Nyonya Bae masih terjaga. Kenyataan bahwa keponakanna diam-diam memiliki uang untuk membeli lahan strawberry yang menjadi incarannya, membuat wanita lima puluh Sembilan tahun itu kesal. Dia kesal karena merasa kurang cepat melangkah terlebih dikalahkan pula oleh keponakan yang selalu ia ejek kemampuannya.
Harga dirinya terkoyak. Kebenciannya jadi bertambah. Meskipun suaminya sudah mengingatkannya untuk jangan menganggap remeh pada siapapun.
“Apa kau masih bisa tidur nyenyak? Hah?” omelnya, pada sang suami yang sudah bersiap dengan stelan piyama kotak-kotak serta kaos kaki tebalnya.
Walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di atas bukit, rasa dingin menghujam wilayah ini sungguh tidak manusiawi. Terkadang saat musim gugur dan salju, suhu udaranya bisa mencapai minus. Tak khayal kadang So Ji sering berceletuk bahwa desa ini mirip desa Edward Cullen. Desa tempat tinggal para vampire yang suka tempat dingin.
“Memangnya kenapa aku harus tidak tidur hanya karena Ko ji membeli tanah Myoung,” gerutu So Man yang sebenarnya sudah mulai lelah mendengar istrinya meributkan tentang hal itu lagi.
“Lihat! Kau masih saja berpikiran sempit. Bagaimana kalau usaha kita malah direbut oleh Ko Ji?”
“Dia kan sudah janji tidak akan melakukan itu –“
“Apa kau akan percaya begitu saja dengan janjinya? Dia bahkan sekarang telah mengkhianati kita!” omel bibi Bae yang masih saja membantah ucapan suaminya.
So Man terus saja berbaring sambil membayangkan sisa daging yang ia makan tadi. Tapi karena istrinya terus berisik, mau tak mau bayangan itu bercampur dengan wajah istrinya yang cemberut dan bermuram durja.
“Kenapa kau sebut itu pengkhianatan? Ko Ji pernah mengatakannya tapi kau yang meremehkannya.”
Bae Im Na sedikit terkejut. Ia mencoba mengingat kapan pernah meremehkan keinginan Ko Ji itu. Dan setelah dia ingat, ternyata hal itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Saat ulang tahun Ko Ji yang ketiga puluh.
Pemuda itu mengucapkan permintaan di atas kue ulang tahun yang So Ji pegang ketika ia baru saja pulang memberi makan sapi. Dan permintaan yang ia lontarkan adalah ingin memiliki kebun strawberrynya sendiri. Tapi Im Na langsung tertawa dan menyebut permintaan Ko Ji terlalu tinggi.
“Kau bilang saat itu -- harga tanah tidak sama dengan harga sapi. Di desa kecil ini saja harga tanah seperti menyediakan dua puluh ekor sapi besar. Butuh berapa lama kamu dapat membeli dan membesarkan sapi-sapimu hingga menjadi satu hectare tanah? – dan lihat apa yang terjadi? Ko Ji hanya punya sepuluh ekor tapi harganya naik dua kali lipat karena banjir di Australia. Sapi miliknya yang terbaik dan dia bisa dapatkan cukup uang untuk membeli tanah. Sekarang..apa itu yang kau maksud pengkhianatan?” terang So Man yang kini akhirnya puas bisa mendiamkan istrinya yang masih tercengang sendirian.
Ucapan suaminya itu sukses membuatnya terasa seperti tertusuk sembilu. Takut ia akan menjadi semakin gila karena kedua anak itu, Im Na akhirnya menyerah dan memilih mulai tidur memikirkan yang lain.
Suasana berbeda terjadi pada Han bersaudara. Mereka baru saja sampai di kota yang penuh dengan manusia yang beraktifitas malam. Kendaraan terbang dan lampu gedung yang bercahaya menyilaukan hingga membentuk manusia virtual yang besar, membuat So Ji nyaris tak percaya bahwa itu hanyalah sebuah lampu neon.
Toko-toko dihiasi dengan begitu indah. Di setiap sudutnya pasti akan terpampang televisi besar yang menunjukkan artis atau idola yang tengah mempromosikan barang atau jasa dari toko tersebut. Pantas saja harga sewanya bahkan mencapai miliyaran won.
Yang paling mencolok dari semua itu adalah sebuah gedung tinggi dengan lampu sorot raksasa dan terbanyak yang ia miliki. Gedung itu sukses membuat So Ji berhenti berjalan karena sibuk menghitungdan mereka-reka setinggi apa gedung tersebut. Ko Ji yang melihatnya langsung memperingatkan So Ji agar tidak melamun di tengah jalan. Karena sejak tadi ia perhatikan, gelagat anak muda punk di sini amat sangat tidak bersahabat.
“So Ji, jangan melamun di jalan – “
“Kak. Gedung itu kira-kira berapa meter yah?” tanya So Ji yang masih belum mau beranjak dari keterpakuannya.
Ko Ji terdiam sebentar lalu ikut memperhatikan, “Hum, mungkin sekitar lima ratus sampai delapan ratus meter?”
“Seperti Burj Khalifah?”
“Entahlah. Apa kini melihat gedung membuatmu kenyang?” ledek Ko Ji sambil tersenyum licik ke arah adiknya yang lupa tentang makan daging.
So Ji segera mengingatnya dan gadis itu langsung menarik tangan kakaknya masuk ke dalam restaurant yang mereka ingin datangi.
Sebuah restaurant penuh dengan aroma daging panggang yang menggugah selera. Perut So Ji seketika berbunyi hanya dari mencium baud aging itu di ujung pintu. Para koki handal terlihat sibuk memainkan pisau pendek dan panjang mereka di meja masak. Mengiris, memotong atau membelah daging segar yang tergantung di belakang mereka menjadi tontonan yang menakjubkan.
Air liur So Ji bahkan hampir menetes dibuatnya.
Satu meja mereka dapatkan. Meja dengan beberapa tombol menu yang ditampilkan di depan layar mempermudah mereka untuk memesan menu apa yang ingin mereka santap. Ternyata sudah cukup banyak juga menu yang habis. Sehingga yang tersisa dari santap malam yang terlalu malam ini menyisakan menu-menu daging mahal. So Ji cukup berjengit melihat daftar harganya. Tapi Ko Ji terlihat tidak menyoalkannya.
“Mahal kak. Kita makan satu kali di sini, esok kita hanya akan makan strawberry selama sebulan,” gundah So Ji yang mengundang tawa geli dari Ko Ji.
Hanya karena harga apa mereka akan beranjak begitu saja? Ko Ji tidak ingin keluar lagi mencari lokasi lain. Keberadaan anak punk yang mengikuti mereka tadi saja sudah membuat Ko Jim alas beranjak. Tak mengendahkan ucapan adiknya itu, Ko Ji tetap menekan menu yang harganya cukup murah dari yang lainnya. Bersamaan dengan minuman yang akan menemani mereka makan.
Pesanan tentu saja langsung masuk ke meja koki. Mereka segera memprosesnya lalu layar menu meminta mereka menyingkirkan tangan mereka dari atas meja. Karena meja tersebut akan bertransformasi menjadi sebuah meja setengah panggangan datar. Tak lama sebuah robot berkepala manusia menghampiri mereka. Kaki rodanya membuat ia sagat cekatan untuk membersihkan lalu menyalakan api. Tak lupa ia bahkan membentuk senyum ramah untuk menyambut kedatangan mereka.
Robot cekatan tersebut mula-mula akan mengoleskan mentega dan kemudian bumbu-bumbu untuk mengharumkan panggangan. Lalu tak lama robot lain datang dengan membawa daging yang cukup tebal untuk dioles dan diberi bumbu sebelum akhirnya mendarat di atas panggangan. Baru saja bertengger di sana, aromanya saja sudah menggugah selera. Sungguh penyajian yang penuh dengan aktraksi dan itu bagus sekali.
“Selamat menikmati,” ucap robot-robot itu dengan kompak.
So Ji sudah tak sabar sekali untuk menyantap daging tersebut. Tangannya terus sibuk mengulak-alik daging berharap bisa cepat matang. Ko Ji tertawa saja sambil memperhatikan sekitar. Hingga atensinya jatuh pada koki yang baru saja masuk ke dapur dengan gelagat yang mencurigakan. Para rekannya juga mengatakan hal demikian.
Pria itu masih muda. Wajahnya pucat, di ujung matanya merah. Ia sibuk menggaruk leher dan bagian tubuh seperti lengan tangannya tanpa henti. Sesekali ia batuk dan bersin membuat rekannya marah karena hal itu akan mengenai daging yang mereka pajang di sana. Perdebatan pun tak dapat dihindari. Salah satu rekan mereka menyeretnya masuk ke ruangan lain yang ada di dapur.
Setelahnya Ko Ji tak tahu apa yang terjadi. Karena baru setengah menit mengamati, ia sudah hampir kehilangan setengah dagingnya karena So Ji yang rakus.
“Astaga.”
So Ji nyengir bak kuda melihat daging bagian kakaknya ia santap lebih dulu.
“Dasar curang.”
.
.
bersambung