Andri mengalihkan tatapan ke depan, lalu kembali menatap Vanda dari samping.
"Kamu beda sekali dengan Ammamu ya, Vanda."
"Beda bagainama? Eeh, maskud ... eeh maksudnya, bagaimana?" Tanya Vanda terbata. Wajahnya jadi merah padam, karena terus terpeleset saat bicara.
"Tidak apa-apa, kalau kamu kepeleset, tidak perlu diralat. Aku mengerti kok maksud ucapanmu." Andri kembali menatap Vanda. Jelas terlihat baginya kalau wajah Vanda merah.
"Kamu beda dari Ammamu. Ammamu itu suka bicara apa saja. Mudah bergaul, dan mudah akrab dengan siapa saja. Kalau kamu terlihat pemalu. Kamu harus membangun rasa percaya diri, seperti Ammamu, Vanda."
"Tidak semua orang bisa me ... mehamami ... mem ...."
"Lanjutkan saja meski kepeleset, aku mengerti maksudmu."
"Tidak semua orang bisa ehmm, itu. Kebanyakan dari mereka, mentetrawakan ... eeh, men-ter-ta-wa-kan kesalahan kami."
"Jangan dimasukan di dalam hati kalau ada yang mentertawakan. Setiap orang pasti memiliki kekurangan bukan?"
"Tapi, kekuranganku, banyak selaki, Om."
"Dibalik kekuranganmu, pasti ada kelebihan juga. Saat orang menatapmu, aku yakin, semua orang akan mengatakan kamu cantik. Itu yang pertama. Berikutnya, cara berpakaianmu sopan, lalu suaramu lembut. Seterusnya, kamu bicara dengan bahasa yang sopan."
"Tapi, seletah ... setelah, orang mendengar aku keselepet biraca, mungkin semua pen ... penilaian baik itu akan hilang setekita, eeh ... seketika."
"Hal itu, akan membuatmu mudah menilai seseorang. Apakah dia pantas kamu jadikan teman, atau tidak. Iyakan?"
"Tidak semudah itu, Om."
"Yang aku lihat, kamu itu hanya merasa takut, Vanda. Hilangkan rasa takutmu, maka yakinlah semua akan baik-baik saja. Belajarlah dari Ammamu. Semakin kamu merasa takut, dan terus sembunyi, semakin kamu sering kepeleset kata kalau bicara. Aku rasa, Ammamu sekarang sudah jarang kepeleset."
Vanda hanya diam saja, Andri menolehkan kepala.
"Apa ucapanku menyinggung perasaanmu?"
"Haah ... oh tidak." Vanda menoleh untuk menatap Andri, kepalanya menggeleng untuk menegaskan jawabannya.
"Ini pertama kalinya kita bicara sedekat ini ya, dan aku sudah bicara terlalu jauh. Maafkan aku kalau sudah menyinggung perasaanmu."
"Tidak perlu minta maaf, Om. Aku tidak tersungging kok, eeh ... anu, Ter ...."
"Aku mengerti. Turun di mana? Rumahmu, atau rumah Kaimu?"
"Rumah Kai saja."
"Oke."
Andri menghentikan mobilnya di depan rumah dua lantai milik keluarga Ramadhan.
"Mau mampir dulu, Om?"
"Tidak, terima kasih. Salam saja untuk semuanya."
"Ya, terima kasih, Om. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Vanda ke luar dari dalam mobil, ia berdiri di samping mobil, sampai mobil Andri pergi menjauh.
Vanda melangkah menuju pintu samping rumah.
"Assalamualaikum," ia masuk ke dalam rumah, tanpa harus membuka pintu, karena pintunya terbuka.
"Walaikum salam." Terdengar sahutan dari dapur.
"Assalamualaikum, Acil." Vanda mencium punggung tangan Asifa yang mendekatinya.
"Walaikum salam, Ammamu mana, Sayang?"
"Masih di Banjarmasin."
"Kamu pulang diantar siapa?"
"Om Andri, kebetulan beliau pas mau pulang juga."
"Oh, Vanda ingin minum apa, biar Acil bikinkan. Atau ingin makan?"
"Heum, Vanda lapar, Acil. Tadi siang, beli makanan on line, tidak cocok di dilah, eh lidah rasanya, jadi Vanda cuma makan sedikit," sahut Vanda dengan nada manja.
"Acil siapkan dulu makannya ya, Vanda mandi dulu sana."
"Iya, Acil. Terima kasih, Vanda mandi dulu ya. Eeh, iya lupa, Rara di mana, Acil?"
"Di rumahnya, tadi dia di sini, tapi saat Razzi pulang, dia pulang juga."
"Sepi selaki tidak ada dia. Ehmm, Vanda mandi dulu, Acil."
"Iya, Sayang."
Vanda menaiki anak tangga menuju kamar tempat ia biasa menginap.
***
Siang ini, Vanda bingung memilih menu makan siangnya. Lidahnya memang bukan lidah yang gampang menyesuaikan dengan menu apa saja. Baginya, tak ada yang lebih nikmat, selain masakan Acil Sifa. Bahkan, masakan Amma saja kalah enak.
"Assalamualaikum."
Suara salam dari luar pintu membuat Vanda beranjak dari duduknya.
"Walaikum salam," Vanda membuka pintu, di depannya berdiri Paman Anang, supir mobil pabrik keripik, yang biasa mengantar keripik ke pelanggan.
"Paman?"
"Ini ada titipan dari Sifa. Kebetulan Paman lewat sini, jadi dititipi ini. Makan siang untuk Vanda."
"Ooh, Alhamdulillah. Terima kasih ya, Paman. Paman ingin masuk dulu?"
"Terima kasih, Paman masih ada yang harus diantar. Assalamualaikum, Vanda."
"Walaikum salam, Paman. Terima kasih."
Vanda menutup pintu, setelah mobil boks pengantar keripik pergi. Ia duduk di sofa, dikeluarkan rantang dari dalam goodie bag. Lalu ia lepas satu persatu rantang empat tingkat di depannya.
Rantang pertama, berisi nasi.
Rantang kedua berisi sayur bening.
Rantang ketiga berisi haruan goreng, dan sambal terasi yang dibungkus plastik.
Rantang keempat, ada rujak, dengan uyah wadi.
"Ehmm, Acil Sifa tahu saja, kalau aku sedang bingung ingin makan apa," gumam Vanda. Vanda menuju meja kerjanya, ia menelpon Asifa, untuk menyampaikan rasa terima kasihnya.
BERSAMBUNG