PART. 4

743 Words
Kamu terima tidak?" "Menikah itu bukan untuk satu, dua bulan. Tapi, untuk seumur hidup. Jadi, tidak bisa asal terima." "Kalau tidak pacaran dulu, bagaimana bisa saling mengenal, Vanda?" "Ta'aruf, Mister Rayen." "Iya, ya. Eh, sudah sampai. Biar aku bukakan pintunya." "Tidak usah, terima kasih ya, Mister Rayen." "Sama-sama, Vanda. Kalau perlu antar jemput, telpon saja aku, ya." "Assalamualaikum." "Walaikumsalam." Rayen melambaikan tangannya, Vanda membalas lambaian tangan Rayen. Ponselnya berbunyi, Vanda mengambil ponsel dari dalam tasnya. "Rara, Assalamualaikum." "Walaikumsalam, cie ... cie ... cie, yang diantar pulang sama Mister Rayen." "Ih, Rara kok tahu, Rara di nama?" "Di mana, Kak Vanda." "Hmm, itu." "Rara di lantai atas, coba lihat ke atas." Vanda mengikuti ucapan Rara, ia menatap jauh ke lantai atas rumah Kainya. Ternyata Rara ada di teras atas rumah Kai mereka. Rara melambaikan tangan, Vanda membalas lambaian Rara. "Rara sedang apa di situ?" "Sedang ngintip Kak Vanda," jawab Rara diikuti suara tawanya. "Ih, nanti mata Rara bintitan loh." "Itu ngintip orang mandi, Kak Vanda. Hmm, ngobrol apa tadi sama Mister Rayen?" "Ngobrol biasa saja." "Eh, ke sini dong, Kak Vanda. Ammaku bikin puding nangka (katanya, orang hamil makan nangka bisa keguguran. Tapi puding nangka kesukaanku saat hamil). Kita ngobrol sebentar." "Suamimu belum pulang?" "Belum, ke Banjarmasin dengan Abba." "Ooh, iya deh, Vanda ke sana." "Rara tunggu ya." "Iya, assalamualaikum." "Walaikum salam." Vanda berjalan ke rumah Kainya. Rara sudah menunggunya di teras samping. Sepupunya yang sempat lumpuh, karena kecelakaan sekarang sudah bisa berjalan lagi. Rara bisa berjalan lagi, karena ingin menyelamatkan Vanda, saat Vanda hampir tertabrak motor. Tapi, hal yang sampai saat ini membuat Vanda merasa bersalah, dan sedih. Akibat dari menolongnya, Rara keguguran, dan harus kehilangan bayinya. Untungnya, sekarang Rara sudah hamil lagi. Meski tidak ada orang yang menyalahkannya, tetap saja Vanda memendam rasa bersalah yang sangat besar. "Assalamualaikum." "Walaikum salam." "Puding nangka, dengan es sirop. Panas-panas begini, pas. Iyakan, Kak Vanda." "Iya, kok sepi. Kai, Nini, Acil Sifa mana?" "Kai, dan Nini dikamar. Amma sedang membersihkan kamar di atas." "Oh ...." "Bagaimana?" "Bagainama apanya?" "Mister Rayen?" "Ih, Rara apa sih?" "Mister Rayen itu suka dengan Kak Vanda." "Ih, Rara!" Vanda mencubit lengan Rara. "Ini serius, Kak Vanda." "Vanda pulang nih, kalau ngomongin Mister Rayen terus," ancam Vanda dengan wajah cemberut. Rara bukannya takut, ia malah tertawa. "Jangan ngambek dong. Tuh, dimakan pudingnya, enak selaki, tahu!" "Rara!" "Maaf, Maaf ya, Kak Vandaku yang cantik." "Maaf diterima," sahut Vanda sebelum mengunyah puding nangka buatan Asifa. "Masakan Acil Sifa tidak pernah mengecewakan." "Iya, dong. Amma muridnya Kai buyut, dan Kai Bie." "Ummm," Vanda mengangkat kedua jempolnya. *** Siang ini Vanda ke pasar Martapura, mencari oleh-oleh untuk dibawa ke Jakarta. Vanda tengah asik memilih-milih kain sasirangan, kain khas Kalimantan Selatan, saat seseorang menyapanya. "Vanda!" "Eeh, Paman Rahul." "Cari Sasirangan?" "Iya, lusa mau ke Jakarta, jadi cari oleh-oleh buat keluarga di sana." "Ooh, ke tempat Revan, dan Asila ya?" "Iya." "Sama siapa ke sini?" "Sendirian." "Naik apa?" "Taksi on line." "Habis ini kamu ke mana lagi?" "Mau pulang." "Aku juga mau pulang, pulang sama aku saja ya." "Tidak memperotkan ... eh, merepotkan?" "Tidak sama sekali. Ini sudah selesai memilihnya, atau mau aku bantu?" "Belum ...." "Aku tinggal sebentar, kamu tunggu di sini. Aku ke toko kakakku dulu sebentar." "Iya ...." "Tunggu aku di sini ya." "Iya." Rahul meninggalkan Vanda. "Temannya, Dek?" "Iya, tetangga." "Orang tuanya boss kain. Kaya sekali mereka itu." "Ooh, iya." Vanda hanya tersenyum saja. Tidak berapa lama Rahul kembali, tepat saat Vanda baru selesai membayar belanjaannya. Rahul mengambil alih bawaan Vanda, mereka menuju parkiran pasar. "Kenapa pergi sendirian, tidak bersama Rara?" "Rara sedang hamil. Tidak bisa pergi jauh-jauh, apa lagi ke paras ... eh, pasar." "Kamu masih kuliah, Vanda?" "Masih." "Jaga SPBU?" "Masih juga." "Ini kamu, aku antar ke mana? SPBU atau ke rumah?" "Ke SPBU saja." Mereka terdiam untuk sesaat. "Ehmm ... Vanda sudah punya pacar?" Vanda menolehkan kepala, ditatap Rahul dari samping. "Kami tidak boleh pacaran." "Ooh, tapi Rara, dan Razzi, pacaran selama lima tahun'kan?" "Mereka tidak pacaran. Tapi, saling mencintai." "Maksudnya?" "Mereka memang saling mencintai sejak lima tahun lalu. Tapi, mereka tidak mekulakan ... eeh, melakukan hal yang dilakukan orang pacaran." "Ehm, benar juga. Bahkan tidak ada orang yang tahu akan perasaan mereka berdua. Mereka hebat sekali ya, menyimpan perasaan cinta mereka." "Hmmm ...." "Jadi, kalau tidak boleh pacaran, berarti langsung lamaran saja ya?" "Iya." "Kalau aku melamar Vanda, apa akan diterima?" Rahul menolehkan kepalanya, agar bisa menatap wajah Vanda. "Haah!" Vanda juga menatap Rahul, tatapan mereka berpaut sejenak, sebelum Vanda menundukan wajahnya yang merona. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD