Bab.3 Godaan Mantan Ipar

1670 Words
Begitu keluar dari kamar rawat, Cello tidak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Bukan maksudnya menertawakan kemalangan hidup mereka, tapi lucu karena sahabatnya yang pacaran saja belum pernah malah mendadak jadi papa. Untung Liam orangnya tanggap, paham bagaimana harus bersikap pada kondisi seperti tadi. “Ayo buruan, Pa! Sudah ditunggu Om Leon di klub!” goda Cello terus saja cekikikan. “Sialan!” umpat Liam menepis rangkulan di bahunya. “Coba bayangkan kalau kamu sudah punya pacar, lalu tiba-tiba ada anak kecil nangis kejer panggil papa. Bisa-bisa kamu langsung kena tampar.” Cello menggeleng, makin dibayangkan malah makin menggelitik senyumnya. “Aku hanya kasihan, karena tahu sesakit apa rasanya kehilangan orang tua saat sedang butuh kasih sayang. Terlebih dari ocehannya tadi, mereka sepertinya sedang di kondisi tidak baik-baik saja. Malam-malam bawa anak yang sedang sakit keluar sambil menyeret koper. Aku yakin kamu juga bisa meraba situasi seperti apa yang sedang wanita itu hadapi,” ucap Liam tampak serius, masih kepikiran bocah yang baru ditolongnya tadi. Cello menoleh, menatap dengan mata mengernyit curiga. Kejadian tadi memang di luar prediksi, tapi dia merasa sahabatnya itu terlalu berlebihan memperhatikan mereka. “Jangan bilang kamu kesengsem janda! Dipanggil papa sama anaknya, nanti malah beneran kamu ingin menjadikan emaknya sebagai istrimu!” cibirnya. “Aishh, ngawur!” dengus Liam masuk ke dalam lift, sedang Cello masih belum berhenti mengoceh. “Jodoh kan tidak ada yang tahu. Buktinya dari sebegitu banyak orang berseliweran di sana, justru kamu yang dipanggil papa.” Liam terdiam, berdiri menyandar dengan pikiran campur aduk tidak karuan. Tangis pilu dan sorot mata kesakitan bocah itu seperti membuatnya kembali terlempar ke masa kecilnya dulu. “Terus nanti kalau dia bangun dan rewel lagi mencarimu, gimana?” celetuk Cello yang nyatanya juga masih kepikiran Ganesh. “Jadi maksudmu aku harus terus disana dan pura-pura jadi papanya?! Hidupku sendiri saja sudah ribet, mana punya waktu mengurus anak orang!” sahut Liam ketus. “Pura-puramu keren, sudah kayak papanya beneran. Bisa-bisanya preman tukang berantem menjiwai peran sedalam itu. Mana dadakan, nggak pakai skenario dan latihan lagi!” olok Cello buru-buru keluar begitu pintu lift terbuka. Yang tadi itu bukan akting. Mungkin karena dulu pernah tinggal di panti asuhan, jadi perasaan Liam lebih peka menghadapi situasi yang menimpa Ganesh. “Kita langsung ke tempat Om Leon, kan?” tanya Cello berdiri menunggu Liam mendekat. “Hm,” angguknya. “Memang orang sebelah masih suka datang bikin rusuh?” tanya Cello lagi. “Weekend begini klub lagi ramai-ramainya, kalau pengawasan tidak diperketat mereka suka cari celah membuat gaduh disana.” Liam mempercepat langkahnya. Bisa ribet urusannya jika sampai klub rusuh dan keadaan tidak terkendali seperti beberapa waktu lalu. Mereka bahkan sampai harus tutup lebih awal karena keadaan di dalam yang awut-awutan.. “Kopernya kok masih disitu!” tunjuk Cello ke koper warna biru milik Shera yang ternyata masih dibiarkan di ruang tunggu UGD. Liam menoleh, lalu mendengus kesal terpaksa menghentikan langkah kakinya. Kalau sampai hilang apa yang harus dia katakan ke pemiliknya. Sedang bisa jadi isinya barang penting mereka. “Sebentar, aku minta mereka mengantarnya naik dulu!” ucap Cello melangkah ke arah security yang berjaga di dekat pintu masuk UGD. “Tidak usah! Biar aku saja yang antar!” seru Liam beranjak mengambil koper itu tanpa peduli muka melongo sahabatnya. “Serius?! Antar koper atau ingin ketemu yang punya?” sindir Cello memilih duduk menunggu disana. Namun, Liam tidak ambil pusing dan terus melangkah menuju lift. Ucapan Cello tadi tak urung membuatnya kepikiran. Bagaimana kalau nanti bocah itu bangun dan mengamuk karena tidak menemukannya disana. Sepanjang menuju kamar rawat pikiran Liam dipenuhi oleh bocah bernasib malang itu. Dia dan adiknya pernah berada di posisi Ganesh, itu yang membuatnya tidak tega untuk pergi begitu saja. Setelah mengetuk pintu dia pun masuk. Namun, ternyata wanita itu sedang bicara di telpon dengan posisi berdiri menatap ke arah luar hingga tidak menyadari kehadirannya. “Aku terpaksa menandatangani surat penyerahan atas semua harta peninggalan Mas Daris, En. Mereka bukan hanya mengancam, tapi juga sudah main kasar sampai Ganesh ketakutan. Aku tidak ingin mempertaruhkan mental juga keselamatannya, untuk mempertahankan warisan itu. Harta memang penting, tapi tidak sebanding dengan nyawa dan kebahagian anakku.” Liam masih berdiri mematung di dekat pintu. Serba salah, mau lanjut mendekat atau keluar saja dari sana. Tapi, karena terlanjur penasaran dia pun memilih tetap mendengar kisah bocah yang memanggilnya papa itu dengan ibunya. “Nasibku sama Ganesh kok begini banget ya, En? Baru pulang dari pemakaman, mereka langsung ribut soal warisan. Sebulan ini aku terus diteror dan dimaki, hingga diusir dari rumahku sendiri. Mertua dan ipar sama saja busuknya. Apalagi Cakra, bisa-bisanya sebajingan itu memintaku jadi simpanannya. Biarpun dia dan Mas Darin hanya saudara tiri, tapi mereka dibesarkan bersama. Banyak wanita di luar sana yang bisa dia jadikan simpanan, tapi malah kurang ajar ke istri adiknya. Aku benar-benar sakit hati dengan hinaan mereka, En.” Shera terisak lirih, namun terdengar menyayat di telinga Liam. Pandangannya jatuh ke sosok rapuh yang tergolek pucat di atas ranjang pasien. Kehilangan papa saja sudah pasti membuatnya terpukul, masih ditambah dengan intimidasi dari keluarganya. “Besok semoga saja keadaan Ganesh sudah membaik dan bisa keluar dari rumah sakit. Kalau lebih lama disini, uang darimana untuk bayar biayanya. Semua barang berharga mereka ambil, berkemas pun aku diawasi oleh Hilda di kamar. Tolong bantu aku cari kontrakan yang tidak terlalu mahal, En. Mudah-mudahan setelah ini aku juga bisa segera dapat kerja, dan ….” Sialnya tiba-tiba ponsel Liam berdering. Shera tersentak kaget dan menoleh ke belakang. Liam yang salah tingkah kemudian meringis menunjuk ke koper di sampingnya. “Maaf, aku mengantar kopermu. Mereka sepertinya lupa tadi sudah diminta membawanya kesini,” jelasnya setelah menolak panggilan masuk di ponselnya. “Papa ….” Panggilan Ganesh itu menjadi penyelamat bagi Liam. Shera yang tadinya melongo kaget segera menyudahi pembicaraannya di telepon, lalu menghampiri Liam. “Terima kasih,” ucapnya mengangguk sopan. “Papa mau kemana? Katanya mau tidur sama Nesh?” tanya bocah itu duduk dengan muka mau mewek. “Om Li ….” “Nggak kemana-mana, tadi Papa bangun sebentar ke kamar kecil,” sahut Liam menyela ucapan Shera sembari melangkah menghampiri Ganesh. Shera meringis sungkan, kalau sudah begini bagaimana nanti dia akan menjelaskan ke anaknya. “Kok bangun? Mana yang sakit?” tanya Liam meraba kening Ganesh, memastikan demamnya sudah turun belum. “Kepala Nesh pusing,” jawabnya mendongak dengan tatapan sayu. “Tidur lagi, ya? Ganesh harus banyak istirahat dan minum obat biar cepat sembuh,” bujuk Liam merangkum wajah tampan bocah itu dengan kedua tangannya. “Tidur dipeluk Papa,” rajuknya. Tanpa sadar Liam dan Shera saling melempar pandang. Mata Shera masih tampak sembab memerah setelah barusan menangis, dan itu membuat Liam tidak punya pilihan selain mengalah tinggal disana. “Ok, tapi Papa telepon Om Cello sebentar! Kasihan dia nanti nunggu terus di bawah.” “Tidak usah, nanti biar aku yang bujuk Ganesh,” sahut Shera sungkan. “Ini rumah sakit, kalau nanti dia terus menangis bisa mengganggu pasien lain disini!” ucap Liam beranjak menjauh dengan ponsel di tangannya. Shera bungkam, mendekat ke putranya setelah meletakkan kopernya di pojok ruangan. Padahal maksudnya hanya karena tidak ingin lebih merepotkan pria itu, tapi memang ada benarnya juga. Ganesh itu keras kepala. Bisa tidak karuan urusannya kalau sampai nanti tantrum, gara-gara mencari Liam yang dia kira adalah papanya. “Ma ….” “Iya,” sahut Shera duduk di tepi tempat tidur menggenggam tangan putranya. “Setelah ini papa tidak akan pergi lagi, kan? Besok kita sudah boleh pulang ke rumah, kan?” Dada Shera berdenyut sakit. Lidahnya kelu tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan anaknya. Meski sejak lahir Ganesh biasa dengan kehidupan serba ada, tapi Shera percaya anaknya juga sanggup diajak hidup susah. Masalahnya bagaimana menjelaskan ke dia kalau Liam bukan papanya. Dia yakin Ganesh sadar mereka dua orang yang berbeda, meski sekilas memang mirip. Entah saking rindu ke papanya, atau berusaha lari dari kenyataan karena tidak siap kehilangan sosok sang papa. “Kita tidak akan kembali ke rumah itu, tapi pindah ke tempat baru. Ganesh mau, kan?” “Mau, yang penting tinggalnya sama Mama dan papa,” jawabnya mengangguk. Shera hanya mengelus kepala anaknya lembut, lalu mengecup keningnya. Mungkin besok saat keadaan Ganesh sudah membaik, dia akan coba jelaskan kalau mereka tidak mungkin tinggal bersama Liam. Ponselnya berdering pelan. Baru melihat nama yang muncul di layar saja Shera sudah terengah menahan amarah. Dari tadi ipar brengseknya itu terus menelpon dan mengirim pesan, yang isinya membuat Shera ingin muntah saking jijiknya. “Sebentar, Mama angkat telpon dulu!” Shera menjauh, kembali menatap ke arah gemerlap lampu kota di luar sana. Dia menghela nafas kasar sebelum mengangkat telepon dari Cakra, mantan kakak iparnya yang berkelakuan b***t. “Apalagi maumu sebenarnya? Aku sudah angkat kaki dari sana, dan kalian sudah mendapatkan seluruh harta peninggalan Mas Darin. Jadi berhenti mengusikku, sialan!” “Kamu tahu, aku paling suka melihat kamu yang sedang marah. Galak, tapi semakin sexy dan menggairahkan. Tipe idamanku, biarpun janda bekas Darin juga tidak apa,” ucap pria itu terkekeh menjijikkan. “b******k! Mulut sialan! Kelakuanmu benar-benar menjijikkan!” geram Shera menahan emosi. “Aku anggap itu sebuah pujian. Apa kira-kira di ranjang kamu juga sebuas itu? Wah … kamu malah semakin membuatku menginginkanmu, Shera! Ayolah, jadi istri siriku! Aku akan menuruti semua keinginanmu. Kamu dan Ganesh tidak perlu terlunta-lunta jadi gembel seperti sekarang ini.” Tangan Shera terkepal kuat, gemetar mendengar ucapan sampah mantan iparnya. Mati-matian dia menahan diri untuk tidak berteriak memaki pria b***t satu itu. “Lebih baik aku hidup miskin jadi gembel, daripada dekat dengan binatang hina sepertimu. Aku sudah merekam pembicaraan ini. Berhenti mengusikku, atau aku kirim buktinya ke istrimu!” ancam Shera, tapi Cakra justru tertawa terkekeh. “Kamu pikir aku takut?! No! Salah besar, Sayang. Bagus kalau Kalina minta cerai, jadi aku bisa menjadikanmu istri sahku. Jangan pikir bisa lari dariku! Aku pasti akan membuatmu bertekuk lutut di depanku!” Air mata Shera meleleh keluar. Ternyata kehilangan ibu, suami dan seluruh harta warisan bukan akhir dari penderitaannya. Cakra masih belum menyerah untuk memaksanya mau dijadikan istri simpanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD