Rania berjalan mengikuti pria yang kini mengenggam tangannya dengan erat. Memasuki sebuah ruangan luas yang masih bagian dari kelab itu, lalu ikut diam begitu pria itu juga berhenti melangkah.
“Kau ke toilet hampir setengah jam, Gi!” suara itu terdengar jelas oleh Rania, karena di ruangan ini musik yang berdentum keras di luar tak terdengar terlalu nyaring.
“Aku harus pulang,” jawab pria yang disapa Egi itu santai. “Aku ke sini hanya ingin pamit.”
Teman-teman Egi seketika menatap Rania dengan tatapan menelisik. Membuat Rania harus menundukkan wajahnya karena merasa tengah ditelanjangi. Sejak kejadian tadi, Rania lebih menjadi waspada. Melihat orang-orang yang menari dan berteriak gila di bawah juga membuat Rania sangat canggung dan takut. Dia tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya.
“Oke, kita tahu. Well, pilihanmu memang bagus, Gi. Dia cantik. Tapi …” Suara itu menggantung. “Uhm, tubuhnya kelihatan rata. Sama sekali bukan tipemu.” Rania yang sedari tadi hanya menunduk, kini menengadah, sekadar melihat pria yang mengatakan tubuhnya rata. Menyebalkan sekali. Dan, ya. Rania berhasil melihat pria itu. Pria dengan pakaian kasual yang terlihat tampan dengan hidung mancungnya yang kokoh mendominasi. Lelaki itu terlihat bangkit, meninggalkan dua wanita yang sedari tadi menggerayangi tubuhnya. “Namamu siapa, Manis?” tanyanya setelah sampai di hadapan Rania.
Rania beringsut mundur dan bersembunyi di belakang tubuh tinggi Egi dengan ketakutan. “Dia ketakutan karenamu, Le!” ujar Egi, memperingatkan sahabatnya, Leon.
Leon terlihat mengerutkan kening. Kemudian terkekeh sumbang beberapa sekon kemudian, seolah tidak mempercayai apa yang Egi katakan barusan. “Takut? Padaku? Kau menemukan dia di mana, Gi?” tanyanya.
Rania merengut di belakang Egi. Dia pikir ia apa, bertanya menemukannya di mana? Kucing? Hei, aku manusia! Ingin sekali Rania berteriak seperti itu.
“Aku menemukannya di bawah ketika pergi ke toilet tadi. Dia tengah dipaksa melayani pria tua dan aku membawanya,” Egi menjawab santai.
Rania mengintip Leon dari balik tubuh Egi dengan takut-takut. Ternyata pria itu tengah memperhatikannya dengan saksama. “Lalu? Kau mengambilnya karena kasihan? Bukankah sama saja, pada akhirnya dia akan dipaksa lagi untuk melayani pria lain begitu kembali pada pemiliknya?” tanya Leon.
"Ya. Aku tahu. Makanya itu, aku akan membelinya pada pemilik dia yang asli kemudian membawanya pulang."
Jawaban Egi tersebut membuat Rania bergeming. Dia mengerti maksud Egi. Pria itu tidak hanya membayar pada pria tua tadi. Namun, dia juga akan membeli dirinya dari Nyonya Amora. Berapa yang akan dikeluarkan lelaki itu untuknya? Dan bagaimana bisa Rania mengganti seluruh uang itu nantinya?
Leon mengerutkan kening dengan bingung. "Maksudnya, kau akan membawanya pulang?" Begitu Egi mengangguk pelan, Leon berdecak. "Kau gila?! Ke mana kau akan membawanya?"
“Ke apartemenku,” Egi menjawab kembali.
“Kau … tidak berniat menjadikannya simpananmu, kan? Dia sepertinya gadis baik-baik, Gi?” Kali ini pertanyaan itu berasal dari seorang pria yang sejak tadi hanya menyimak percakapan antara Egi dan Leon.
Egi terkekeh pelan. “Ayolah, Ren, dia sudah kubeli. Mau tak mau dia harus tinggal bersamaku.”
Rania mengangkat wajahnya saat mendengar hal itu, menatap Egi meski dia hanya bisa melihat belakang tubuh lelaki itu. Tiba-tiba saja Rania merasa takut.
“Sebagai simpananmu?” tanya Reno pelan.
Egi mengangkat bahu dengan acuh, sedangkan Rania meringis dalam hati. Simpanan? Rania ingin sekali menangis mendengar kata itu. Apa mungkin Egi sudah memiliki istri sehingga ia mendapat gelar simpanan? Jika ya, Rania akan pergi dari Egi. Rania tidak ingin menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan pernikahan. Rania pernah melihat bundanya menangis ketika ayahnya memiliki istri yang lain. Dan Rania tidak mau menjadi sebab tangis orang. Tidak mau.
“Kak,” lirih Rania sambil memandang Egi dengan tatapan berkaca-kaca. Egi menoleh padanya. “Apakah Kakak sudah menikah? Apakah benar aku akan jadi wanita simpanan? Kalau benar seperti itu, aku tidak akan mau ikut Kakak. Aku akan membayar uang Kakak yang Kakak keluarkan untukku untuk pria tadi.”
Egi mengangkat sebelah alisnya. Lalu seringain itu muncul dari wajah Egi. “Ren, kau membuatnya berpikir aku sudah menikah!” cetusnya kemudian sambil menatap Reno jenaka.. “Dan kau!” Egi beralih pada Rania kembali, “memangnya kau bisa membayar uang sebesar lima puluh juta hari ini juga? Ditambah, aku harus menebusmu pada pemilikmu."
Rania menelan saliva dengan susah payah. “Uhm, mungkin aku akan menyicilnya,” cicit Rania.
Egi terkekeh kembali sambil mengacak poni gadis tersebut. “Kau akan mendapatkan uang dari mana? Kau pikir aku ini bank peminjaman uang sehingga menerima uang cicilan seperti itu? Biarpun kau membayarnya dengan menjual sebelah ginjalmu, aku yakin kamu masih belum bisa untuk melunasi semuanya.”
Rania menunduk malu dengan wajah memerah. Benar. Ia tidak bisa membayar uang sebesar itu, Egi tak mau ia membayar secara dicicil. Jadi Rania tidak punya pilihan lagi? Tapi, bukankah tadi Egi bilang dia belum menikah, kan? Berarti Rania tidak akan jadi simpanan. Itu lebih baik. Meski Rania tidak tahu ia akan dijadikan apa di apartemen Egi nantinya. Rania pasrah asal ia tidak dijadikan w************n yang digilir oleh banyak pria. Itu mengerikan.
“Namamu siapa, Sayang?” tanya Leon. Entah mengapa Rania takut pada pria itu. Leon terlihat berbahaya di balik sikapnya yang menyebalkan. Jadi alih-alih menjawab, Rania malah menunduk takut. “Aku tidak akan menggigitmu, kenapa kau ketakutan?” tanyanya.
“Berhenti mengganggunya, Le! Dia takut padamu!” seru Egi.
“Hanya ingin tahu namanya, Gi,” balas Leon santai sambil kembali menatap Rania dengan penasaran tingkat dewa.
“Namanya Miranda. Cukup?” ujar Egi.
“Namaku Rania, Kak!” Rania berseru cepat. Sedangkan Egi mengerutkan kening dengan bingung.
“Bukankah pria tua tadi memanggilmu Miranda?” tanya Egi.
Rania menggeleng cepat dan menjawab, “Nyonya Amora yang mengatakan pada pria tadi namaku Miranda. Nama asliku Rania.”
Egi diam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kau tinggal di mana, Rania?” tanya Leon. Tapi sebelum Rania beringsut ketakutan lagi, Egi sudah merangkul bahu gadis itu.
“Nanti saja kau tanya-tanyanya, Rania butuh istirahat. Aku akan membawanya pulang,” balas Egi.
Leon sedikit mengerutkan kening sebelum akhirnya membiarkan sahabatnya itu pergi bersama gadis mungil di rengkuhan tangannya.
“Sepertinya kau tertarik sekali pada gadis itu, Le? Padahal dia, kan, bukan tipemu?” tanya Reno kepada Leon yang sudah kembali duduk bersama dua wanita seksinya.
“Aku hanya penasaran padanya, Ren. Wajahnya begitu familiar untukku. Seperti pernah bertemu dengannya tapi entah di mana,” jawab Leon sambil memainkan gelas berisi minumannya.
Rano mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Bukankah Egi aneh, Le?” tanya Reno.
“Aneh maksudmu?”
“Kau tidak memperhatikan gerak-gerik Egi barusan ketika bercengkrama dengan gadis bernama Rania itu?” Reno menatap Leon dengan serius.
Leon tersenyum kecil. “Aku memperhatikannya. Jelas, Ren.” Leon mencium wanita di samping kanannya sehingga membuat wanita satunya lagi berdesis tak suka.
“Apa yang kaulihat?”
“Dia tidak ingin Rania mengira ia sudah menikah, ya meski itu memang kenyatannya. Tapi biasanya dia tak peduli gadis yang berkencan dengannya menganggapnya seperti itu. Dan aku juga melihat mata Egi melembut begitu menatap Rania. Berbeda dengan ketika ia menatap Soraya.”
“Perfect!” seru Reno. “Kita tidak pernah salah menilai satu sama lain. Dan aku mempertaruhkan bahwa Egi akan jatuh hati pada gadis itu.” Ia diam sejenak. “Atau mungkin ia memang sudah melakukannya.”
***