1 | Mengakhiri Pelarian

1610 Words
‘Selesai sudah. Aku tidak perlu lagi melanjutkan perjuangan cintaku karena aku sendiri sudah tahu jawabannya. Selama ini dia tidak pernah melihatku. Dari situ seharusnya aku paham. Kemudian mengambil langkah mundur. Bukan malah menutup mata dan tetap melangkah maju. Aku bodoh sekali, bukan?’ Seorang gadis baru saja menyaksikan insiden baku hantam di hadapannya. Semula ia sangat terkejut, khawatir, dan hendak melerai. Tapi saat menangkap keputusasaan melalui mata salah seorang pelaku baku hantam. Kini justru hati Nirina lah yang merasakan sakitnya dihantam oleh sesuatu yang tak terlihat. Ya, gadis itu biasa disapa Nirina. Akan tetapi, banyak rahasia yang disembunyikan olehnya selama beberapa tahun terakhir ini. Mengenai identitasnya yang sebenarnya. Kembali pada permasalahan hatinya, kini Nirina tengah menikmati sakitnya cinta tak terbalas.. Sudah lama Nirina memendam perasaan cinta pada Raiden Alsaki—bosnya sendiri. Jatuh-bangun Nirina mencoba meraih hati Raiden. Tapi semuanya sia-sia. Jangankan sampai teraih, dilihat sebagai wanita saja rasanya belum pernah. Selama ini, Raiden hanya melihatnya sebagai karyawan yang teladan. Yang lebih menyakitkan adalah insiden malam ini. Dimana kecurigaan Nirina akhirnya terbukti. Raiden lebih tertarik pada Amaya—sahabatnya sekaligus teman sekamarnya. Sakit sekali. Walau akhirnya, Raiden juga berada di posisi yang sama dengan Nirina. Sama-sama cinta tak terbalas karena Amaya tetap memilih Respati—Kakak Raiden. Cinta memang tidak bisa dipaksakan. Cukup sederet kalimat itulah yang kemudian meringankan langkah Nirina untuk pergi. Untuk apa tetap tinggal? Menambah luka hati karena perasaan Raiden sepertinya begitu dalam pada Amaya. Berteman rasa kecewa, Nirina telah mengambil keputusan besar bahwa ia akan kembali pada kehidupannya sebagai Nirvana Irenia. Tatapan sendu serta seulas senyum tipis Amaya akan Nirina bawa sebagai kenang-kenangan. Meski Nirina tak mampu membalas senyum Amaya itu. Hati Nirina terlalu sakit walau tahu semua ini bukanlah salah Amaya. ‘Maafkan aku, May. Kisah ini terlalu rumit. Hatiku pun terlanjur sakit. Aku harap, ini pertemuan terakhir kita. Aku pergi..’ Malam itu juga, Nirina segera mengemasi barang-barangnya yang untung saja tidak terlalu banyak. Selama ini Nirina memang hidup dalam kesederhanaan. Menempati salah satu kamar mes karyawan bersama Amaya. Tapi besok Nirina pastikan hanya ada barang Amaya yang tersisa di dalam kamar ini. Sebelum pergi, Nirina sempat menulis surat pengunduran diri. Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan di Rumah Makan SANJUNG RASA. Rencananya, surat itu akan Nirina tinggalkan begitu saja di dalam kamar ini. Nirina terlalu pengecut sampai tak berani memberikannya secara langsung pada Raiden. Atau..siasatnya menghindari Raiden agar tetap pada keputusan besarnya? Entahlah, Nirina sedang kacau sekali. Selesai dengan urusan menulis surat pengunduran diri, tak sengaja sepasang mata Nirina menangkap selembar foto polaroid berukuran 3R. Nirina meraihnya. Memandanginya sampai berlinang air mata. Rupanya Nirina teringat momen saat diam-diam memfoto punggung Raiden yang sedang duduk di pasir pantai. Sekadar gambar punggung yang kerap Nirina pandangi daripada wajah tampan seorang Raiden. “Bagiku, memandangi punggungmu saja sudah cukup. Tapi, ini terakhir kalinya,” lirih Nirina seraya menguatkan tekad untuk benar-benar pergi jauh. Melenyapkan sosok Nirina. Kembali menghidupkan sosok Nirvana. Tangan Nirina tergerak untuk menuliskan sesuatu di balik selembar foto yang akan ia tinggalkan itu. Biar selembar foto ini saja yang tertinggal. Sementara rasaku? Biar kubawa pergi atau hangus bersama harapan yang pupus. Selanjutnya, Nirina benar-benar pergi tanpa ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Di sebuah stasiun kereta, Nirina baru saja memesan tiket keberangkatan menuju kota yang akan ditujunya. Kota kelahirannya, Jakarta. Saat sedang menunggu keretanya datang, Nirina menelpon seseorang. “Halo, Vana? Ada apa menelpon Om malam-malam seperti ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan seseorang di seberang sana memang terdengar tenang, tapi Nirvana tahu bahwa dibalik ketenangannya menyimpan kekhawatiran. Hal itulah yang akan Nirvana enyahkan. Cukup sudah pelariannya selama ini. Saatnya kembali. Meski harus menjadi tuan putri yang kehidupannya memuakkan dan tidak bebas. “Maaf Vana menelpon Om Cakra malam-malam seperti ini. Tidak ada sesuatu yang terjadi kok, Om. Hanya saja..” Mendengar perkataan lawan bicaranya menggantung, sosok pria bernama Cakra itu menyahut, “Hanya saja?” “Vana sudah memutuskan bahwa Vana akan pulang, Om,” tegas Nirvana sembari terus memandangi rel kereta di depan sana. Sempat hening sesaat. Sampai kemudian terdengarlah pertanyaan berat yang dilontarkan oleh sahabat almarhum papanya. “Kamu siap menghadapi orang rumah?” “Sangat siap, Om.” Memang benar begitu adanya bahwa tidak ada ketakutan sedikitpun dalam diri Nirvana untuk pulang. Nirvana anggap, sudah puas dengan kebebasan selama beberapa tahun terakhir ini. Di seberang sana, Cakra menghela napas. “Ya sudah, hati-hati di jalan. Om akan menjemputmu di stasiun.” Nirvana yang turut mendengar helaan napas itu hanya bisa tersenyum tipis. Mengetahui bahwa Cakra tengah mengkhawatirkannya. Padahal menurut Nirvana tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jikalaupun nanti sampai terjadi kegaduhan, bukankah Nirvana cukup menutup kedua telinga dan matanya? Hidup ini mudah. Yang menyulitkan itu kekhawatiran-kekhawatiran kita. “Terima kasih banyak atas kebaikan Om Cakra selama ini.” Selama ini hanya Cakra lah yang Nirvana percayai tulus menyayanginya. Selayaknya kasih sayang seorang ayah pada putrinya. Ucapan ‘terima kasih’ sebenarnya tak cukup. Tapi hanya itu yang bisa Nirvana berikan.. “Sama-sama, Vana. Pesan Om ; jalani hidupmu sesuai keinginanmu, jangan biarkan siapapun merenggut kebahagiaanmu, semangat selalu, kamu adalah Nirwan versi gadis.” “Om bisa saja.” Nirvana sempat terkekeh kecil sampai kemudian kekehannya berubah menjadi embusan napas pelan. “Vana, kan, jadi rindu almarhum Papa..” “Sebentar lagi juga kamu akan rajin mengunjungi makam kedua orang tuamu. Benar, kan?” “Seratus buat, Om!” Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu rindu mengunjungi tempat peristirahatan kedua orang tuanya yang selama beberapa tahun ini tidak bisa ia kunjungi karena sedang dalam pelarian dan tidak ingin ditemukan oleh keluarga besarnya. “Kalau boleh jujur, Om lega sekaligus bangga dengan keputusanmu walau tengah malam dan seperti mimpi.” “Vana bersungguh-sungguh, Om.” Kebetulan sekali saat Nirvana sedang meyakinkan Cakra, tiba-tiba keretanya datang. “Itu kereta Vana sudah datang! Vana tutup ya, Om. Sampai berjumpa besok.” Nirvana bergegas memasuki kereta yang akan mengantarkannya meninggalkan kota penuh kenangan indah, penuh kebebasan, tapi membuatnya membawa ‘luka hati’ sebagai bekal perjalanan. Keesokan harinya. Nirvana tiba di stasiun kota tujuannya. Benar saja, Cakra—sahabat papanya—sudah menjemput di area penjemputan. Nirvana yang masih mengenali betul perawakan Cakra langsung berlari kecil menghampiri pria yang sedang sibuk berteleponan sambil menyandarkan punggung di mobil itu. “Jadi semuanya benar-benar diurus oleh Hamlan dan istrinya? Tuan Hasyiem dan Nyonya Meriana sepenuhnya percaya dan hanya terima beres saja? Baiklah, saya mengerti. Saya tutup.” Tak sengaja mendengar perbincangan Cakra dengan seseorang di seberang sana, Nirvana yang semula hendak mengejutkan Cakra kini justru dirinya lah yang mendapat kejutan. Apa yang terjadi selama ia pergi? Nirvana pun menyimpan rasa penasarannya untuk sesaat karena selanjutnya akan langsung ia tanyakan pada sahabat papanya ini. “Selamat pagi, Om..” sapa Nirvana kemudian langsung bertanya, “Apa sedang ada masalah? Maaf, tadi Nirvana tidak sengaja mendengar Om menyebut-nyebut nama Om Hamlan, Eyang Kakung Hasyiem, dan Eyang Putri Meriana.” “Pagi, Vana. Selamat datang kembali,” sambut Cakra mengulurkan tangannya dan Nirvana pun mencium tangan tersebut seperti apa yang dilakukannya dulu semasa papa dan mamanya masih hidup. “..hidup kita ini selalu dikelilingi oleh masalah. Meski begitu, jangan khawatir karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” lanjut Cakra, seperti biasa selalu bijak setiap bertutur kata. Keduanya pun masuk ke dalam mobil untuk menuju kediaman keluarga besar Nirvana. Suasana mobil sempat hening. Nirvana juga bingung harus membuka topik perbincangan apa selain menanyakan kabar Cakra dan keluarganya. Sampai tiba-tiba pria berusia empat puluh lima tahun itu mengatakan sesuatu yang membuat jantung Nirvana berpacu kencang. “Kembalimu ini akan mengejutkan semua orang. Tentu, ada yang senang, ada pula yang geram. Jangan terkejut dengan semua itu, Vana. Kamu cukup fokus memerankan peranmu kembali sebagai Cucu Pertama Tuan Hasyiem.” “Apa Vana salah mengambil keputusan, Om? Apa seharusnya Vana tidak usah kembali saja?” “Tidak. Kamu tidak salah. Itu hakmu. Hanya saja..keputusanmu ini bertentangan dengan mereka yang bermaksud menguasai semuanya. Om rasa kamu cukup paham siapa ‘mereka’ yang Om maksud.” Nirvana mengingat kembali momen beberapa tahun yang lalu. Saat dimana hari-harinya yang tenang berubah menjadi memuakkan. Om dan tantenya secara terang-terangan mulai menunjukkan gerak-gerik akan menguasai semuanya. Termasuk warisan mendiang kedua orang tua Nirvana yang seharusnya menjadi milik Nirvana. Kini saat kembali, Nirvana pastikan om dan tantenya itu tidak akan bisa tidur nyenyak seperti sebelumnya, saat Nirvana pergi dari rumah. “Tentu, Vana tahu siapa ‘mereka’. Vana sendiri sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi mereka, Om. Sudah saatnya mereka mengembalikan apa yang mereka pinjam dari Vana.” Seperti sebelumnya, Cakra selalu mendukung anak sahabatnya. “Itu tidak mudah. Tapi Om percaya kamu bisa, Vana.” Demi menjaga rahasia keterlibatan Cakra dalam pelariannya, Nirvana meminta diturunkan di depan, cukup jauh dari letak rumah mewah yang merupakan tempat tinggalnya sejak kecil. “Kamu yakin mau turun di sini saja?” Pertanyaan Cakra itu langsung mendapat anggukan yakin dari Nirvana. Gadis cantik itu pun kemudian pamit seraya mengucapkan banyak ‘terima kasih’. Tinggallah Nirvana seorang diri. Menyusuri jalan perumahan mewah setelah di depan tadi Nirvana berhasil menerobos masuk karena satpam perumahan sangat mengenalinya. Pak Satpam sempat terkejut tapi bahagia dengan kepulangannya. Sudah pasti kabar kepergiannya telah menyebar luas. Mungkin juga sempat menjadi gosip. Entah gosip seperti apa itu? Nirvana tak peduli. Yang terpenting ia harus segera sampai di rumah. Setibanya Nirvana di depan sebuah gerbang besar rumah yang dulunya penuh kehangatan, Nirvana sempat terdiam sesaat. Mulai muncul keraguan mengenai keputusannya kali ini. ‘Apa aku masih diterima di rumah ini?’ Sampai kemudian Nirvana tersadar. ‘Rumah ini juga rumahku. Seharusnya aku tidak khawatir dengan apapun itu!’ Saat Nirvana masih bergeming, tiba-tiba terdengar suara gaduh berupa teriakan kencang seorang wanita. “Tuan, Nyonya, Nona Nirvana pulang!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD