"Eh... tunggu Nay... ada mama aku nih ngasih kabar... itu memang untuk aku Nay... orang mama yang nganterin tadi pagi banget." Ucap Alena saat itu yang membuat Nayla sedikit tersentak dari tempatnya lalu mengelus dadanya beberapa kali saat itu. Matanya yang mengantuk berubah melebar bugar dengan sempurna.
"Hebat Le... andai aku nanti juga punya calon mertua jutawan... wah... " ucap Nayla dengan celoteh paginya. Keduanya yang tadinya masih sedikit mengantuk. Menjadi seketika terjaga sepenuhnya dan segera membawa semua barang-barang itu masuk kedalam rumah dan memasukkannya kedalam lemari pendingin. Bahkan semua barang-barang itu tidak muat masuk kedalam karena saking banyaknya. Membuat Alena dan Nayla harus menatanya di rak dapur.
"Astaga Le... udah setengah tujuh tahu nggak! waduuuh... gawat...telat gue... astaga Le... akh gue pulang dulu ya... ada tugas pagi ini dari wali kelas buat ngumpulin tugas ke kantor..." ucap Nayla saat itu yang lalu berlari keluar dari rumah Alena dan menuju ke rumahnya. Disana sudah ada kakak Nayla yang berwajah garang tengah mengawasi tingkah adiknya.
Hingga lima belas menit kemudian akhirnya Nayla keluar dan di antar kakaknya ke sekolah dengan motor. Sedangkan kakaknya sendiri akan sekalian berangkat kerja.
"Le... aku berangkat dulu ya... kamu cepat berangkat... jangan nyetop angkot... nyetop anak sekolahan kita aja Le..." teriak Nayla dari luar rumah saat gadis itu akan berangkat duluan. Karena keduanya biasanya pun berangkat sama-sama setiap hari juga dengan menyetop anak yang satu sekolah dengan keduanya. Dan akhirnya Alena berjalan sampai kedepan gang jalan besar. Namun sudah sepuluh menit gadis itu berdiri disana juga tidak ada angkot atau anak satu sekolahannya yang lewat.
Hingga terlihat satu motor laki datang kearahnya saat itu. Dan Alena langsung tahu siapa lelaki yang tengah mengendarai motor laki tersebut.
"Abiyan?! kenapa kamu bisa kesini jam segini sih?" ucap Alena saat lelaki itu sudah menghentikan motornya tepat di depan trotoar yang Alena pijak.
"Udah Le... tanya nya simpan aja! nanti aja ya... udah nggak keburu! cepet naik!" ucap Abiyan saat itu yang lalu membuat Alena segera naik keatas jok boncengan belakangnya. Abiyan segera memacu motornya disana agar cepat sampai ke lokasi sekolahnya.
"Bi... kok kamu nggak bawa tas sih?" tanya Alena pada lelaki itu.
"Hemz... kamu ini! mana pernah aku telat sekali aja? aku ini anak teladan tahu nggak? cuman... kalau masalah pelajaran... aku yang selalu ada di bawahmu nilai peringkatnya." Ucap dengus Abiyan saat itu.
"Jadi... kamu tadi udah sampai di sekolahan Bi? trus kamu kesini gitu Bi?" tanya Alena yang penasaran.
"Ya... anggap aja gitu lah Le... akh moga aja belum di tutup pintu gerbangnya. Kalau sampai di tutup... aduh...gawat..." ucap Abiyan disana. Dan saat itu tepat pintu gerbang sudah akan di tutup. Keduanya lolos akhirnya. Berhasil masuk kedalam.
"Akh... untung keburu Le... astaga..." ucap Abiyan saat itu yang baru turun dari atas motor miliknya setelah Alena turun duluan. Keduanya lalu masuk kedalam dan mengikuti pelajaran seperti biasanya.
Tiga hari pun berlalu sudah. Malam itu terlihat mama Nisa dan juga suaminya tengah mengetuk pintu kamar sang putra.
"Sayang... kami masuk ya?" ucap mama Emilio saat masih berada diluar pintu kamar putranya. Dan sebentar saja terlihat pintu itu terbuka dari dalam.
