Gadis berambut hitam sebahu itu menatap gedung pencakar langit di hadapannya. Nama Adhikari Farma terpampang jelas di halaman depan gedung yang didominasi warna biru laut itu. Perusahaan yang diketahui bergerak di bidang kefarmasian atau obat-obatan.
Seketika gadis beriris mata kecokelatan itu tampak ragu. Berkas lamaran di tangannya tanpa sadar ia remas sendiri saking gugupnya. Selama dua puluh tujuh tahun hidupnya, ia sama sekali tidak pernah melamar pekerjaan seperti ini. Bahkan meski ia lulusan terbaik di kampusnya enam tahun silam. Hal itu tak membuatnya berminat bekerja seperti teman-temannya yang lain dan memilih jalan lain yang lebih cepat untuk mengumpulkan uang demi melunasi hutang-hutang peninggalan kedua orangtuanya, demi bisa menebus rumah milik mereka yang disita oleh bank.
Namun gadis itu kembali teringat dengan ucapan sahabatnya sejak awal kuliah, ia tak bisa selamanya melakukan ‘pekerjaan itu’ seumur hidupnya. Ia perlu pekerjaan lain yang terlihat normal demi kehidupannya di masa depan. Meski mungkin gajinya tak akan sebanyak seperti pendapatannya selama ini, tapi ‘hidup normal’ adalah impiannya, ia sendiri pun ragu... apa gadis sepertinya bisa hidup normal layaknya gadis-gadis lain di luar sana?
Dengan tekad kuat, gadis itu akhirnya meyakinkan dirinya untuk melangkah masuk ke dalam gedung yang membuatnya tampak begitu kecil. Suara langkahnya seakan menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang dilewatinya. Setelah berbicara ke resepsionis dan menukar kartu identitasnya dengan kartu bertuliskan ‘Visitor’, gadis itu pun masuk ke dalam lift menuju lantai dua puluh, tempat dimana interview akan dilaksanakan. Ia tidak terburu-buru karena memang ia sudah datang lebih awal. Bahkan ketika sampai di lantai yang dituju, baru ada dua orang kandidat lain di sana.
Beberapa kali hidung mungilnya mengeluarkan nafas kasar. Perasaannya semakin tak tenang ketika memperhatikan sekelilingnya. Dinding-dinding berwarna biru laut itu banyak ditempeli beragam poster soal obat-obat yang telah berhasil diproduksi perusahaan ini dan menjadi produk andalan untuk masyarakat.
Perusahaan yang benar-benar bagus.
“Helen mau ngejebak aku kali ya? Masa perusahaan gede gini disaranin ke aku. Yang ada langsung ditolak. Mana aku nggak ada pengalaman sama sekali jadi sekretaris,” ucap gadis bernama Zoeya itu. Sekali lagi ia menghela nafas ketika satu persatu orang yang datang lebih dulu darinya dipanggil ke sebuah ruangan dengan pintu kaca besar. Seolah menelan para kandidat itu ketika melewatinya.
Selang dua puluh menit kemudian, giliran Zoeya. Gadis itu menghembuskan nafas sebelum bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam pintu kaca yang besar itu. Pandangannya langsung tertuju pada seorang pria berjas biru dongker yang tengah membaca berkas di depannya, yang Zoeya tebak adalah CV miliknya.
Ada yang membuat Zoeya semakin tak tenang. Yaitu ketika iris mata biru itu menatap manik mata kecokelatannya. Iris mata biru yang begitu Zoeya kenal dan tidak akan pernah gadis itu lupakan. Meski pria itu tampak jauh berbeda dari terakhir kali ia melihatnya sepuluh tahun silam.
“Zoeya Faranisa. Silahkan duduk, teman SMA-ku,” ucap pria beriris mata biru itu dengan senyum yang entah apa maksudnya.