"Papa, Mama, Vana datang.." sapa Nirvana bersusah payah.
Menahan tangis dan memaksa bibir tersenyum lebar di hadapan dua batu nisan orang-orang kesayangannya, tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Sebenarnya Nirvana tidak sekuat itu bila menyangkut mendiang orang tuanya. Tapi seiring bertambah usianya, pengendalian emosinya cukup terlatih. Kini Nirvana sudah tidak menangis tersedu-sedu. Paling hanya menangis dalam diam. Yang sesaknya cukup Nirvana telan sendiri.
Hidup terus berjalan. Meski kedua orang tuanya telah pergi selama-lamanya, Nirvana akan tetap bersemangat menjalani hari-harinya di dunia ini sampai nanti Tuhan memanggilnya untuk pulang.
Seusai berdoa bersama Izhar yang setia berada di sampingnya, Nirvana mengusap nisan papa dan mamanya. Ia berada di tengah-tengah makam terawat itu untuk berpamitan. "Papa, Mama, semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu kembali. Vana pamit, ya."
"Ayo, Zhar.." ajak Nirvana pada Izhar. Tapi pria itu belum mau mengikuti langkahnya untuk pergi.
Yang ada, Izhar justru berjalan mendekati makam kedua orang tua Nirvana. Lalu, menempati posisi Nirvana sebelumnya.
Kali ini, apa yang akan pria itu lakukan? Nirvana penasaran. Maka dari itu ia diam dan menunggu apa yang selanjutnya Izhar lakukan.
Ah, mungkin pria itu ingin berpamitan pada kedua orang yang dulu dikenalnya cukup dekat. Mengingat papa Nirvana dan papa Izhar merupakan sahabat sejati.
"Om Nirwan, Tante Dea, akhirnya Nirvana pulang.."
Nirvana mengernyitkan dahinya. Tidak suka dengan apa yang Izhar katakan.
Mengapa Izhar harus membahas itu, sih? Nirvana cukup cerdas memahami bahwa saat ini Izhar sedang mengungkit perihal insiden kaburnya selama bertahun-tahun ini.
Tapi Nirvana masih bertahan dalam keterdiamannya, enggan menyela, apalagi sampai menghentikan perkataan Izhar. Suka-suka Izhar.
Sampai kejutan itu Nirvana dapat. Dimana..Izhar mengatakan sesuatu dengan lugas, "Saya ingin menjaga Nirvana. Saya harap, Om Nirwan dan Tante Dea tidak keberatan. Saya bermaksud baik. Tapi kembali lagi pada Nirvana. Segala keputusan ada di tangan Nirvana. Jikalau pun bukan tahun ini, tahun-tahun berikutnya saya bersedia menunggu."
Saat mengatakannya, sesekali mata Izhar menatap Nirvana. Tatapannya begitu dalam. Namun sayangnya itu tak merubah apapun. Hati Nirvana tetap untuk satu nama.
Yang entah kapan nama tersebut dapat terhapus..
Ketika Izhar selesai berpamitan dan mengatakan sesuatu yang jelas Nirvana pahami, Izhar pun berdiri dan berjalan menghampiri Nirvana. Ada perasaan lega saat ia berhasil mengatakannya dan didengar langsung oleh sepasang telinga Nirvana. Walau Izhar belum melihat respon yang diharapkannya.
Sebaliknya, kentara sekali bahwa Nirvana menghindari tatapannya. Gadis itu bersikap biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa dan tak mendengar apapun.
Padahal tanpa sepengetahuan Izhar, perasaan Nirvana seperti sedang diaduk-aduk. Di sisi lain, ada Raiden yang tetap Nirvana cintai meski telah Nirvana tinggal pergi. Tapi pertemuannya kembali dengan Izhar justru membuat Izhar bersikap serius pada Nirvana. Bahkan Izhar terang-terangan bersedia menunggu.
Situasi macam apa ini? Nirvana benar-benar bingung..
"A--ayo ke makam Tante Inge, Zhar.."
Akhirnya Nirvana membuka suara. Mengenyahkan keheningan saat berjalan bersama Izhar. Ini berbeda rasanya, lebih canggung daripada tadi saat datang kemari.
Tidak menyukai suasana canggung seperti ini, Izhar berusaha mengembalikan suasana santai sebelumnya. "Bunga mawar putih Mama, ada?"
"Ada, Zhar. Tapi aku tinggal di mobil. Kamu tunggu di sini saja, biar aku yang ambil."
Izhar menggeleng. Menyentil dahi Nirvana seraya mengulas senyum geli akibat mendapati sikap canggung Nirvana. "Kebalik. Biar saya yang ambil. Kamu tunggu di sini."
Nirvana pasrah. Membiarkan Izhar berjalan ke mobilnya guna mengambil bunga mawar putih yang telah Nirvana siapkan.
Bunga itu sengaja Nirvana tinggal di mobil karena tujuan pertama ziarah sore ini adalah makam kedua orang tuanya. Tentu, Nirvana telah menyiapkan bunga sendiri untuk ditaburkan ke makam papa dan mamanya. Sementara bunga mawar putih kesukaan Tante Inge, Nirvana biarkan utuh setangkai-tangkainya. Hanya dibalut kertas dari toko bunga yang menjadikan bunga tersebut tertata rapi nan cantik. Seperti Tante Inge semasa hidup.
Tak lama kemudian, tampaklah sosok Izhar yang tengah membawa bunga mawar putih. Nirvana menghampiri Izhar untuk kemudian bersama-sama berjalan menuju makam Mama Izhar. Ya, makam orang tua Nirvana dan Mama Izhar memang berada di satu tempat pemakaman. Sudah benar mereka pergi bersama-sama. Yang tidak benar adalah Izhar yang tiba-tiba mengatakan sesuatu tak terduga di samping makam kedua orang tua Nirvana.
Soal itu akan Nirvana bahas nanti di jalan pulang. Untuk saat ini, mendatangi makam Tante Inge merupakan keinginan terbesar Nirvana. Nirvana merindukan wanita cantik nan lemah lembut itu..
"Tante Inge, Vana datang.." Sama seperti sebelumnya, Nirvana mengawalinya dengan sapaan lirih. Serta senyum tulus.
Sementara itu, saat melirik ke samping Nirvana langsung disuguhi raut kesedihan di wajah tampan Izhar. Inilah saat bagi Izhar untuk menguatkan hati. Mengunjungi makam seorang wanita hebat yang telah mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya ke dunia ini.
"Senyum dong, Zhar.. Tante Inge enggak suka kamu sedih begini," bujuk Nirvana menginginkan Izhar dapat menyembunyikan kesedihannya. Paling tidak, beri senyum terbaik sebagai tanda ikhlas. Toh, semua akan pulang pada waktunya.
"Hmm."
Senyum Izhar pun terlihat. Itu cukup melegakan. Ditambah ajakan Izhar seperti sebelumnya. "Ayo doa bersama, Nirvana." Nirvana mengangguk. Lantas, berdoa bersama Izhar di makam Mama Izhar.
Selesai berdoa, Nirvana menaruh bunga yang dibawanya di dekat batu nisan Mama Izhar. "Tante Inge? Vana bawakan bunga kesukaan Tante. Cantik dan wangi sekali. Semoga Tante suka, karena Vana juga suka."
Memandangi senyum di wajah cantik Nirvana, Izhar jadi tertular senyumnya. Pria itu mencurahkan perasaannya seolah sang mama bisa mendengarnya. "Mama bahagia, kan? Izhar juga, Ma." Jeda sebentar, secara kebetulan Nirvana menatap ke arahnya. Insiden bertatapan pun tak dapat dihindari. Membuat Izhar semakin yakin untuk melanjutkan perkataannya. "Ada Vana di samping Izhar, Ma."
Untuk sesaat, Nirvana terdiam. Memikirkan kalimat apa yang tepat untuk menanggapi perkataan Izhar.
Sampai akhirnya Nirvana dengan yakin mengangguk. "Iya, Tante jangan khawatir. Vana akan selalu di samping Izhar. Vana, kan, Sahabat Izhar."
Sahabat?
Rasa nyeri seketika menjalari hati Izhar. Bukan ini yang Izhar harap. Tapi ini sudah sempat Izhar prediksi akan terlontar dari bibir Nirvana.
Jadi, Izhar tidak terlalu terkejut lagi..
Biar saja. Untuk saat ini, Izhar biarkan semua mengalir bagai air. Kalau memang jodoh, Nirvana akan menjadi miliknya. Izhar juga bersedia menunggu. Izhar tidak akan memaksa apalagi sampai membuat Nirvana tak nyaman. Itu akan semakin menyulitkan Izhar untuk mendapatkan hati Nirvana.
Di jalan pulang, suasana di dalam mobil benar-benar senyap. Tidak ada yang membuka perbincangan. Nirvana dan Izhar larut dalam pikirkan masing-masing.
Sayup-sayup hanya suara kendaraan padat merayap yang terdengar. Mengiringi perjalanan mereka berteman senja hari ini.
Seperti yang sudah Nirvana katakan, Nirvana akan membahas semuanya saat di jalan pulang. Maka inilah saat yang tepat. Nirvana pun enggan menunda-nunda. Ia ingin memperjelas semuanya sekarang juga!
"Zhar? Aku mau bicara serius sama kamu," buka Nirvana, menoleh ke samping dan disuguhi raut wajah Izhar yang tampak serius mengemudi.
Wajar saja, kondisi jalanan di depan sana sedang padat karena banyak orang yang baru pulang bekerja. Tapi itu tak membuat Nirvana mengurungkan niatnya untuk mengajak Izhar berbicara serius. Toh, Izhar pun mempersilahkan. "Bicara saja, Nirvana. Tidak ada yang melarangmu berbicara. Saya pikir, kamu sedang puasa berbicara. Maka dari itu saya memilih diam."
Nirvana memutar kedua bola matanya. Izhar masih bisa bersenda gurau saat hati Nirvana ketar-ketir karenanya. Benar-benar pria ini..
"Aku mau kita seperti dulu. Bersahabat," tegas Nirvana.
Setiap kata Nirvana barusan seperti peluru. Menembak dadá Izhar berulang kali. Akan tetapi belum sampai menewaśkan Izhar.
Dalam artian, tidak secepat ini Izhar menyerah. Baru juga berjuang.
"Iya, memangnya sekarang kita sedang bermusuhan? Kan, tidak? Kamu ini aneh, Nirvana.." Izhar berusaha menanggapinya dengan santai. Walau sebenarnya Izhar tahu betul apa maksud perkataan Nirvana barusan.
"Kamu yang aneh, Zhar. Kenapa kamu tiba-tiba kayak gini? Kemarin aku masih berpikir, Ohh..mungkin kamu sedang bercanda. Tapi sore ini enggak mungkin bercanda, kan?"
Yang benar saja bercanda di makam? Tidak ada lucu-lucunya! Kelewatan kalau yang tadi itu candaan. Nirvana tidak suka.
Untung saja Izhar membenarkan dengan mengklarifikasi, "Saya serius soal ucapan saya di makam tadi."
"Nah, itu!" seru Nirvana, bangga dengan pemikiran luar biasanya.
Memang otak Nirvana masih berfungsi dengan baik. Hanya hatinya saja yang kemungkinan besar akan mati karena cinta bertepuk sebelah tangan.
"Itu apa? Kamu bersedia?" tanya Izhar, kalem, tapi sukses membuat Nirvana kelabakan.
Sontak Nirvana pun menjujurkan segalanya. Mengenai hatinya yang tak mungkin bisa menerima Izhar. "Maaf, Zhar. Sejauh ini enggak ada yang berubah, aku tetap menganggap kamu sebagai sahabatku. Aku enggak bisa lebih dari itu. Jangan tunggu aku, ya.. Kamu harus mengejar bahagiamu."
"Itu di kamu, Nirvana."
"Tapi aku--"
"Jangan dipikirkan. Biar semua mengalir saja," potong Izhar tak ingin hal ini terus-menerus dibahas.
Sakit rasanya..
Sekian lama berpisah, ternyata hati Nirvana tetap bukan untuknya. Izhar sendiri baru menyadari perasaannya saat Nirvana pergi. Izhar kelabakan mencari-cari keberadaan Nirvana. Tapi tak pernah bisa menemukan Nirvana. Kini, harus berapa lama lagi Izhar menunggu Nirvana? Padahal..Nirvana sudah kembali.
"Mana bisa begitu? Aku enggak mau disangka kasih harapan ke kamu, Izhar. Jadi lebih baik aku jujur sekarang," ujar Nirvana begitu mengkhawatirkan perasaan Izhar.
Sebagai wanita, Nirvana tidak ingin memberi harapan palsu. Kenyataannya, Nirvana menyayangi Izhar sebagai seorang teman.
"Saya tidak merasa diberi harapan olehmu. Bahkan, responmu tadi langsung mengecewakan saya. Kamu terlalu jujur, Nirvana. Tapi tidak apa, saya malah suka."
Izhar berusaha menenangkan Nirvana. Agar kedepannya semua bisa mengalir begitu saja. Tidak ada yang perlu Nirvana khawatirkan. Termasuk hatinya, karena Izhar telah siap untuk patah berkali-kali. Ia terlanjur terpikat Nirvana.
"Terus? Apa rencana kamu kedepannya? Aku kenalin sama cewek lain mau?" tawar Nirvana yang sama tidak menggiurkan bagi Izhar. Yang ada, Izhar geram-gemas dibuatnya. Izhar ingin menguncir bibir Nirvana agar Nirvana tidak menawarkan hal seperti itu lagi kemudian hari.
"Tidak perlu. Saya sudah mempunyai rencana sendiri." Sambil tertawa kecil, antara gemas juga kesal, begitulah penolakan Izhar.
"Apa itu, Zhar? Bilang sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu. Asal jangan berharap sama aku. Hehe..peace." Nirvana tersenyum kikuk seraya mengangkat dua jarinya.
Meski ini sangat menyakiti hari Izhar, tapi Nirvana tetap memutuskan untuk berterus terang. Bukankah kenyataan itu harus diterima tak peduli seberapa pahitnya?
"Sayangnya laranganmu itu merupakan rencana saya."
Mendengar pernyataan Izhar barusan, Nirvana terdiam. Ia kehabisan kata sehingga memutuskan menunggu apa yang selanjutnya akan Izhar nyatakan.
"Iya, rencana saya kedepannya adalah berusaha membuatmu jatuh cinta pada saya. Dengan begitu, kita bisa menuju jenjang yang lebih serius. Bagaimana? Bisa membantu? Caranya mudah sekali, Nirvana. Cukup buka hatimu untuk saya. Maka saya akan berusaha mengajakmu bahagia bersama."
Mau pingsannnn! Pusing Nirvana memikirkan bagaimana lagi cara menolak Izhar!?
Ditolak, mundur--NO!
Ditolak, malah maju tak gentar--YES!
***