"Ada apa mah? pah? masuk aja..." ucap Emilio pada kedua orang tuanya. Lelaki itu tergolong seseorang yang sangat ramah pada orang lain. Namun saat ia terbangun dari sakitnya dan menyadari semua sudah berubah, sakit yang di deritanya pun sudah sembuh. Membuat lelaki itu lebih pendiam dari sebelumnya. Mama dan papanya mengira jika Emilio tidak mau menikahi Alena. Karena sudah beberapa hari berlalu. Jangankan lelaki itu berniat menemui Alena, menyapanya saja ia tidak mau. Hingga membuat kedua orang tua nya sedikit khawatir. Karena hari pernikahan putranya dengan Alena yang kurang tiga hari lagi.
"Ayo masuk aja mah... pah... ada apa? apa ada yang salah dengan semua persyaratan yang Emilio kirimkan ke kantor Agama, serta Emil juga sudah membayar dispensasi karena waktu pernikahan Emil dan Alena yang kurang dari sepuluh hari." Ucap Emil saat itu yang mampu membuat kedua orang tua nya melongo disana.
"Kamu... kamu yang melakukan itu semu Emil? kamu nggak menyuruh seseorang untuk mengurusnya nak?" tanya papa Emilio yang merasa sedikit terkejut disana. Karena ia mengira jika Emil tidak ada antusiasnya sedikitpun pada pernikahannya.
"Ya... Emil melakukannya sendiri pah... mah... ada apa sih sebenarnya? kalian mau bilang apa? persyaratannya kurang? kan Emil udah ngasih tahu mama kalau udah beres semuanya... enam hari terhitung dari tiga hari yang lalu papa... mama... karena Emil mau ada acara perjalanan bisnis keluar Negri..." ucap Emilio lagi yang membuat kedua orang tuanya saling berpandangan satu sama lain saat itu.
"Akh... gini sayang..." ucap mama yang lalu di potong oleh Emilio.
"Masuk dulu mah... pah..." ajak Emilio pada kedua orang tuanya. Lalu keduanya pun masuk sesuai instruksi yang Emilio berikan. Lalu duduk di sofa dalam kamar Emilio.
"Udah... sekarang kalian mau bilang apa? bilang aja..." ucap lelaki itu lagi.
"Emb... kami hanya ingin tahu. Sejak Alena datang kemari... kamu belum pernah menyapanya... dan menemuinya. Apa kamu tidak suka dengan nya? kamu tidak menyetujui pernikahan ini Emil?" tanya papa Emilio pada sang putra. Lalu terlihat lelaki itu tersenyum pada papa dan mamanya.
"Pah... mah... mana ada orang yang nggak suka, tapi rela mengurusi semua keperluan pernikahannya sendiri? hemz... mana ada? Emil sangat menyukai Alena. Asal papa dan mama tahu... sejak pertama kali kita bertemu. Emb... papa dan mama nggak tahu. Emil sudah terlebih dahulu melewati rumah Alena, melihatnya jalan masuk ke pintu gerbang sekolah... dan pulang sekolah... Emil sudah lakukan itu semua mama... papa... dan itu sebelum mama mengajak Alena datang ke rumah kita." Ucap Emilio disana yang menerangkan. Dan ucapan sang putra mampu membungkam mulut papa serta mamanya saat itu. Menghancurkan semua argumen buruk yang sempat terlintas di otak keduanya. Dan menghapus kekhawatiran yang mama dan papanya rasakan.
"Aku bahkan melihat dua kali Alena di antar dan jemput teman sekolahnya laki-laki. Aku tidak punya kuasa apa-apa. Dan aku tidak ingin berstatus suami dadakan Alena. Aku ingin perlahan masuk kedalam hatinya secara alami. Aku akan menunggu waktu yang tepat itu. Aku yakin... tuhan pasti memberi jalan calon suami yang diam-diam mengagumi ini." Ucap dalam hati Emilio saat itu yang di akhiri dengan tarikan nafas panjang dan di hembuskan nya kembali.