Aku terbangun saat adzan subuh terdengar berkumandang.
Aku memakai baby doll sederhana, dengan atasan lengan pendek sebatas siku, dan celana dengan panjang selutut.
Rambutku yang panjang dikuncir kuda. Tidak ada riasan apapun yang menempel di wajahku, bahkan bedakpun tidak.
Aku salat subuh sendirian di dalam kamar ini. Setelah salat subuh, aku turun ke lantai bawah, dan mencari-cari dapur. Tidak lupa aku membawa notes, beserta pulpen di dalam saku baby dollku.
"Nyonya mau apa?" Tanya Bik Yunah yang kutemui di dasar tangga.
'Dapurnya mana, Bik?' Tanyaku dengan menulis pertanyaan di atas notesku.
"Di ... di sana, Nyonya" tunjuk bibik dengan jempolnya.
'Aku haus, Bik' tulisku lagi.
"Biar saya yang ambilkan, Nyonya ingin minum apa?"
'Biar saya ambil sendiri, Bik.' Aku kembali menulis di atas notes.
"Tidak, Nyonya, biarkan saya melayani Nyonya."
'Terima kasih, Bik.'
"Minumnya mau di antar ke kamar?"
'Biar saya bawa sendiri, Bik.'
"Oh ya baiklah."
Aku menunggu bibik mengambilkan minum dengan duduk di sofa ruang tengah. Setelah bibi datang, aku membawa teh hangat dalam gelas besar itu, naik ke lantai atas menuju kamarku. Namun saat berada di puncak tangga, aku menabrak seseorang, dan menumpahkan teh hangat itu ke tubuh orang yang aku tabrak.
"Awww! Eeh, kamu nggak punya mata ya, main tabrak sembarangan, lihat bajuku jadi basah, hiih mana panas lagi!" Pria itu mengibaskan telapak tangan untuk menepis percikan air di pakaiannya, lalu langsung berbalik kembali ke kamarnya, tanpa menatapku sedikitpun.
Aku langsung mengkerut melihat kemarahan yang diperlihatkan Raja tadi.
Aku bingung harus bagaimana, mataku jadi mulai berkaca-kaca.
Bibik yang sepertinya mendengar keributan, segera menghampiriku.
"Biar saya yang bersihkan, Nyonya. Nyonya tunggu di kamar saja, nanti saya antarkan teh yang baru," kata Bibik. Bibik sepertinya tidak tega melihat aku ketakutan. Aku hanya bisa menganggukkan kepala, lalu segera masuk kembali ke dalam kamar.
Apa aku ke luar dari mulut harimau, lalu tengah masuk ke mulut buaya. Di rumah kakek ada Om Robby, keponakan kakek yang seperti ingin menerkamku dengan mata, dan sikapnya yang sangat tidak sopan. Sedang di sini, aku harus menghadapi pria ini, yang seakan menganggapku tidak ada. Andai ayah masih ada, aku tidak akan merasa sakit seperti ini. Ayah, kenapa tidak mengajakku untuk ikut bersamamu, aku rindu ayah, sangat rindu.
Aku terisak kembali, padahal tadi malam aku sudah terlalu banyak menangis.
Hari ini apa yang harus aku kerjakan di sini? Apakah hanya berdiam diri saja seharian? Andai dusun kami tidak tertimpa musibah itu, kebahagiaanku tidak akan terenggut, dan hanya kebahagiaan yang aku rasakan, meski tidak hidup berlebihan, tapi kami juga tidak kekurangan apapun, hidupku berlimpah cinta dan kasih sayang, tapi di sini ... keadaan ibu sangat terguncang, karena peristiwa itu. Kadang ia bisa mengingat semuanya, di saat lain, ia akan lupa, dan bicara sendirian, tertawa sendirian, seakan kami masih berkumpul, dan tertawa bersama. Setelah kesadarannya kembali, ia akan menangis tanpa henti.
Kakek sudah memanggil ke rumah, seorang ahli jiwa yang bisa membantu Ibu, untuk melupakan kesedihannya, aku berharap Ibu bisa sembuh seperti sediakala.
"Nyonya!"
Suara ketukan, dan panggilan di luar pintu kamar membuatku menghapus air mata yang membasahi pipi.
"Nyonya, Tuan menunggu anda untuk sarapan," kata Bik Yunah dengan senyum di bibirnya.
Aku hanya mengangguk, dan mengikuti langkahnya, setelah menutup pintu kamar.
Di ruang makan, tampak pria bernama Raja itu duduk di kepala meja, koran di tangannya menutupi wajah, dan tubuhnya.
Aku duduk di sisi kanannya.
Hidangan sarapan berupa nasi goreng, dan telur dadar sudah tersedia di atas meja.
Mataku kembali terasa panas, aku teringat nasi goreng buatan ayah.
Ayah sangat pintar memasak, berbanding terbalik dengan ibuku, tapi aku sekarang tahu kenapa ibu tidak pintar memasak, karena ibu adalah putri tunggal dari konglomerat negeri ini. Putri manja, yang akhirnya takluk pada cinta seorang supir pribadi berasal dari desa.
Ibu rela meninggalkan kemewahan demi cintanya, tapi ayah memanglah sosok yang pantas untuk diperjuangkan. Ayahku adalah suami, dan ayah terbaik bagi istri, dan anak-anaknya.
Tanpa terasa air mata membasahi pipiku.
"Apa kamu ingin menemui ibumu?" Tanya Raja tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat.
"Apa kamu mempunyai rencana, untuk menuntaskan pendidikan SMA mu yang belum selesai, kamu bisa ikut sekolah Paket C kalau kamu mau? Atau ikut home schooling?" Tawar Raja, dan sekali lagi itu mengagetkanku, ternyata dia tidak sejahat yang aku kira.
Author POV
Raja menatap wajah Rani.
'Hhhh benar-benar gadis kampung, harusnya kakek mendandaninya, sebelum menikahkan dia dengan aku,' batin Raja.
Wajah Rani memang sangat imut, pipinya chubby, hidungnya mancung, bibirnya mungil, senyumnya manis. Tapi kulitnya tidak putih.
Tubuhnya juga tidak tinggi, hanya rambutnya yang panjang dengan warna hitam legam itu, yang menarik hati Raja.
'Menarik hati!? Oh no ... jangan memulai sesuatu, Raja. Jika kamu mulai untuk memujinya, memperhatikannya, maka pasti akan ada kelanjutannya. Awalnya kamu menyukai rambutnya, nanti akan berlanjut menyukai yang lainnya,' batin Raja mengingatkan dirinya sendiri.
"Setelah sarapan ganti bajumu, aku akan mengantar kamu ke rumah kakek untuk menemani Ibumu," kata Raja.
Rani hanya menjawab dengan anggukan kepalanya saja.
Setelah sarapan, Rani ingin membereskan bekas sarapan mereka, seperti yang biasa ia lakukan di rumahnya di kampung.
"Letakan itu, biar bibik yang membereskannya, kamu cepat naik ke atas, dan cepat ganti pakaia. Aku, dan kakekmu hari ini ada meeting penting, jadi cepatlah ganti pakaianmu!" Raja menatap Rani dengan tidak sabar.
Cepat Rani meletakan kembali ke atas meja, piring yang sudah ditumpuk di atas tangannya.
Rani berlari kecil menaiki anak tangga, ia tidak suka dengan nada bicara Raja yang terlalu keras. Apa lagi seperti nyaris berteriak di depannya.
'Aku memang tidak bisa bersuara, tapi aku masih bisa mendengar dengan baik,' batinnya.
Setelah mengganti pakaian, Rani bergegas turun dari lantai atas, dan menemui Raja yang menunggunya di ruang tamu.
Raja menatapnya dari ujung kepala, hingga ujung kaki.
"Kamu tidak punya pakaian yang lebih baik dari ini!?" seru Raja dengan tatapan mencemooh kepada Rani.
Rani menggelengkan kepala.
"Jadi selama dua bulan kamu tinggal di rumah kakek, beliau tidak membelikan apapun untukmu?" Tanya Raja tidak percaya.
Sekali lagi Rani menggelengkan kepala.
"Ya Tuhan ... kakekmu itu terlalu pelit, atau bagaimana sih, masa cucu satu-satunya dibiarkan berpakaian seudik ini!" Raja menunjuk dress motif bunga-bunga yang dikenakan Rani. Raja juga menatap tas kecil yang tergantung di bahu Rani.
'Bagimu ini mungkin murahan, tapi bagi kami baju seharga 70.000 itu sudah mahal.'
Ingin sekali Rani mengucapkan itu di depan wajah Raja, yang terlihat jelas menghina apa yang ia kenakan.
"Hhhh sudahlah, kamu diajak bicara tidak bisa menjawab juga," gumam Raja sambil mengibaskan tangannya.
Raja menghela napas, sebelum melangkah untuk ke luar rumah. Rani mengikuti langkah panjang Raja dengan berlari kecil. Mereka masuk ke dalam mobil, supir menjalankan mobil dengan kecepatan sedang saja.
Rani menatap ke luar jendela, melihat belantara ibukota yang mereka lewati untuk sampai ke rumah kakeknya.
*