Ji hingga ia berusaha untuk menghentikan dengungannya.   Lalu yang ia dapati malah sebuah ucapan jelas yang bukan lagi hanya sebuah suara sumbang. Suara itu terdengar seperti tengah mengatakan :   “Mangsa –“   Lalu diakhiri dengan geraman yang kencang.   “Mangsa? Tapi tadi itu..suara siapa?” monolog Ko Ji dalam hati.   .   .   bersambung  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD