Bab 4 Bukan Pengemis

1096 Words
“Oho! Lihatlah siapa yang datang! Apa hari ini kalian tutup toko lagi lebih cepat daripada biasanya? Apa kalian pikir uang itu tumbuh di pohon?!” teriak seorang wanita tua dengan dandanan glamor dan bentuh tubuh tetap terjaga. Dia sedang duduk di ruang tamu sambil mengipasi kukunya yang baru saja diberi kutek. Pakaian yang melekat di badannya adalah merk terkenal dan sangat mahal. Satu set perhiasan yang dikenakan olehnya menambah kesan mewah pada penampilannya. Benar-benar tipe orang kaya norak yang suka memamerkan kekayaannya di hadapan semua orang. “Ibu!” tegur Angela cepat, memberikan tatapan peringatan. Ibu Angela, Sekar Pramulya mendengus penuh hina ke arah Alan Gu. “Kalau dia hanya bisa mengurus bisnisnya seperti itu, kamu pikir kapan dia bisa menjadi kaya raya seperti semua anggota keluarga Tanoto? Mereka semua sangat sukses dan terkenal. Ada yang jadi manager perusahaan hebat, pengacara bernilai ratusan juta, pebinis yang menjangkau sampai ke luar negeri, dan bahkan ada yang masuk ke pemerintahan dan mengurus banyak kepentingan orang besar. Sementara dia itu apa? Hanya bisa berjualan martabak dan donat di toko kecil pinggir jalan? Itu pun bukan di jalanan ramai dan terkenal seperti di kawasan elit orang kaya. Dia itu sudah termasuk beruntung menikah denganmu hanya bermodalkan wajah tampannya. Kalau dia tidak tampan, kamu pikir kami akan menerima mahar yang hanya 100 juta itu dengan latar belakang tidak jelas? Heh! Kamu bahkan mengancam akan menjadi perawan tua dan melukai diri sendiri jika bukan dia yang menjadi suamimu. Benar-benar! Sekarang, mana bukti janjinya kalau dia akan bersungguh-sungguh menjadi pebisnis makanan yang terkenal dan memberikan uang 100 juta setiap bulan untuk keluarga kita, hah?! Kalau masih tidak ada kemajuan selama satu tahun ke depan, sebaiknya dia berhenti saja berjualan dan segera bercerai darimu! Percuma juga dia masuk ke bisnis tekstil ayahmu. Dia tidak mengerti bisnis sama sekali. Menjual martabak dan donat saja dia hanya bisa meraup 20-30 juta per bulan. Bagaimana bisa mengurus bisnis ayahmu? Bisa-bisa membuat keluarga kita bangkrut! Sarjana S1 ilmu komputer? Seharusnya dia dulu memilih jurusan yang lebih berguna! Ekonomi atau bisnis, kan, bisa? Mau apa kalau hanya duduk di depan komputer? Jadi bawahan orang lain? Menyendiri di kamar seperti orang bodoh? Sangat memalukan!” Mendengar hinaan itu, pria tampan bermantel hitam tanpa sadar mengepalkan tangan kanannya. Selama menikah dengan Angela, dia telah bekerja keras untuk mencari uang sampai pernah tertidur tanpa sadar ketika sedang mengendarai motor pulang ke rumah di tengah malam. Apakah usahanya belum cukup juga? Uang dari hasil berjualan martabak dan donat, sebagian besar diambil oleh ibu mertuanya untuk berfoya-foya bersama anggota keluarga lainnya. Bagi Alan sendiri, dia hanya menyisihkan sedikit modal untuk diputar kembali dan memberikan sisanya kepada Angela. Itu pun kadang-kadang mendapat tambahan jika ada pekerjaam sampingan sebagai seorang programmer. Alan Gu sebenarnya memiliki kemampuan hebat dalam memahami dunia komputer. Tapi, karena keluarga Tanoto melihat hal semacam itu tidak berguna dan memberikan kesan cupu dan anti sosial, maka terpaksalah Alan membatasi dirinya untuk berkembang lebih jauh. Sebagian besar harinya akhirnya dihabiskan untuk berjualan di toko. Jika memiliki waktu luang di malam hari, atau pun toko sedang sepi, barulah dia akan menyentuh segala hal yang berkaitan dengan komputer. “Cukup, Ibu! Sampai kapan ibu akan menghina suamiku? Bukankah dia sudah cukup berusaha? Ibu pikir ada berapa banyak orang yang berjualan martabak dan donat sampai bisa mendapat 20-30 juta per bulan hanya dalam waktu satu tahun? Kalau dia beri kesempatan, aku yakin dia bisa bisa lebih hebat lagi! Dia pasti akan menjadi pebisnis yang sangat sukses!” Sekar mendengus remeh mendengar penuturan putrinya. “Oh, benarkah? Lantas, dia bawa koper apa itu? Apakah isinya uang? Atau jangan-jangan alat-alat tidak berguna lagi untuk komputer jeleknya itu?” “Bu!” tegur Angela untuk kesekian kalinya, menoleh ke arah Alan dengan wajah cemas. Pria tampan dengan hidung mancung itu tersenyum pahit bertatapan mata dengannya. “Sudahlah, Angela. Ibu memang benar. Aku mungkin masih kurang berusaha. Aku berjanji akan bekerja lebih keras lagi mencari uang.” Tidak terima dengan jawaban suaminya yang selalu saja pasrah dan menerima kata-kata buruk tanpa perlawanan dari keluarganya, Angela segera merebut koper perak di tangan suaminya untuk diberikan kepada ibunya. “Angela!” seru Alan kaget. Sekar Pramulya yang mendapat koper perak di pangkuannya sontak kaget luar biasa. “Di dalam sini ada satu juta dollar! Apakah jika aku memberikan ini semua, ibu dan yang lainnya akan berhenti menindas suamiku?” terang Angela dengan amarah tertahan. Kedua bola mata Sekar membola hebat dengan ekspresi tidak percaya. Benarkah isinya uang? Bagaimana bisa? Melihatnya tampak linglung dan seolah menatapnya bagaikan seorang pembohong, Angela segera membuka koper itu dan menunjukkan tumpukan uang dollar yang sangat banyak. Sekar seketika terkesiap kaget dengan wajah bodoh dan tampak kehilangan kata-kata. Mulutnya membentuk huruf O besar seolah ikan yang ditarik ke daratan. Dia menatap takjub uang satu juta dollar itu seperti melihat harta paling berharga di dunia! Keluarga Tanoto bisa dibilang adalah keluarga berkecukupan dengan bisnis tekstil yang lumayan sukses. Bahkan putri tertua mereka, Angela Tanoto bekerja di perusahaan besar dengan jenjang karir yang luar bisa dan gaji fantastis. Sayangnya, karena bisnis tekstil ayahnya dulu sempat mengalami masalah serius, maka hutang mereka sangatlah banyak. Semua anggota keluarga dipaksa untuk menyetor uang setiap bulan untuk menutupi kekurangan itu. Termasuk Alan Gu yang bekerja keras memenuhi janjinya agar bisa menikahi wanita pujaannya. Tidak heran dia dipaksa mencari lebih banyak uang selain untuk dihabiskan demi gaya hidup hedon keluarga Tanoto. Bibir Sekar gemetar tak terkendali seraya meraba gugup permukaan tumpukan uang di dalam koper. “Do-dollar? Ini do-dollar? Satu juta dollar? Bagaimana bisa kalian mendapatkan uang sebanyak ini? Apakah ini tipuan? Berani sekali menipu ibu sendiri dengan uang palsu!” seru Sekar yang semula gugup luar biasa dan perlahan mulai terlihat sangat marah karena merasa seperti dihina. Wajahnya sangat merah seperti cabai pedas yang siap meledak! Alan Gu segera meraih koper itu kembali, menatap istrinya dengan sorot mata marah. “Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu berniat mengembalikan uang ini kepada orang itu?” Angela menggigit bibir gugup, wajahnya agak bersalah setelah membuka rahasia yang sudah mereka sepakati untuk tidak diberitahukan kepada anggota keluarga Tanoto. “Alan, mungkin kita bisa meminjam uang ini tanpa bunga? Setidaknya, akhirnya kita bisa hidup bebas dari tekanan semua orang. Kita bisa membeli rumah kecil kita sendiri, atau menyewanya juga tidak apa-apa.” Wajah Alan Gu menggelap dengan sangat cepat. Seolah-olah hawa dingin dan kematian menjadi satu di sana. “Angela, apakah kita pengemis?” tanya Alan sinis, mata memicing tak suka. Jantung Angela bagaikan ditusuk dengan jarum panas. Dia tidak tidak pernah melihat Alan semarah itu kepadanya! Apakah sungguh buruk menerima uang dari Anderson jika bisa menolong mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD