***
Selamat membaca.
***
Kehilangan dia memang menyakitkan, tapi, aku juga tidak bisa menerima kembalinya dia dengan segala kebohongan yang dilakukannya selama ini.
***
Nada melambaikan tangannya kearah laki-laki itu, ini sudah kali ke dua Nada mengatar Iel, kekasihnya ke Bandara, satu bulan lalu, saat Iel mendapatkan kabar bahwa ia sudah diterima di salah satu Universistas terbaik di Indonesia, di Ibu kota sana, Iel jelas bertolak ke kota yang megah itu, mencoba mengurus segala adminitrasi juga segala macam urusannya untuk melakukan pembelajaran di Universistas itu. Tapi, setelah satu bulan mengurus segala macam tentang dirinya di sana, Iel yang nama panjangnya adalah Adiel Hanendra itu, kembali mendapatkan kejutan, kemarin saat ia masih di kelas dua belas di sekolah menegah atasnya, Iel memang mencoba untuk mengapply beberapa universitas di luar negeri dengan beasiswa, dan kabar baiknya, salah satu Universitas di Inggris menerima laki-laki itu dengan beasiswa full.
Iel yang saat itu masih berada di kamar kosnya, terdiam kaku saat menerima kabar baik itu, ia senang, jelas, akhirnya ia bisa berkuliah di sana, tapi ia juga bingung dengan ia yang sudah kembali mendaftar di universitas ini, rasanya ia bingung harus memilih langkah apa, tapi, berkuliah di Inggris benar-benar impian Iel sejak dulu.
“Iya, Mah, gimana ya?” Iel langsung menelpon orangtuanya, menanyakan bagaimana baiknya langkah yang ia ambil setelah ini, selain mengabari tentang diterimanya dirinya di universitas itu dengan beasiswa yang full, ia juga bertanya tentang pandangan orang tuanya kalau dirinya benar-benar pergi ke sana.
Jujru saya, orang tua Iel sangat bangga, anaknya baru saja daftar ulang di salah satu kampus terbaik di Indonesia, dan malam ini mereka mendapatkan kabar bahwa Iel kembali mendapatkan beasiswa di salah satu kampus yanga da di Inggris sana.
“Ya, Mama sih yang terbaik buat kamunya aja, kamu mau di mana, kalau di Inggris, ya oke juga, kalau tetap di kapus kamu ini juga Mama setuju aja kok,” ucap Ibunya Iel, tak dipungkiri dalam ucapan itu terselip kebanggaan yang tiada putus kepada anaknya itu, suaminya yang juga berada di sampingnya, mendengar dengan jelas apa yang diukatakan oleh Iel pun mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, ya mereka tidak akan melarang Iel untuk memilih kampusnya sendiri, mau Iel memilih di mana pun mereka tidak akan keberatan, karena menurut orangtua Iel, semua ini Iel sendiri yang akan menjalaninya, mau dirinya berkuliah di mana, mau dirinya belajar di mana, itu semua terserah kepada Iel, semua hak dan tanggung jawab ada di tangan Iel sendiri.
Iel berdiam diri saat sambungan telpon itu terjadi, ya, dia tidak akan mungkin mengatakan bahwa dirinya ingin pergi, tapi, Iel juga tidak bisa berdusta pada dirinya sendiri bahwa ia ingin pergi, ia ingin ke kampus itu, kampus itu adalah cita-citanya, cita-citanya sejak lama.
“Mah, aku mau pergi,” putusnya sebelum menutup sambungan telponnya dengan Ibunya.
***