Kujatuhkan Harga Dirimu

1264 Words
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi. "Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati. "Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam. "Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—" "Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku. ** "Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku. "Beneran kamu mau beli peralatan bayi?" tanyanya memastikan. "Ya, beneran lah. Masa boongan." Aku menjawab dengan ketus, tapi dia sepertinya tetap bahagia. Kami berangkat dengan mengendarai mobilku. Aku sengaja mengajaknya ke sebuah toko di pusat perbelanjaan. Toko ini kukenal dengan barangnya yang branded dan harganya yang mahal. Setibanya di sana, aku langsung memilih baju-baju seenaknya. Barang-barang yang entah gunanya untuk apa pun kuambil. Sesuai dugaanku. Dia menahan tanganku saat aku hendak mengambil sebuah ayunan. "Lin, kita beli yang bener-bener perlu dulu. Baju-baju, kaus kaki dan sarung tangan. Kalau ayunan aku rasa tidak terlalu bermanfaat. Coba lihat, harganya juga berapa," bisiknya. Aku menoleh dan tersenyum miring. "Aku tau kalau kamu cowok kere. Tenang aja, aku dikasih kartu kredit sama Papa. Kamu gak perlu takut aku minta bayarin," cibirku. Dia menunduk lalu melepaskan tanganku. Sekilas aku bisa melihat dia menghela napas kasar. Sekali lagi, aku berhasil menjatuhkan harga dirinya. Sesuai niatku dulu menerima lamarannya. Membuat hidupnya seperti dalam neraka. Aku tersenyum sinis dan meninggalkannya ke meja kasir. Selesai berbelanja, aku mencium wangi ayam goreng yang tiba-tiba begitu menggoda. Padahal biasanya aku nggak doyan. Rimba dibantu seorang pelayan toko peralatan bayi tadi mengangkut barang-barang yang kubeli ke mobil. Sengaja aku tak mengajaknya makan. Biarkan saja dia kelaparan. Aku langsung masuk ke restoran siap saji itu sendiri, tanpa menunggu Rimba kembali. Saat Rimba kembali ke dalam, aku sudah mau selesai menghabiskan dua potong ayam dan sebungkus nasi. Semenjak kehamilanku semakin besar, nafsu makanku pun bertambah besar. Saat Rimba menyusulku masuk ke restoran, aku segera bangkit dan meninggalkannya yang hendak duduk di depanku. Seribu-kosong untuk kemenangan Aline Agatha. Nikmatilah setiap rasa sakit yang akan aku berikan padamu, lelaki sialan! *** Semakin hari perutku semakin membesar. Gerakanku semakin lambat dan sulit. Ah, seandainya saja dari awal kugugurkan anak ini pasti aku tidak akan repot seperti ini. Terlebih, sekarang aku menjadi gendut. Pakaianku yang bagus-bagus sudah gak bisa dipakai lagi. Huh, menyebalkan. Apalagi, anak ini gak bisa diem. Dikit-dikit grasak-grusuk. Sampai detik ini, walaupun beberapa kali sudah periksa ke dokter, tapi aku tidak tau jenis kelaminnya apa. Lagian, aku gak peduli. Setelah anak ini lahir, aku akan memberikannya pada Rimba, dan menyuruh mereka pergi dari hidupku selamanya. Rimba memang menginginkan anak ini, tapi aku? Oh, no! Mengandungnya saja aku enggan. "Sakit lagi, Lin?" tanyanya. Pertanyaan yang tak perlu jawaban menurutku. Sudah tau aku meringis dari tadi. Dia mendekat dan duduk di pinggiran ranjang. Tangannya terjulur ke perutku. Sebenernya aku ogah disentuh dia, tapi anak ini sepertinya hanya mau tenang jika sudah dielus bapaknya. Dia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke perutku. "Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku. "Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku. "Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar. Aku mendengkus. "Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan. "Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya." "Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring. "Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sama Papi. Tidak sepertiku, yang selalu membantah keinginan mereka. Apalagi ... ah sudahlah." "Kalau kamu bisa memberikanku seratus juta setiap bulan, baru kamu pantas bersanding denganku," ujarku menyindir. Kulihat dia tersenyum miris dan menghela napas kasar. "Kalau seandainya ada laki-laki kaya raya yang suka sama kamu, tapi sebenernya dia penipu, lalu aku ... yang hanya pengamen tapi halal, kamu mau pilih yang mana?" "Aku gak akan milih penipu. Aku sudah memilih seseorang yang baik dan mapan seperti Mas Rangga, tapi kamu malah hancurin semuanya," sindirku. Rimba kembali tersenyum miring. "Rimba!" panggilku. Lelaki itu menoleh. "Kenapa kamu melakukan hal itu? Kenapa kamu menghancurkan pernikahan kakakmu sendiri?" Dia terdiam sesaat. "Mmh ... aku suka sama kamu. Aku iri sama Kak Rangga yang bisa memiliki kamu." Aku mendengkus kesal. "Heh, hanya karena alasan itu, kamu membuat kami berpisah? Hanya karena itu kamu hancurkan hidupku? Kamu memang b******n tanpa perasaan!" Aku memukuli lengannya tanpa henti. Dia hanya diam tak melawan. Sebuah tendangan dari dalam perut membuatku meringis kesakitan. Sial! Anak.sama bapak selalu kompak bikin kesel. "Lho, Lin, kamu kenapa lagi?" tanyanya sambil memegangi pundakku. Aku meringkuk agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Namun, bayi ini malah semakin berontak. Ya ampuun ... sakitnya. Selain sering menendang, sekarang rasa gerah semakin menyiksa. Membuatku semakin membenci anak ini. "Aku benar-benar ingin kalian mati saja!" "Tenang, Lin. Baca doa. Apa mungkin sudah saatnya lahiran ya?" tanyanya khawatir. Entahlah, mungkin juga memang sudah waktunya anak ini lahir. Rasanya benar-benar sakit. Perutku seakan diremas-remas. Aku tidak bisa berpikir. "Kita ke rumah sakit aja, ya, Lin. Aku takut kamu kenapa-napa. Mana Papa dan Mama kamu lagi ga ada." Perutku semakin melilit. Aku pasrah saat Rimba membopongku ke mobil. Dengan kecepatan tinggi dia menjalankan mobil, bagai orang kesetanan. Aku meringis merasakan sakit yang semakin melilit di perut. "Diam kamu bayi sialan! Kenapa kamu gak bisa diem!" Aku menjerit-jerit, sementara Rimba semakin kencang menjalankan mobilnya. "Berdoa, Lin. Jangan mengumpat terus. Nanti sakitnya makin terasa kalau kamu marah-marah terus," ucapnya. "Ini semua gara-gara kamu!" teriakku padanya. Sesekali tangan kirinya mengelus perutku. Aku mengatur napas karena rasa melilitnya semakin terasa. Rasanya perjalanan ke rumah sakit ini terasa begitu lama. Mungkin karena aku ingin segera sampai di sana. Akhirnya mobil berbelok juga ke gerbang UGD. Setelah sampai di pintu UGD, Rimba langsung turun dan mungkin untuk meminta perawat membawakan brankar untukku. Benar saja, tak lama dia membuka pintu mobil dan membopongku ke brankar. Tempat tidur beroda itu didorong ke dalam sebuah ruangan. Seorang perawat menanyai Rimba. Lelaki itu bilang jika aku mungkin akan segera melahirkan. Perawat itu memeriksa kondisiku, lalu pergi beberapa saat dan kembali dengan seorang perawat lainnya mendekatiku. Rupanya wanita yang datang belakangan itu adalah bidan. Dia memeriksa tensi dan juga jalan lahir. "Iya, ini sudah ada pembukaan. Kita tunggu sampai bukaannya lengkap," ujar Bidan itu. Aku meminta perawat agar menyiapkan sebuah ruangan VIP untukku. Aku tidak ingin menunggu di ruangan senpit dan berbagi seperti ini. Sekali lagi Rimba menegurku, karena aku seenaknya memesan ruangan VIP. "Kamu gak usah takut. Papaku yang akan membayarkan tagihannya nanti," jawabku. Terlihat raut kecewa dari wajahnya. "Bukan begitu, Lin. Kamu itu sekarang tanggung jawabku, bukan lagi tanggung jawab papamu. Kamu harus mau menyesuaikan dengan kemampuanku," ujarnya pelan. "Kalau aku gak mau, gimana?" jawabku ketus diselingi rintihan. Lagi-lagi dia menghela napas kasar. Rasakan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD