1. Tak ada bicara

1210 Words
"Saya terima nikah dan kawinnya Genta Adira Purnomojoyo binti Almarhum Purnomojoyo dengan mas kawin tersebut, tunai!"  "Bagaimana para saksi sah?"  "Sah!"  Gadis itu menitikkan air mata, tak ia sangka di usia delapan belas tahun statusnya sudah menjadi istri orang. Rela meninggalkan ibunya dan juga seluruh keluarga. Tapi, ia baru menyadari jika sama sekali tak mengenal laki-laki yang telah meminangnya itu. Raka, namanya, hanya itu yang ia tahu. Ia ragu apakah bisa mencintai seseorang hanya dari namanya saja? Entahlah, ia harus mencobanya. Ia tak pernah pacaran sebelumnya, tak mengenal cinta. Laki-laki dalam hidupnya adalah sahabat dan teman, hanya sebatas itu saja. Semoga saja hari-harinya bisa terlalui dengan indah atau mungkin ia dapat mencintai Raka.  Bersama Bulik dan sepupunya, ia diapit menuju tempat ijab. Ia duduk dengan tenang, bahkan enggan menoleh. Sampai detik ini pun tak pernah tahu bagaimana rupa Raka sebenarnya, ia berharap jika suaminya itu jelek dan tua. Agar dengan cepat ia ceraikan. Tangannya ragu saat menerima tangan Raka, lalu mencium singkat. Raka menarik kepalanya, mencium lembut. "Aku harap kamu segera mencintaiku."  Genta melirik dari samping wajah Raka, begitu sempurna. Hidung mancung, alis tebal, dan bibirnya tipis. Terpesona pada lirikan yang pertama. Raka dengan cepat bercengkrama dengan keluarga besar Genta. Laki-laki itu sangat tampan, seperti blasteran surga. Ia harap wajah malaikatnya mencerminkan hati malaikat.  "Aku ke kamar dulu ya, Bu. Capek!" pamit Genta pada sang Ibu.  Ia membersihkan diri, berganti baju dengan kaos lengan pendek dan juga hot pants. Enggan untuk kembali ke bawah, ruangan disana sangat ramai. Ia merebahkan tubuhnya, memainkan ponselnya. Pintu kamarnya terbuka, Raka tersenyum kecil yang tak ia balas. "Sudah mandi?" Genta mengangguk singkat, tak menghiraukan laki-laki itu sama sekali.  Raka menatap istrinya sekejap, sebelum masuk kamar mandi. Genta menghentikan aktivitasnya, ia menatap langit-langit kamarnya. "Apa gue bisa jadi istri yang baik ya? Dia baik, tapi gue nggak bisa nerima dia begitu aja. Gue nggak kenal dia, nama doang yang gue tahu. Sifatnya gimana, kebiasaannya apa? Apa bisa gue mencintai dia?"  Pintu kamar mandi terbuka, Raka keluar tanpa memakai baju hanya mengenakan bokser. Ia tersenyum pada istrinya, buru-buru Genta memunggungi laki-laki itu. Raka duduk di ranjang, lalu merebahkan dirinya di samping Genta. "Kamu nggak papa nikah sama aku? Aku masih SMA, bukan perempuan berpengalaman."  "Nggak papa. Kamu masih muda, aku suka."  Raka menelusupkan tangannya ke pinggang Genta, memeluk gadisnya dari belakang. Kepalanya ia bertumpu di bahu Genta. "Aku tahu kamu belum cinta sama aku, begitu juga aku. Tapi aku harap kamu bisa menerima pernikahan ini."  Genta menyentakkan tangan Raka, ia membalik badannya. "Asal lo tahu gue terpaksa nerima pernikahan ini, kalau bukan karena Ayah nggak mungkin gue nikah sama lo."  "Jangan coba-coba lo selingkuh dari gue, Nyonya Bramantyo, atau lo akan tahu akibatnya." desis Raka dengan tersenyum miring.  Genta tersenyum kecil. "Asal lo tahu gue nggak pernah ada niatan selingkuh, kalau itu selingkuh pasti lo!"  "Malam ini kita terbang ke Jakarta," ujar Raka dengan memejamkan matanya.  Genta mengerutkan dahinya, berkata, "Kenapa nggak besok aja? Gue masih rindu sama Ibu."  "Besok gue kerja, lo juga sekolah kan? Nggak usah buang-buang waktu selagi masih bisa di kerjakan."  Genta kembali memunggungi Raka, ia tak terima dengan keputusan laki-laki itu. Baru kemarin ia datang bersama buliknya dari Jakarta, lalu nanti malam harus kembali lagi. Belum sempat jalan-jalan mengelilingi desa ataupun bertemu dengan teman masa kecilnya.  ●●● Gadis itu menapaki anak tangga menuju kelasnya yang berada di lantai dua, ia bersenandung kecil dengan tangan memegang buku paket tebal, "Genta!!!!" Ia terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan dari temannya. "GENTAAAAAA!!!!!! TUNGGU!!!!!" Akhirnya ia menghentikan langkahnya, "Ya ampun Genta! Kuping lu masih aman kan?" Gadis itu menyeka bulir - bulir keringat yang sudah membasahi wajah kuning langsatnya itu. "Maksud ngana?" "Gue panggil juga dari tadi, masih aja jalan. Heran tuh kuping masih ada apa kagak, jangan-jangan ketinggalan lagi di rumah atau nggak buat cantolan pancinya Bulik, ya?" Gadis itu mengikuti langkah Genta dengan semangat. Ia memperhatikan wajah Genta dengan seksama. "Lo denger berita panas nggak? Katanya guru baru, Ta?" Genta mengangguk lesu. "Ganteng nggak?"  "Mana gue tahu, Fer, katanya guru kimia."  Ferdiana mengangguk, lalu menatap wajah Genta yang acak-acakan. "Eh bentar, wajah lo kenapa gini? Lo nggak sarapan? Begadang kan?"  Genta menganggukkan kepalanya pelan. "Gue nggak sarapan, semalem tidur jam dua pagi."  "Gila ngapain aja lo?"  "Gue baru dari Jogja, Ferdiana. Gue pulang semalem, kalau nggak dipaksa juga ogah gue."  Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Oh jadi gitu, pasti Bulik juga kecapekan makanya nggak buat sarapan."  "Tuh tahu. Gue pengen tidur, Fer." Ia mengucek matanya yang memerah, dan juga kantong matanya ikut menghitam. Tubuhnya terasa ringan tetapi kepalanya terasa sangat pusing  Seorang laki-laki berperawakan tinggi, tegap, merangkul keduanya. "Selamat pagi para cewek-cewekku. Apa kabar kalian hari ini?"  "Ya ampun, Ta! Muka lo kenapa kusut gini? Nggak tidur lo semalem, ngapain aja lo? Berasa liat zombie, Ta." lanjut laki-laki itu dengan geleng-geleng kepala.  Genta berlalu meninggalkan dua temannya itu, kepalanya semakin terasa berat saja. Ia ingin duduk, atau kemungkinan lain tidur.  "Genta!"  "Kok lo gitu sih, Mon, tuh kan Genta marah."  Genta duduk di kursinya, ia menopang kepalanya yang semakin berat. "Lo marah, Ta?"  "Enggak. Gue pusing ini, pengen ke UKS. Mau tidur," jawab Genta.  "Nanti aja, Ta, setelah jam pelajaran kimia aja. Nanti gue temenin deh," sahut Ferdiana dengan terkekeh.  Remon duduk di samping Ferdiana, tepat di depan bangku Genta. "Itu mah alibi lo doang, Fer."  "Udah lah pada diem aja, gue mau tidur."  Kelas itu selalu ramai di atas jam tujuh, seperti saat ini guru hampir datang masih sebagian yang belum nampak batang hidungnya. "Woy! Guru baru datang!" teriak Rifqi dengan napas terengah-engah, mengejar waktu.  "Genta bagunin, Mon." suruh Ferdiana. Remon menggoyang lengan Genta, gadis itu hanya pindah posisi kepala saja. Bahkan mejanya pun ia ikut goyangkan, namun nihil. Derap langkah kaki semakin mendekat, Remon kembali duduk di kursinya.  Laki-laki berkemeja hitam dengan kacamata minus yang bertengger manis di hidunya, melangkah mantab memasuki ruang kelas XII MIPA 2. Matanya menyipit pada siswi yang berani tidur di jam pertama, masih pagi sudah mengantuk. "Selamat pagi! Saya Raka Nugra bramantyo. Pengganti guru kimia kalian, Bu Dinar. Maaf yang tidur itu siapa?"  "Genta, Pak." jawab Remon.  Raka menganggukkan kepalanya, ia jadi tak tega melihat istrinya yang terlelap di atas meja dengan posisi tidur salah. "Biarkan saja. Mari kita mulai pelajarannya saja."  Sepanjan pelajaran berlangsung, mata Raka tak lepas perhatian dari Genta yang terlelap. Hatinya tak tega, gadis itu tak terbiasa dengan pola tidur yang sudah terbiasa ia lakukan. "Bangunkan dia, suruh ke ruangan saya."  Dengan berat hati Genta melangkah menuju ruangan suaminya itu, setelah Remon yang membangunkannya tanpa adab itu ia harus mendapat hukuman dari suaminya sendiri. Sejak keluar dari kelas bibirnya komat kamit, mengumpati Remon yang berteriak kencang di telinganya. Ia mengetuk pintu ruangan Raka, "Masuk!"  Ia membuka perlahan pintu tersebut, Raka tersenyum miring di kursinya. "Ada apa?"  "Sama guru yang sopan, kita lagi di sekolah. Kenapa kamu tidur di kelas?"  Genta menghembuskan napasnya perlahan. "Masih tanya?"  "Sini!" ucap Raka dengan merentangkan tangannya. Genta mendekat, lalu ditarik tangannya hingga terjatuh di pangkuan Raka. Laki-laki itu tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Raka.  "Kamu akan mendapat hukuman manis, Sayang." bisik Raka. Raka mengecup pelan bibir Genta, tak ada perlawanan. Ia melanjutkan aksinya, Genta mengalungkan tangannya ke leher Raka. Laki-laki itu mengecap, gadis itu kemudian membalasnya dengan tak kalah ganas. Hingga mereka saling tertaut, "Ahh!"  Tubuh mereka menempel sempurna, setelah lima menit Raka melepas tautannya. Genta memeluk tubuh suaminya itu dengan napas terengah. "Kan jadi nggak ngantuk, aku tahu solusi ngantuk kamu. Dari pada pagi-pagi tidur lebih baik kita berbuat sesuatu yang menyenangkan, Sayang."  Genta kembali memejamkan matanya, di d**a bidang Raka. "Kenapa masih tidur aja? Mau lagi?"  "Diem aja, aku ngantuk!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD