Bucin?

1148 Words
Dari kejauhan, Rafka terlihat menahan tawa melihat aksiku yang pasti dirasa amat menjengkelkan di mata suami dan mertuaku. Lelaki 24 tahun itu mengacungkan dua jempol padaku sebelum aku dan kakak kandungnya bertolak ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan. "Agresif banget, sih jadi cewek!" umpat Mas Edgar sembari membuka pintu mobil sesampainya kami di garasi yang muat empat sampai lima mobil ini. Mendengarnya mengumpat, aku acuh tak acuh menanggapi. Sudah kuputuskan kalau aku tidak boleh cengeng mulai sekarang. Aku harus selalu tegar demi janin dalam kandunganku. Bohong sebenarnya saat aku berucap tak bahagia dengan kehamilan ini. Karena kenyataannya, janin di rahimku telah memberikanku semangat hidup yang baru. Aku tak pernah merasa sendiri semenjak kehadirannya. "Sayang, pura-pura nggak denger aja ya, kalau papa kamu lagi marah-marah." Aku mengusap lembut perut dan melirik sekilas saat Mas Edgar yang mulai memacu kendaraannya menuju ke rumah sakit begitu mobil keluar halaman. Putra sulung Bu Melanie menatap sinis menyambut ucapanku. Terserah dia mau berpikiran apa tentangku. Yang jelas, aku sudah jenuh diperlakukan sebagai wanita tertindas selama ini. Aku harus kuat. Demi anakku. Andaikan tak mungkin bertahan, pergi dari mereka yang selama ini memandangku sebelah mata pun rasanya tak masalah. Aku yang dari kecil sudah terbiasa hidup susah tak akan terpengaruh saat harus keluar dari rumah mewah itu. Rumah mewah yang di dalamnya terdapat banyak cacian dan sumpah serapah yang menyakitkan. Rumah mewah yang rasanya sama buruknya dengan neraka. Ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit, tanpa terasa, mataku kembali berkabut saat mengingat lagi penderitaan yang kualami selama berstatus sebagai istri dan menantu. Aku buru-buru memalingkan wajah saat menyadari Mas Edgar menatap ke arahku ketika air mata siap mengucur deras membasahi pipi. Jangan terus-terusan menunjukkan kalau kau lemah, Afifah! Berhenti jadi sosok yang lemah. Berhenti! Sesampainya di rumah sakit, butuh waktu kurang dari 30 menit sebelum akhirnya aku dan Mas Edgar diperkenankan masuk ke poli spesialis kandungan yang sejak awal menjadi tujuan utama kami datang ke sini. Mas Edgar berdiri di sampingku dengan pandangan serius saat dokter kandungan yang kami datangi mulai memutar probe di sekitar perut. Untuk melihat kondisi janin yang kukandung melalui pemeriksaan USG. Entah untuk alasan apa, suamiku tampak serius mendengar penjelasan yang disampaikan oleh sang dokter tentang perkembangan darah dagingnya yang tampak terbaca melalui layar monitor. "Karena usia kandungan baru menginjak 13 minggu, jadi tolong diperhatikan terus asupan gizinya ya, Pak," pesan dokter kandungan berjilbab yang kami datangi sembari menuliskan resep pada secarik kertas setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Mas Edgar mengangguk sambil tersenyum ramah saat dokter spesialis kandungan di hadapannya, kembali memberikan nasihat yang berkaitan dengan kehamilanku. Kenapa aku baru sadar kalau senyumnya begitu manis? Ah, ya, aku lupa, kalau selama ini dia tak pernah menampilkan senyum saat menatapku. Jangankan tersenyum, memandangku saja dia seperti enggan. Aku hanya disentuh dan didekati ketika tubuhku dibutuhkan. Itu saja. Perih? Tentu saja. "Masih mual, Bu?" tanya dokter kandungan dengan name tag bertuliskan nama dr. Ira Maya Santika SpOg, ketika pandangannya beralih padaku. "Iya, Dok, kalau sore," jawabku jujur. Dokter itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Oke, kalau begitu, saya berikan resep anti mualnya, yah," ucap sang dokter sambil menyelesaikan kegiatannya menuliskan resep. "Satu lagi, jaga baik-baik emosinya ya, Bu. Karena emosi yang dirasakan ibu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang janin dan emosi sang anak di masa mendatang." Aku mengangguk pelan. Saat kulirik, terlihat Mas Edgar menatapku dengan tatapan tak biasa. Mendengar apa yang disampaikan oleh sang dokter, apakah membuatnya mulai sedikit bersimpati padaku atau ... sebaliknya? Biarlah, terserah dia saja. Aku tak mau ambil pusing. Saat tengah berjalan menuju area parkir rumah sakit, terlihat suamiku sibuk merogoh saku celananya. Rasanya … ada yang menelepon dirinya sekarang. "Ya, Ka?" Mas Edgar tampak berbicara dengan seseorang di seberang sana sesaat setelah menempelkan benda pipih itu di telinga. Agaknya kali ini Rafka yang menelponnya. "Oh, ok!" Edgar menutup sambungan telepon, sesaat setelah dirinya berbincang dengan seseorang yang aku yakini adalah sang adik. "Kakek pengen ketemu," seloroh Edgar sambil meneruskan langkah dan menatapku sekilas. "Oh …." Keluar dari area rumah sakit, Mas Edgar membawa diriku bertolak ke rumah sang kakek. Rumah mewah yang hanya dihuni oleh pria berusia lanjut dengan ditemani beberapa asisten rumah tangga dan tukang kebun serta security yang menjaga keamanan di halaman depan rumah. Pria berambut perak dengan wajahnya yang sudah tampak berkerut, menyambut hangat kedatanganku dan Mas Edgar di rumah mewahnya begitu kami sampai di depan pintu utama. Aku dan Mas Edgar bergantian menyalami punggung tangan beliau ketika pria ini terus menorehkan senyum menyambut kedatangan kami. "Semoga Kakek masih diberi umur panjang, ya, biar bisa melihat anak kalian nanti," ucap Pak Darma, kakek Mas Edgar dan Rafka ketika mempersilakan kami masuk. Mas Edgar tersenyum tipis menanggapi ucapan kakeknya. "Mau minum apa, Den Edgar?" Seorang asisten rumah tangga gerak cepat datang dan menanyai suamiku saat cucu pertama Pak Darma, baru menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang berwarna krem di ruang tamu yang memiliki desain interior serba mewah dengan aksen gold yang mendominasi. "Apa aja, Bik. Yang penting seger," sahut suamiku yang langsung ditanggapi dengan anggukan ramah asisten rumah tangga yang konon sudah bekerja puluhan tahun di rumah ini. Semenjak istri Pak Darma masih hidup. "Kakek dengar, kalian tadi ke rumah sakit memeriksakan kandungan. Bagaimana kondisi calon cicit Kakek, Fah?" tanya Pak Darma saat sepasang netranya yang terbingkai kacamata silindris fokus menatapku. "Alhamdulillah sehat, Kek," balasku pelan, mencoba bersikap ramah pada pria yang telah membuatku bisa masuk ke dalam lingkungan keluarga kaya. "Oh … syukurlah. Edgar, jaga baik-baik istrimu, ya, jangan pernah menyakiti hatinya karena dia tengah mengandung anakmu." "Iya, Kek." Mas Edgar tampil seperti cucu yang baik dan penurut saat sang kakek memberinya wejangan. "Fah, sayangi cucu Kakek ini sepenuh hati ya. Buat dia berubah dan bertekuk lutut padamu, kalau bisa bikin dia bu ...." Pak Darma terkekeh saat kata-katanya tak dilanjutkan. Membuatku dan Mas Edgar kompak menatap heran pada pria lanjut usia ini. "Bu apa, Kek?" tanyaku tak mengerti. "Bucin kalau gak salah, Rafka selalu bilang begitu sama Kakek," ungkap Pak Darma terdengar mengejutkan. Aku tersenyum geli melihat orang dari zaman Orde Baru belajar bahasa kekinian. "Jadi Rafka pengen aku bucin sama Afifah?" tanya Edgar setengah menuduh. "Sepertinya begitu," jawab Pak Darma ringan. "Dasar gila si Rafka!" sungut Edgar dengan raut wajah kesal yang tak bisa disembunyikan. Aku dan Pak Darma cekikikan melihat ekspresi menggemaskan dari lelaki pemabuk yang biasanya menyebalkan ini. "Berjanjilah satu hal pada Kakek, Gar. Walaupun Kakek sudah pergi suatu saat nanti, cintai dan sayangilah Afifah." Mas Edgar terdiam kaku mendengar wejangan dari kakeknya. "Kakek bukannya tidak tahu kalau kamu terpaksa meninggalkan gadis yang kamu cintai untuk menikahi Afifah. Tapi, percayalah, Kakek tahu mana yang terbaik untukmu," sambungnya yang membuat suamiku tertunduk. "Aku ... akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik untuk Afifah dan anaknya," ucap suamiku tanpa menatap sang kakek. Pak Darma mengangguk sambil tersenyum. Sementara aku sendiri masih terjebak dalam keraguan. Bukankah baru tadi malam dia menyentuhku dalam keadaan mabuk? Lantas, bisakah ucapannya yang dalam keadaan sadar ini, bisa dipercaya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD