Chapter 2: A Cheating Man

924 Words
Aku baru saja meninju wajah seorang gadis muda. Bukan sembarang gadis, melainkan anak perempuan dari ibu yang kukenal baik dan sudah kuanggap seperti kakak kandungku. Kurasa aku tak perlu repot-repot memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’ setelah apa yang diperbuat anak gadisnya. Hidungnya mulai berdarah, dan aku merasa tidak enak karena memukuli gadis muda di usiaku yang sebentar lagi menginjak kepala tiga. Aku merasa seperti pelaku kriminal sesaat. Tapi, kemudian aku ingat bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang membohongi dan mengkhianatiku dan itu membuatku ingin meninjunya sekali lagi. Aku tidak merusak wajahnya, sayangnya. Akan tetapi, tanganku terasa sangat sakit setelahnya. Meninju seseorang tak pernah terasa semenyenangkan ini, setidaknya aku puas dengan karyaku di wajahnya. Gejolak marah ini timbul ketika aku mendapati pesan masuk dari Vernor tiga puluh menit yang lalu. Dia adalah target selanjutnya yang ingin kuhabisi hari ini. Vernor: “Sebentar lagi aku akan pulang, kamu ingin menitip sesuatu?”Sayangnya dia sudah berada di depan rumah dan menungguku untuk membukakan pintu. Aku mengintip dari jendela taksi yang kutumpangi dan melihatnya terburu-buru pergi sembari menjawab panggilan dari seseorang. Oh, apa mungkin dia sudah tau apa yang aku lakukan kepada gadis simpanannya? Aku meletakkan telepon di dalam sakuku, dan berjalan keluar untuk melihat sekeliling kompleks perumahan yang sudah kami tinggali selama tiga tahun. Aku mengingat-ingat kembali bagaimana aku mendapati mereka berselingkuh dariku. Dia menjemputku untuk dinner malam itu dan ketika aku masuk ke mobilnya, kursi penumpang direbahkan sangat jauh dari posisi yang seharusnya. Aku sangat tau bagaimana posisi kursiku, tidak terlalu tegak dan tidak terlalu rendah. Aku menanyainya tentang itu dan dia menyangkalnya dan membuatku merasa seperti orang bodoh karenanya. Aku bukanlah tak tahu-menahu dan tau jelas bahwa dia membawa wanita lain di mobilnya. Tapi, aku tak membesar-besarkannya dan tetap bersikap normal karena itu hanya perihal kursi mobil. Sekitar sebulan kemudian, aku sedang bersantai di rumah bersama temanku dan seseorang yang kukenali tiba-tiba memanggilku dan berkata, “Hei, aku sedang bekerja mengantar pizza ke rumah seorang wanita dan suamimu membukakan pintu” Katanya dia tampak seperti hantu ketika Vernor menyadari bahwa John-lah yang mengantarkannya. Ya, John adalah mantan pacarku. Sekarang aku percaya bahwa insting wanita tak pernah salah. Aku duduk di tepi air mancur yang sekarang kosong, sikuku bertumpu pada dua koper yang berisi sebagian besar barang-barangku, menunggu taksi untuk menjemputku. Aku tak tau kemana aku akan pergi, tetapi akan lebih baik jika aku tak melihatnya hari ini. Perutku terasa berkontraksi, mungkin karena kecapekkan, pikirku. Akan tetapi kontraksi itu berlangsung sekitar empat sampai lima menit selama 40 detik. Seperti wanita yang akan melahirkan. Aku menelpon suamiku untuk memberi tahu dia apa yang terjadi. Dia tak menjawab panggilanku. Apa dia tak punya nurani? Aku akan melahirkan anak yang ditunggu-tunggu olehnya selama 3 tahun. Apakah wanita itu jauh lebih berarti daripada aku dan anaknya? Kemudian, aku memutuskan untuk menghubungi panggilan darurat dan benar saja mereka langsung tiba dan memapahku ke rumah sakit. Menjelang tengah malam, aku yakin bahwa sebentar lagi aku akan melahirkan. Bidan yang mengawasiku bertanya tentang suamiku, “Dia sedang dalam perjalanan ke luar kota dan sangat sulit untuk mendapatkan akses jaringan di kota kecil” kataku.“Apa tidak ada keluarga lain? Kami butuh persetujuan keluarga untuk menjalankan operasi persalinanmu” Tanya seorang bidan memastikan. “Ibu dan ayah saya sudah tiada. Kedua saudaraku, tinggal di Minneapolis dan tidak mungkin untuk berkunjung di hari kerja seperti sekarang” jawabku. Setelahnya, operasi tetap berjalan karena kondisi tak memungkinkan bagiku untuk menunggu kedatangan mereka. Aku merasa sangat asing disini, tanpa keluarga, tanpa suami, benar-benar sendirian. Untungnya, aku sudah menyiapkan pakaian dan perlengkapan bayi di dalam koper yang kubawa. Bayi yang baru saja kulahirkan memerlukan perawatan khusus di NICU rumah sakit. Tentu saja, aku menyalahkan Vernor atas anakku yang terlahir prematur. Aku baru saja mengetik kata-kata ini di pencarian google: Apa yang harus saya lakukan apabila suami saya selingkuh, tetapi dia juga adalah seorang ayah yang baik bagi putri kami? Aku menatap pertanyaan itu dan berpikir: Aku baru saja meminta internet untuk membuat keputusan paling penting dan pribadi dalam hidupku. Mengapa aku mempercayai semua orang di bumi lebih dari aku mempercayai diriku sendiri? Aku mengklik artikel demi artikel. Betapa menyedihkan bahwa semua orang memintaku untuk melakukan hal yang berbeda. Para ahli agama bersikeras bahwa seorang Kristen yang baik akan mempertahankan rumah tangganya. Kaum feminis berpendapat bahwa seorang wanita yang kuat akan pergi. Artikel parenting berpendapat bahwa seorang ibu yang baik hanya akan memikirkan apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Semua pendapat berbeda-beda, artinya aku tak bisa menyenangkan semua orang. Baik itu suami, anak, maupun diriku sendiri. Tetapi, aku mensyukurinya. Ketika seorang wanita akhirnya belajar bahwa menyenangkan dunia itu tidak mungkin, dia menjadi bebas untuk belajar, bagaimana cara menyenangkan diri sendiri? Aku melihat semua pendapat dan pemikiran yang kontradiktif itu: Jika sebenarnya ada cara yang objektif, benar maupun salah, untuk menangani masalah ini, mengapa semua orang mempunyai ide yang berbeda tentang apa yang harus dilakukan seseorang? Aku mendapat pencerahan: harus dan tidak seharusnya; benar dan salah; baik dan buruk. Semuanya palsu. Mereka diciptakan oleh stigma masyarakat, dibangun oleh budaya, dan dipelihara oleh institusi tertentu untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka adalah jeruji yang membuat kami, para ibu, merasa terkurung. Para wanita jadi merasa kesulitan untuk menentukan siapa yang paling egois diantara mereka? Aku memutuskan bahwa, jika aku terus melakukan hal yang 'paling benar' dan 'seharusnya', maka aku akan menghabiskan hidupku untuk mendengar apa kata mereka daripada mengikuti diriku sendiri. Aku ingin membuat keputusan sendiri sebagai seorang wanita bebas, dari jiwaku, bukan berdasarkan perasaan. Tapi masalahnya, aku tidak tau caranya. Aku mengiriminya sebuah pesan singkat: "Datanglah besok pagi”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD