4 Rencana Ferdian

1062 Words
"Dia wanita baik-baik. Dia hampir mati tertabrak mobil sabtu malam kemarin. Tidak sengaja Ayah menolongnya. Jadi, sebagai balasan, dia bersedia menikah dengan Ayah." Ferdian menjelaskan. Jelas ia hanya mengarang cerita. Faktanya bukan seperti itu. Prok ... prok .... Fabian bertepuk tangan. Merasa salut kepada Ayahnya. "Wah hebat! Dengan kata lain, Ayah menjadi pahlawan untuk dia." Ferdian tersenyum tipis dan mengangguk. "Ya, begitulah." "Eh, bukankah sabtu malam Ayah bersama dengan teman-teman Ayah, berada di aula hotel? Mengapa malah menolong seorang wanita?" Fabian merasa janggal. Jelas ia melihat Ferdian duduk sambil mengobrol dengan teman-temannya. "Hahah." Ferdian tertawa bodoh. Ia sedikit gugup mendengar pertanyaan dari Fabian. Ia segera menjawab, "Ya, Ayah melihat wanita itu keluar dari dalam lift hotel sambil menangis. Ia berlari keluar gedung tanpa menghiraukan apapun. Karena khawatir, Ayah mengejarnya." Mendengar kata 'sabtu malam dan wanita menangis', Fabian jadi teringat sesuatu. Itu hari di mana dirinya dan Veli bertengkar. Fabian semain penasaran. Dengan cepat ia bertanya, "Siapa nama wanita yang akan menikah dengan Ayah?" Dengan polos Ferdian menjawab, "Velicia Grisel." "Apa?" Fabian berteriak. Ia terkejut dengan jawaban dari ayahnya. "Apa yang Ayah katakan? Velicia Grisel?" Fabian ingin memastikan. Takut dirinya salah mendengar. "Ya, Velicia. Mantan kekasihmu!" Ferdian menatap penuh makna kepada Fabian. Ferdian tahu, Fabian akan terkejut mendengarnya. Tapi apa boleh buat, ini sudah menjadi kesepakatannya dengan Veli. Ferdian membantu Veli untuk memberi pelajaran kepada Fabian, dan Veli membantunya untuk mendapatkan taruhan. Ini kerjasa sama yang saling menguntungkan bukan? Mendengar hal itu, Fabian bukan hanya terkejut, ia sangat marah mendengarnya. Fabian dengan menahan emosinya segera berdiri. Ia menunduk, menatap tajam kepada Ferdian yang ada di depannya. Fabian mengepalkan kedua tinjunya dengan kuat. Urat biru samar terlihat di kedua tangannya. Wajahnya kini memerah karena menahan amarah. Jika saat ini, yang berada di depannya bukan Ferdian, mungkin ia akan segera melayangkan tinjunya kepada pria itu. Kini, ia hanya bisa berteriak untuk melampiaskan kemarahannya. "Ayah! Apa Ayah sudah gila? Dia adalah pacarku! Kami sudah 5 tahun berhubungan. Tidak adil jika sekarang Ayah yang menikahinya!" Fabian merasa jantungnya berdetak sangat cepat. Ia sangat marah hingga hampir tidak bisa mengontrol emosinya sendiri, mengetahui Veli akan menikah dengan ayahnya. Melihat emosi Fabian, Ferdian hanya tersenyum. Ini salah satu pelajaran yang ingin Ferdian berikan kepada anaknya. Dengan tenang, ia berkata, "Mengapa tidak adil? Bukankah malam itu, kau membuka kamar dengan seorang wanita? Dan Veli ... Ayah melihat dia menangis, nyaris bunuh diri karena kau menghianatinya! Jika Ayah tidak menolongnya, mungkin sekarang dia sudah mati!" Kali ini Ferdian tidak berbohong. Malam itu, Veli memang keluar dari dalam lift dengan raut wajah yang kacau sambil menangis. Veli berjalan tanpa menghiraukan apapun. Ketika Ferdian menghampirinya dan bertanya, Veli malah berteriak dan mengeluarkan sebuah gunting dari dalam tasnya. Dia Mengancam akan bunuh diri. Ferdian ingat, malam itu Veli berteriak sambil mengacungkan gunting di tangannya. "Jangan mendekat! Aku tidak ingin kau mendekatiku. Kau sama kotornya dengan anakmu!" Ya, malam itu Veli berbicara tanpa memandang Ferdian sebagai orang tua yang harus dihormati. Dia hanya melampiaskan kekecewaannya dengan terus memaki Fardian. Hingga Ferdian menjanjikan dia satu hal, barulah Veli berhenti memaki dan tidak lagi menyakiti dirinya sendiri. - ucapan Ferdian, membuat Fabian benar-benar merasa bersalah kepada Veli. "Apa? Bunuh diri?" Fabian bertanya. Fabian tidak menyangka, Veli akan melakukan tindakan bunuh diri karena pertengkarannya malam itu. Fabian akui, kejadian malam itu memang sangat menyakiti hati Veli. Tapi ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. "Ayah, aku yang akan berterimakasih kepadamu karena kau telah menyelamatkan nyawanya." Akhirnya Fabian sedikit melunak, tidak sekeras tadi berbicara kepada Ferdian. "Sekarang, urungkan niat Ayah untuk menikahi Veli. Biarkan dia bebas tanpa harus merasa berhutang budi kepada Ayah!" Ferdian sedikit mengangkat sudut mulutnya, "Apa? Apa kau pikir dia terpaksa menikah dengan Ayah?" "Tentu saja! Tidak mungkin dia mencintai Ayah. Dia menikahi Ayah karena dia sedang marah kepadaku!" Fabian yakin dengan pikirannya. 'Mungkin nanti, jika Veli sudah tidak marah lagi, dia akan kembali kepadaku.' Fabian yakin akan hal itu. "Sudahlah! Keputusan Ayah dan Veli sudah bulat. Tiga hari lagi, kami akan menikah. Ayah tidak akan membiarkan kau menghentikan rencana pernikahan kami." Ferdian mengatakanya dengan tegas. Ia tidak akan mendengar penolakan dari Fabian. "Ayah!" Fabian berteriak. "Aku tidak akan membiarkan Ayah menikah dengannya!" Fabian berdiri. Ia berniat untuk pergi. Sudah tidak ada gunanya lagi berbicara dengan ayahnya. Lebih baik, dirinya pergi menemui Veli. Ferdian pun tidak menanggapi ucapkan Fabian. Ia hanya terdiam, menyaksikan Fabian yang kini beranjak pergi meninggalkan ruang kerjanya. Fabian keluar dari ruang kerja Presdir. Ia berjalan dengan langkah besar menuju pintu lift untuk turun ke lantai dasar. Masih dengan perasaan terkejut dan marah, Fabian berjalan menuju tempat parkir, menghiraukan para karyawan kantor yang selalu menyapanya. Fabian masuk ke dalam mobil, menutup pintu mobil dengan keras. Ia segera pergi ke rumah Veli untuk menemuinya. Selama perjalanan, Fabian merasa gelisah memikirkan rencana Ferdian yang akan menikahi Veli. Ia tidak rela jika wanitanya harus menikah dengan Ayahnya sendiri. "Aish! sial!" Fabian memukul roda kemudi dengan keras. Dengan cepat, mobil melaju menuju sebuah perumahan elit di pusat kota H. Ia sudah tidak sabar ingin segera tiba di kawasan itu. Setibanya di sana, Fabian menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang salah satu rumah yang berwarna abu dan putih bergaya minimalis. Rumah dua tingkat yang cukup besar itu memiliki satu orang petugas keamanan. Fabian segera turun dari dalam mobil dan berjalan menuju pintu gerbang yang kini terlihat sedikit terbuka. Sebelum ia bertanya kepada petugas keamanan, terlihat seseorang keluar dari dalam rumah. Ia melihat sosok yang sangat akrab di matanya keluar dari dalam rumah. Dengan menggunakan atasan berwarna moca dan celana pensil yang berwarna hitam dengan robekan teratur di kedua lututnya, membuat tampilannya bak anak gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Fabian tidak sabar, ia segera memanggil, "Veli!" Veli mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Ia masih berjalan keluar rumah menuju pintu gerbang. Setah tiba di depan pintu gerbang, Veli melihat Fabian. "Fabian?" "Veli, bisa kita bicara?" Fabian bertanya penuh harap. Ia berharap Veli mau berbicara dengannya. Veli merasakan hatinya kembali sakit saat bertemu dengan Fabian. Tapi, demi rencana balas dendamnya, ia segera membenarkan emosinya. "Maaf, sepertinya tidak bisa! Aku mau keluar bersama Ray dan Freya." Fabian tahu, Ray dan Freya adalah teman baik Veli. Mereka selalu pergi keluar bersama. Tapi sekarang, dirinya ingin berbicara hal penting dengan Veli. Jika tidak berbicara dengannya sekarang dan membujuknya, mungkin Veli sungguh akan menikah dengan ayahnya. "Sebentar saja, Veli! Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu!" Fabian meraih tangannya, menatapnya penuh dengan permohonan.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD