9. Elang Jawa

2008 Words
Flashback on!  "Kenapa harus Elang, Bang? Namanya kenapa jadi burung gitu? Memangnya nama lain nggak ada ya?" tanya gadis kecil itu dengan memainkan kunci motornya.  "Kamu pernah liat Elang Jawa nggak di kebun binatang? Tatapannya tajam, mengintimidasi musuh, kakinya juga kalau mencengkeram mangsa kuat banget. Paruhnya kalau mencabik daging bikin ngeri. Itu kenapa abang namain Elang. Elang itu kuat, pemberani, dan di takuti.”  "Elang tapi sadis nggak sih, Bang?"  "Abang pengen ELANG itu bisa membawa perubahan yang positif bagi lingkungan sekitarnya dan juga anggotanya. Kita harus saling mengingatkan, saling melindungi, saling menegur, jangan hanya diam kalau salah satu di antara kita ada yang salah. Nanti kalau kamu udah gede ikutan Abang jadi ketua Elang," Gadis cilik itu adalah Genta. Ia masih kecil dan polos, mata cokelatnya adalah bagian yang paling di sukai laki - laki di depannya.  "Sekarang Genta belajar, nanti lulus ikut Abang." Genta mengangguk patuh, saat ini ia masih menempuh Sekolah Dasar kelas 6.  Ia jauh dari orang tuanya, di Jakarta hanya bersama sang Budhe. Ia di bebaskan ke manapun ia mau, membawa motor matic. Sesekali membawa motor sport, jika Budhe tidak ada di rumah.  "Bang, Genta boleh nggak ikutan bela diri?" tanya Genta dengan takut. "Sekarang pun boleh! Ayo Abang ajarin!" Genta mengangguk semangat.  Tak sampai 3 bulan, sebagian gerakan sudah Genta kuasai. Ia tekun mempelajarinya, bahkan Abimanyu sendiri juga tidak menyangka akan secepat ini.  Flashback Off!  Abimanyu tersenyum kecil dengan mengusap sebuah foto anak perempuan tengah tertawa bahagia, wajahnya penuh cokelat. "Gue nggak nyangka, keinginan lo dulu sekarang sudah kesampaian. Elang sekarang lo pegang. Adek kecil yang selalu minta apapun ke gue, gue sayang lo. Siapapun yang jahatin lo, bakal berhadapan langsung sama gue." ucapnya mantab, bulir air matanya menetes.  "Gue masih ingat, foto ini di ambil setelah lo minta eskrim sama gue. Lo udah menjadi bagian hidup gue, Ta." ucapnya dengan tersenyum.  “Apapun bakal gue lakuin buat lo, lo segalanya. Jangan sampai ada yang berani menyakiti lo, gue bakal ngerasa jadi manusia bersalah.” Ting! Abimanyu merogoh ponselnya, "Siapa lagi?" lirihnya sambil meletakkan foto Genta.  Rahanya mengeras, tangannya mengepal. Buru - buru ia memasukkan kembali ponselnya. Lalu bergegas meninggalkan tempat itu.  Di tempat lain, Genta tengah berjalan ke garasi. Raka pun begitu, ia menenteng jas serta tas kantor. "Berangkat sama aku." Genta menoleh, lalu meletakkan helmnya di tempat semula.  Ia membuka pintu mobil, lalu duduk dengan diam. "Nanti pulang aku jemput, tunggu aku di halte. Kalau aku nggak bisa nanti sopir kantor jemput kamu," ucap Raka yang hanya di angguki oleh Genta.  "Kamu kenapa?" Genta hanya diam.  Mikir, Kak! Ngapain pakek acara bohong segala. Mana jalan sama perempuan lain lagi, kalau nggak suka sama aku bilang aja. Jangan main belakang! Batin Genta sambil menatap luar.  "Kamu marah sama aku?" Genta masih diam. "Aku minta maaf soal semalem.” "Udah bosen denger kata maaf, Mas. Percuma juga minta maaf kalau kelakuan masih sama," sindir Genta dengan tertawa sumbang.  "Maksud kamu?" tanya Raka dengan tergagap. "Maksud aku! Kamu masih tanya? Maksud Kamu bohong sama aku apa?" Raka diam. Keringat dingin mulai muncul di dahi Raka. "Kamu pikir aku nggak tahu? Aku kan udah bilang, nggak papa kamu jalan sama perempuan lain. Kan emang perjanjiannya gitu, aku nggak ada hak buat marah sama kamu karena kita hanya dua manusia asing yang tinggal satu atap."  "Nggak gitu ...," Genta menatap tajam Raka. "Nggak usah merasa bersalah, Mas, ini udah konsekuensi dari perjanjian itu. Tapi, aku minta satu dari kamu, jangan pernah bohong sama aku. Siapa perempuan itu, Mas?" Raka kembali tergugu.  "Apa maksud kamu?" Genta tersenyum miring. "Udahlah, nggak usah bahas. Percuma juga, kamu nggak mau jelasin. Mending kita berangkat takut telat."  Raka bungkam, ia melajukan mobilnya membelah jalanan. Pikirannya berkecamuk semua minta di pikirkan bahkan sampai gerbang sekolah ia masih membeku, tangan Genta terulur ke depan Raka. "Salim," lalu ia mencium tangan Raka.  "Hati-hati," ucapnya dingin, sebelum keluar mobil.  Genta berjalan cuek ke dalam sekolah. Mobil Raka perlaha menjauhi gerbang tersebut. Pikirannya melayang saat tadi malam ia jalan bareng dengan Arden. "Dari mana dia tahu? g****k lo, Ka, temen dia banyak pasti ada yang lapor sama dia."  "Genta!" Ia menoleh, Renia melambaikan tangan. Ia tersenyum, "Nggak bawa motor?" Genta menggeleng.  "Hello Girls!" Mereka menoleh, Remon datang dengan Ferdiana. "Tumben bareng? Biasanya kalian gelut terus." tanya Genta.  "Nih anak pagi-pagi udah spam chat, minta di jemput. Karena, Remon itu anaknya baik pakek kuadrat jadi gue jemput deh. Daripada gue kena semprot mending gue jemput aja." Ferdiana menonyor kepala Remon.  "Kagak ikhlas lo jemput gue?" Raka terkekeh lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gue ikhlas banget kok, apasih yang nggak buat Nyonya Ferdi." Remon meranngkul bahu Genta. Ferdiana mengernitkan dahinya, "Ta, lo tadi di anter ya?" Genta mengangguk.  "Sama pak ganteng?" timpal Renia yang di angguki kembali oleh Genta. "Udah baikkan?"   Remon dan Renia menoleh ke arah Ferdiana, "Emang ada apa?" tanya Remon.  "Gue kemarin liat Pak Raka jalan sama cewek cantik banget, mereka akrab gitu. Terus rangkulan gitu," jelas Ferdiana.  "Anjir! Minta di tonjok Bang manyu tuh Pak Raka," desis Remon. "Bang Manyu siapa?" tanya Renia.  "Kalian kagak tahu? Anak SMAPA dulu pernah ke sini nyariin Genta," mereka, Renia dan Ferdiana, ber-oh ria.  "Udah lah jangan bahas, gue muak! Kelas aja," mereka semua mengangguk.  ###  "Bangun! Jangan jadi pengecut, bukannya lo dulu ajarin gue jangan jadi pengecut!" Mata elang itu menatapnya tajam, ia masih menduduki perut orang yang baru saja ia pukuli.  "Asal lo tahu, gue nggak pernah takut sama siapa pun! Mau lo itu pelatih gue atau bukan, gue nggak peduli! Yang gue tahu, lo udah nyakitin hati adek gue! Dan gue nggak bisa terima itu," teriaknya lantang lalu mendaratkan satu pukulan di bagian pipi.  "Kalau sampai gue denger lo buat adek gue nangis, jangan harap lo masih bisa hirup oksigen lagi!" ancamnya dengan pergi, tapi sebelum itu ia menendang kaki orang itu.  Dia menunggangi motornya kembali, melanjutkan perjalanannya. Dia, Abimanyu, setengah jam yang lalu ia dapat foto Raka dan seorang perempuan tengah rangkulan dari mata - matanya. Ia memang menyewa bodyguard untuk Genta, sejak perempuan itu enggan menerima bantuan dari anak Elang. Abimanyu sangat khawatir dengan keadaan Genta, dan ia tidak mau adek kecilnya itu sampai kenapa - kenapa.  Setelah mendapatkan foto itu, segera ia mencari Raka. Orang yang sudah ia kenal lama, Raka adalah pelatihnya dulu saat Taekwondo. Bahkan mereka sangat dekat dulu, sebelum laki - laki itu terjun ke dunia kerja.  Langit mulai menguning, sekolah sepi hanya ada beberapa anak yang ikut ekstra, Genta menyusuri koridor. Sengaja ia baru keluar dari kelas, ia melihat sahabatnya tengah futsal di lapangan samping. Ia melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Seharusnya suaminya itu tak lupa jika memiliki janji menjemput dirinya. Kosong, hanya ada beberapa motor anak futsal di sana. Ia melangkah menuju halte, "Jadi di jemput nggak sih? Heran, lama-lama ucapannya nggak bisa di pegang."  Genta duduk sendirian di sana, ponselnya telah mati sejam yang lalu. Ia lupa membawa charger atau power bank, ia menatap sekitarnya. Lalu ada dua motor berhenti di depannya, ia menatap badge di bajunya. Anak SMAPA, batinnya.  "Belum pulang, Kak?" Genta menggeleng, jujur ia belum kenal semua anak SMAPA hanya beberapa. "Mau saya antar, Kak?"  "Eh, nggak usah. Kamu anak SMPA, kan?" Kedua anak itu mengangguk. "Kakak nggak kenal kita ya?" Genta menggeleng lalu tersenyum. "Saya Rendi, Kak. Ini Bendi," ucap anak berambut ikal itu sambil menyentuh bahu temannya.  "Kalian mau ke Kafe, ya?" Kedua anak itu mengangguk lagi.  "Kakak mau ikut? Kalau mau ayo sama kita, nggak usah canggung." ucap Bendi yang di senyumi oleh Genta. "Eh nggak usah, aku mau di jemput soalnya. Kalian duluan aja,"  Kedua anak itu mengangguk, "Ya udah kita duluan ya, Kak." Genta tersenyum lalu mengangguk.  "Hati-hati," ucap Genta. Kedua anak SMAPA itu meninggalkan dirinya sendirian, "Mereka ramah juga. Nggak salah anak Bang Manyu milih anak buah, kalau mereka nggak ramah pasti udah di tendang kali dari Elang."  Ia melirik jam tangannya, "Udah jam empat tapi kok belum ada yang jemput." keluhnya dengan menghembuskan napas berat.  Ia menunduk, sambil menyatukan ujung sepatunya. Genta menatap jalanan yang mulai sepi, area sekolahnya memang sangat sepi ketika sore hanya beberapa anak yang masih wara-wiri. Mungkin anak futsal atau OSIS dan paling mentok anak mojok. Senja telah menjemput, ia tersenyum. "Senja seperti kamu, sekejap namun bermakna."  Ia melihat jamnya kembali, "Udah jam enam. Mau maghrib,"  "BANGKE LU, MON!"  Lehernya menoleh, parkiran rame dengan gelak tawa anak futsal yang selesai ekstra.  Remon masih istirahat di atas motornya, "Mon, gue kek kenal sama tuh cewek." ucap salah satu temennya.  "Itu kan Genta, ngapain masih di sini dia?" timbrung yang lain. "Gue samperin dulu, kalian pulang duluan aja." Mereka mengangguk.  Remon mendekati halte yang tidak jauh dari motornya, "Genta?" Perempuan itu menoleh.  "Ngapain masih di sini? Udah magrib loh," ucap Remon lalu duduk di samping perempuan itu.  "Nunggu Pak Raka jemput," jawab Genta.  "WHAT! Lo mau nunggu sampai kapan? Ini udah sore banget, Ta. Dia nggak ngabarin lo apa?" tanya Remon dengan menggosokkan handuk kecil ke rambutnya.  "Hp gue mati, katanya tadi kalau nggak dia ya sopir kantor yang jemput." jelas Genta.  Dasar bodoh! Temen gue kenapa jadi bego karena cinta gini sih, teuing ah! Batin Remon menggerutu.  "Eh ...," Tangannya di tarik oleh Remon. "Mau kemana, Mon?"  "Pulang! Gue anterin," tegas Remon.  Genta pasrah, setidaknya ia bisa pulang bersama orang yang ia percaya. Dan jika pun pulang semoga laki-laki itu sudah menunggunya di rumah. ### "Assalamu'alaikum, Mas." Ia membuka pintu, pandangan di depannya menyilaukan mata.  Dadanya sesak, "Mas ...," panggilnya. Laki - laki itu menoleh, dapat ia lihat matanya berkaca-kaca. "Genta!"  Gadis itu lari meninggalkan rumahnya, sebelum ia turun Remon bilang akan mampir sebentar di super market depan kompleks. Ia pun lari mengejar Remon, harap saja cowok itu masih di sana.  Nggak gini cara mainnya, Mas, kalau kamu nggak pengen aku balik ke rumah lagi cukup beri surat cerai jangan di kasih adegan gratis kek gini. Lo pikir gue bisa sabar terus apa? Susah buat nggak marah, ini rumah buat berbagi ceita bukan tempat … argh! Nyebelin!  "REMON!!" teriaknya melihat Remon yang baru keluar dari super market. Cowok itu mengerutkan dahinya, bingung.  "Kenapa, Ta?" Tanpa aba-aba Genta menubruk tubuhnya, gadis itu menangis.  "Ta lo kenapa? Kenapa lo nangis, please jangan nangis. Siapa yang tega buat lo nangis? Bilang sama gue!" geram Remon sambil memeluk tubuh Genta satu tangan, tangannya yang lain membawa belanjaan.  "Bawa gue pergi," lirihnya. "Mon bawa gue pergi!" pinta Genta dengan memeluk tubuh Remon.  "Ayo ikut gue," ajak Remon mantab. Remon membawa Genta pergi dari tempat itu.  Namun, di pojok ruangan kecil itu seorang perempuan terisak tangis. "Kalau sampai istri gue minggat gara-gara lo, awas aja!" ancam Raka dengan melempar ponselnya, ia berusaha menghubungi Genta namun ponselnya tidak aktif. "Maafin aku, Ka,"  "Udah dua kali lo ganggu keluarga gue! Lo tahu, dia memang masih kecil tapi dia lebih baik dari pada lo. Sekarang lo pergi!" teriak Raka lantang.  "Ka ...," panggil Arden.  "PERGI!" teriak Raka dengan menahan sakit di bagian wajahnya. "Maafin aku," lirih Arden lalu meninggalkan rumah Raka.  "ARGHH!!!!" Ia mengacak - acak rambutnya, lalu mengambil kunci mobilnya.  Sekuat apapun dia tak peduli pada gadis itu, namun hatinya tak bisa. Hatinya selalu khawatir pada gadis itu, perasaan kecewa selalu menghantui dirinya. Apalagi ucapannya pada Genta terlewat kasar dan nggak punya perasaan. ### "Cup, cup, cup! Genta manis jangan nangis," rayu Remon dengan menepuk punggung gadis itu.  "Aku beliin es krim ya? Mau nggak, atau mau permen? Gulali? Bilang sama Salmon lo ini, Ta." ucap Remon lalu terkekeh.  Genta mengusap air matanya dengan tertawa, "Nggak usah ngelawak. Nggak lucu!"  "Ketawa dong buat aku. Mas rindu tawa mu, Dek." Genta memukul lengan Remon.  "Nggak usah lebay." ucap Genta, tertawa. "Mon, anterin gue yuk!" Remon mengerutkan dahinya.  "Mau kemana, Dek? Mas siap kok kemana pun Adek mau, yang penting jangan ke KUA. Mas belum siap," jawab Remon.  "Ke rumah Bang Manyu," lirihnya. Remon mengangguk lalu menarik tangan Genta, menghampiri motor yang terpakir di seberang jalan. Sejak Genta menangis, ia membawa gadis itu ke taman.  "Ayo, Neng!" Genta terkekeh. “Gitu dong ketawa, patah hatinya sesaat aja. Nggak ada guna kok nangisin dia.” Di sisi lain, Raka mondar mandir di ruang kerjanya. Sambil memegang ponsel yang tertempel di telinga, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau beerada di luar jangkauan mohon hubungi beberapa saat lagi.  Sudah dua puluh kali, namun nihil. Selalu operator yang menjawab. "Argh!! Bodoh banget sih gue!" teriak Raka lalu meringis memegang sudut bibir yang terkoyak.  "Kenapa gue sampai lupa. Pantes aja udah malem dia nggak pulang, dasar bodoh!" ucap Remon.  "Kalau aja nggak ada Arden,nggak mungkin kek gini ceritanya. Pasti Genta kecewa berat sama gue, kenapa selalu gue yang buat dia nangis?" Ia mengacak - acak rambutnya.  "Kemana dia sekarang?”  Dia pun meraih kunci mobilnya, lalu melenggang pergi. "Pasti di bersama Abimanyu," desisnya.  ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD