Pagi itu Erlin beraktivitas seperti biasa, walau tidak terlalu sibuk karena tidak perlu menyiapkan segala keperluan kerja suaminya. Sampai pagi ini Rafael belum pulang. Erlin tidak membuat sarapan, dia ingin menikmati bubur ayam Mas Joko, idola emak-emak sekompleks.
Setelah sarapan dan pekerjaan rumahnya selesai, Erlin pun berdandan. Rencananya hari ini dia akan keliling kompleks mendatangi beberapa customer setia dan tentu saja sambil mencari customer baru. Kalau masih ada waktu biasanya dilanjtkan pergi ke toko grosir langganannya untuk survey harga dan ketersediaan barang.
Tak terasa sudah hampir setahun Erlin menggeluti bisnis kecil-kecilannya. Mengkreditkan pakaian dan barang kepada para teman, tetangga atau kenalan baru yang bisa dipercaya, termasuk anak-anak kost di sekitar kompleks yang sudah mulai akrab dengannya.
Usaha Erlin masih dalam partai terbatas, modal yang digulirkannya pun tak seberapa. Murni memutarkan keuntungan dari menjadi reseller online juga offline. Ada beberapa pemodal yang menawaekan pinjaman modal baik berupa kerjasama ousoursing maupun pinjaman lunak, namun Erlin belum berani lebih jauh.
Rafael tidak pernah punya keinginan untuk mendukung usaha istrinya itu, apalagi memberinya modal. Saat pertama Erlin aktif menjadi reseller di medsos, suaminya itu justru yang paling keras menentang. Namun Erlin tidak menggubrisnya karena dia ingin merasakan memegang uang cash. Dalam beberapa bulan terkahir dia sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri murni dari hasil keringatnya sendiri.
“Mbak Erlin, jangan lupa sepatunya yang putih size 42, ya!” Seorang mahasiswa berparas tampan, bertubuh gagah walau agak kurus berbisik pada Erlin.
“Tenang, udah dicatat kok. Buat Reza mana mungkin aku melupakannya, hehehe,” balas Erlin dengan wajah semringah dan suara agak pelan.
“Siiip deh!” balas Reza dengan wajah semringah. “Kalau sekalian pesen CD bisa gak?” lanjutnya dengan bisikan yang makin pelan.
“CD? celana dalam maksudnya?” tanya Erlin memastikan. Tentu saja dengan berbisik pula karena takut terdengar oleh beberapa teman Reza yang sedang nonton televisi di ruangan tengah kostan mereka.
“Yes, ukuran XL satu box yang isi tiga, tapi modelnya yang keren and kualitas terbaik, warna sih bebas, oke?” Reza lebih meyakinkan.
“XL? gede amat?” Erlin sedikit terbelalak, lantas menutup mulutnya dengan sebeah tangannya, takut tawanya pecah dan menganggu konsentrasi orang kain. Untuk beberapa saat Erlin memandangi postur tubuh Reza yang memang sangat atlentis dan poporsional walau usianya baru 22 tahun.
“Maklum Mbak, badannya doang yang jangkis, tapi bagian lainnya membutuhkan penyimpanan yang agak lebar, hehehe, upst!” Reza pun ikut-ikutan menutup mulutnya seolah merasa bersalah telah keceplosan.
“Dasar!” sergah Erlin pelan sambil menolehkan pandang ke arah lain. Membuang muka yang mendadak makin panas dan merona. Malu hati dengan ucapan customer setianya.
“Aduh maaf Mbak, keceplosan.” Reza menyadari kekonyolannya, ”Oh iya kalau ditotal jadi berapa semua pesanan saya, Mbak?” lanjut Reza mengalihkan pembicaraan sambil merogoh kantong belakang celana jeansnya.
“Wah, aku belom tahu nih, Rez. Soalnya kan harga cdnya belum ketahuan. Baru kali ini juga ada yang pesen benda gituan, hihihi..”
Wajah Erlin sedikit memerah, malu dan risih membahas pakaian dalam dengan lelaki. Namun juga terselip rasa bahagia dalam hatinya karena dapat pengalaman baru. Sebagai seorang pedagang, apapun pesanan customer selagi bukan barang haram tentu akan diusahakan memenuhinya.
“Ya udah, kalau gitu ini pegang aja dulu uangnya. Satu juta cukup ya? Nanti kalau kurang minta lagi aja, tapi kalau ada lebihnya boleh dijadiin kaos kek, apa kek, terserah Mbak Erlin aja,” ucap Reza sambil menyodorkan beberapa lembar uang campuran biru dan merah.
“Aduuuh, ini cucu sultan baik banget sih. Makasih ya, Rez! Aku doain kamu makin ganteng dan sukses. Doain juga usaha aku pun makin maju, Amiin,” ucap Erlin sambil beberapa kali menciumi uang dari Reza yang masih sangat fresh dan bau khas uang baru terbit.
“Amiin. Habisnya emang Mbak Erlin juga makin cantik aja sih, hehehehe,” goda Reza iseng.
“Husst pamali jangan suka muji-muji bini orang, nanti naksir bahaya loh, hahahaha.” Erlin tak kuasa menahan tawa bahagianya, hingga beberapa teman Reza yang sedang nonton dan ngobrol, menolehkan pandang ke arahnya.
“Ye, gak dipuji gimana, emang kenyataan gitu kok! Emang salah ya kalau saya naksir? Mbak Erlin itu mahmud tercantik loh di komplek ini, kalau gak percaya tanya aja sama anak-anak noh.” Reza makin berani menggoda sambil menunjuk teman-temannya dengan dagu.
“Udah ah! Oh iya mas-mas yang lainnya gak ada yang pesen nih?” rawar Erlin sambil mengalihkan pandangnya pada teman-teman Reza.
“Makasih tawarannya, Mbak!” balas mereka kompak.
“Nanti kalau udah ada kebutuhan, saya pasti hubungi Mas Reza,” ucap salah seorang di antara mereka.
“Oke deh, gimana baiknya aja. Anggap aja Mas Reza perwakilan dagang ya.” Erlin membalas guyonan itu.
“Ah syiaaaaap, Mbak!” timpal Reza sigap yang langsung disambut tawa oleh semua.
“Udah ya, saya permisi dulu. Makasih semuanya, maaf udah ganggu nih.” Erlin berpamitan yang disambut balasan ‘Sama-sama’ dengan kompak oleh mereka.
Erlin pada awalnya memanggil ‘Mas Reza.’ Memang pada hampir semua lelaki muda dan dewasa, Erlin selalu memanggil Mas. Namun Reza yang meminta agar Erlin memanggilnya aja. Alasannya selain usia lebih muda juga Reza mengaku asli keturunan Sunda.
Reza mengantar Erlin keluar dari rumah kostannya.
“Mbak boleh nanya lagi gak?” Reza bicara setengah berbisik karena jarak mereka sangat dekat.
“Hmm, dari tadi perasaan Reza nanya terus, tapi gak ada yang ngelarang tuh. Ya, boleh dong, Rez. Mau tanya apa lagi? Hehehe.”
“Tapi agak gak ada hubungannya sama pesanan, gak papa kan?” Reza kembali memastikan, dan Erlin menjawabnya dengan senyuman dan anggukkan.
“Mbak aslinya orang mana sih? Maaf, kalau gak mau jawab juga gak papa.”
“Kasih tahu gak ya, heheheh.” Erlin menutup mulutnya agar tawanya tidak keluar. ”Emang kenapa sih nanya alamat segala, kan sekarang tinggal di sini. Emang mau ngenterin kalau aku pulang kampung?” canda Erlina.
“Eh, serius? mau banget, emang kemana pulkamnya, Mbak?”
“Masih Kabupaten Bogor juga, hanya emang agak menjorok. Itu pun kampung masa kecil, udah lama gak pulang. Di sana hanya ada beberapa saudara aja. Kan kedua ortu aku udah meninggal.”
“Oh ya?” Reza agak sedikit melongo, “Ma.. maaf Mbak bukan maksudnya…”
“Loh gak papa, Rez. Namanya meninggal dunia kan udah takdir, masa gak boleh diomongin. Meninggalnya juga udah lama, jadi aku pun udah gak sedih lagi, hehehe.”
“Wow, keren banget nih prinsipnya. Oke di kampung mana sih Mbak?” Reza masih penasaran.
“Reza kan bukan orang Bogor, percuma dibilangin juga gak bakal tahu. Soalnya kan kampungnya menjorok banget, gak terkenal.”
“Oke deh, gk masalah, emang kapan mau pulkamnya?”
“Tadinya sih mau minggu ini, tiga atau empat hari lagi, sekalian mau kondangan sama sodara. Tapi gak tahu Mas Rafael bisa nganter apa enggak.”
“Wah kalau Mas-nya gak bisa nganter, saya siap nganterin. Masuk mobil kan ke sana?
“Masuklah Rez, hanya jarang yang bawa mobil karena emang pada gak pada punya. Emang Reza serius mau nganterin? Tadinya kalau suamiku gak bisa aku mau pesen gojek. Emang gak ganggu kuliahnya?”
“Enggak dong, saya kan udah beres skripsi, tinggal nunggu sidang and wisuda aja.”
“Oh gitu, ya gimana nanti aja ya, aku harus nanyain dulu sama suami.”
“Siip deh, ditunggu info secepatnya ya, Mbak.”
Mereka pun menyepakati beberapa hal tentang rencana pulang kampungnya Erlin.
“Eh, Mbak, kalau saya mau ikutan bisnis bisa gak?” tanya Reza kemudian.
“Bisnis apaan?” tanya Erlin heran.
“Ya bisnis kaya yang Mbak jalanin ini. Anggap aja investasi gitu, mau gak?” tanya Reza serius.
“Halah, bisnisku baru belajr, Rez. Kayaknya masih belum perlu investasi deh. Nanti malah bingung bagi hasilnya, heheheh,” sangkal Erlin.
“Ya, kali aja Mbak mau join sama saya buat ngembangin usahanya. Saya sih gak mikirian bagi hasil. Jujur aja saya seneng liat Mbak Erlin yang usahanya sangat bersemangat.” Reza mengacungkan jempolnya.
“Ya, gimana nanti aja ya, aku pikir-pikir dulu deh. Yu ah, aku jalan dulu ke rumah Bu Mela,” pungkas Erlin sambil melangkah meninggalkan Reza yang masih berdiri depan rumah kostnya menatap punggung Erlin.
‘Gila mirip banget sama Nadia! Beuh, bisa-bisa gua jatuh cinta lagi nih!’ batin Reza.
Erlin belum teralu jauh mengenal Reza. Hanya memang sudah beberapa kali mahasiswa yang terlihat tajir itu memesan pakaian. Dan anehnya, Reza justu selalu membayar dimuka, layaknya orng yang titip beli tapi harganya standar kreditan.
Hubungan mereka cukup akrab dan hangat, dan sejauh ini Reza sangat menghormati Erlin, sehingga tak pernah berbuat kurang ajar.
“Reza itu mahasiswa, tapi juga udah sukses jadi pengusaha. Mungkin keluarganya juga pengusaha, Neng.” Jawaban Bu Mela, ibu kostnya Reza, saat Erlin bertanya tentang Reza.
“Tapi orangnya baik banget ya Bu. Ramah dan gak sombong sama sekali,” balas Erlin.
“Iya lah, mana pernah dia pamer-pamer harta, padahal bila dibanding dngan semua temannya, dia paling tajir. Sesekali kadang bawa mobil juga ke sini. Tapi yang disimpan di sini hanya motornya aja. Mungkin mobilnya di simpan di rumah sodaranya,” terang Bu Mela.
“Emang Reza aslinya orang mana, Bu?” Erlin makin penasaran.
“Kalau dilihat KTP-nya sih orang Sukabumi. Tapi katanya udah lama tinggal di Jakarta. Sebelum pindah ke kosat ini, dia kost deket kampusnya.”
Itulah info yang dapatkan dari Bu Mela tentang Reza.
Bermula dari kostan itu juga Erlin mengenalnya. Ketika itu Erlin mengantarkan baju pesanan Bu Mela, tak sengaja bertemu Reza. Lalu Erlin iseng menawarkan kaos oblong yang gak jadi diambil oleh customernya pada Reza. Dan tanpa banyak tanya, Reza pun langsung membelinya kebetukan ukurannya ngepas.
Sejak saat itulah mereka cukup akrab walau hanya sebatas tukang kredit dengan customer. Reza bahkan belum pernah main ke rumah Erlin, padahal jaraknya tak sampai 100 meter dri kostannya.
^*^