BAB 6 : Triple Mom-Push

1087 Words
Tampilanku sudah sangat mirip dengan hari saat aku melamar pekerjaan. Seharusnya, Ayya sudah berbeda dengan Binar-nama samaran yang akan aku pakai nanti. Namun, aku selalu merasa kurang. Volume bulu mata aku tambah, tetapi aku masih merasakan aura Ayya dalam diri. Kontur dagu aku tambahkan agar tampak menonjol. Tetap saja. Aku membuka laci, mengubek-ubek isi make up dan skin care, sampai menemukan sebuah kotak kecil. Lensa kontak dengan beberapa pasang warna. Aku pilih warna abu-abu, agar berbanding terbalik dengan mataku yang hitam pekat. Seharusnya aku tidak bisa dikenali lagi. Aku memperbaiki letak bando di atas kepala, yang menutupi pita sebagai alat untuk melipat rambut sehingga terlihat pendek. Aku mengambil tas tangan yang baru aku beli secara online kemarin. Tidak ada lagi di tubuh ini yang menunjukkan sesuatu tentang Ayya. Seharusnya. Sembari keluar dari pekarangan rumah, aku menelpon Adi yang ternyata sudah stand by sejak 15 menit lalu di depan gerbang. Segera, kami menuju kantor karena ini sebenarnya agak telat sedikit. Kali ini, Adi menghentikan motornya di depan kantor, bukan lagi di bagian samping yang jauh dari perhatian orang-orang. Sekali lagi, sebelum benar-benar masuk dan kemungkinan bertemu Mas Aiden lagi, aku merapikan penampilan. Jangan gugup .... Setelah memastikan semuanya sudah rapi, aku memantapkan langkah masuk ke area kantor. Dari arah belakang, muncul seorang pria dalam balutan jas abu-abu dengan celana bahan warna senada. Mataku langsung memicing tajam meski melihat wajahnya secara langsung. Radar cemburuku memang setajam itu. Aku langsung mengenali si Zul pelakor ini hanya dari bentuk tubuhnya. Kedua tanganku mengepal kuat. Rasanya ingin langsung menabrak pria ini sampai terjungkal. Namun, mengingat aku masih butuh wawancara di sini agar diterima, keinginan tadi terpaksa ditahan dulu. Tunggu sampai aku benar-benar bekerja di sini. Mas Aiden tiba-tiba muncul dari dalam kantor. Aku membeku di tempat, agar tidak bersinggungan dengannya. Ia tidak melirik padaku sedikitpun, dan sibuk mengobrol dengan pria tua itu. Membahas beberapa laporan entah apa, lalu keduanya masuk dengan begitu akrabnya. Aku bahkan tidak pernah diperlakukan sedekat itu. Kemudian, teringat lagi ucapan Mas Aiden di rumah orang tuaku kemarin. Semua sikap baiknya itu tergantung dari caraku memperlakukan Mas Aiden. Karena, semua yang dia lakukan hanya sebagai bentuk balas budi. Bodohnya aku, meski sudah dianggap seperti orang asing, tetap saja berusaha untuk orang itu. Mau bagaimana lagi? Aku memang secinta itu pada pria abnormal seperti Mas Aiden. *** Aku pikir, akan bergabung di bagian keuangan karena Mas Aiden adalah direktur keuangan di sini, dan aku belajar beberapa hal dari dokumen-dokumennya saat merapikan meja kerja. Namun, aku malah ditempatkan di divisi personalia. Tidak masalah, yang penting bisa menjauhkan Mas Aiden dari pria tua itu. Karena aku tidak suka menunggu, saat ditanya kesiapan kerja, aku langsung jawab besok. Untuk masalah gaji, rata-rata saja seperti karyawan lain. Toh, tujuan utama di sini bukan cari uang. Semua sesi wawancara selesai hampir bersamaan dengan waktu istirahat. Aku memilih berjalan-jalan di sekitaran sambil mengamati Mas Aiden dan pria tuanya itu. Aku mendengkus kesal, bahkan hanya mengingat pria tua itu. Ah, apa dia tidak bisa mencari istri saja dan tidak mengganggu suamiku? Pertanyaan penting sekarang, apa jabatannya di sini sehingga setiap saat ia selalu mengikuti Mas Aiden. Apa? Di ambang pintu kantor, aku menoleh ke belakang saat mendengar riuh menghampiri. Sedikit bergeser ke kiri saat rombongan Mas Aiden datang, termasuk si Zul itu. Kebetulan sekali, si Zul itu akan lewat tepat di sampingku. Aku mengambil ancang-ancang di tempat. Kaki kananku siap terbentang untuk menggaet kaki si tua itu. Untuk menyembunyikan ekspresi jahilku, pandangan aku luruskan ke depan. Semakin dekat. Sentakan-sentakan sepatu itu kian mendekat. Dan ... Hap! Aku langsung membentang kaki ke samping. Namun, si Zul itu melewatiku tanpa masalah, tetapi ... bugh! Kakiku sakit karena digaet kaki seorang wanita lain, yang kemudian terdorong ke depan, mengenai Mas Aiden sehingga suamiku itu akan jatuh ke tangga. Aku baru akan menarik jasnya, tetapi Mas Aiden lebih cepat ditahan lengannya oleh si Zul itu. Ah s**t! Drama apa ini? Saat mereka bertatapan kurang sedetik, amarahku rasanya mengumpul semua, siap meledakkan pria genit itu! "Berani sekali kamu ...." Melupakan amarah sejenak, karena ada yang lebih meledak sekarang. Wanita bergincu merah tebal itu menatapku sengit. Aku kelabakan. Mau memberi alasan 'jangan salahkan aku, si Zul ini yang menghindar, jadi kenanya ke Mbak' tapi mana berani. Bisa-bisa, giliran Mas Aiden yang menyemprotku. "M-maaf, Bu. Saya tidak sengaja," ucapku pelan dengan kepala sedikit tertunduk. Kemudian, melirik sekilas pada Mas Aiden, niatnya, tetapi malah tatapan tidak percaya si Zul yang aku dapat. Aku balas tajam. "Satpam!" Mampus. Amarah wanita itu belum kelar. Dia lanjut memanggil satpam yang kurang 1 menit langsung tiba. "Siapa perempuan ini?" tanya wanita itu. "Maaf, Bu. Dia ini karyawati baru di sini." "Karyawati baru?" Wanita yang setinggi tubuhku itu langsung mendekat. "Karyawati baru, dan kamu sudah berani dengan saya? Kamu tahu saya siapa?" Siapa? Mau aku tanya begitu, tapi pastinya tidak sopan. Aku melirik sekilas pada Mas Aiden yang hanya diam. "Saya direktur utama di sini, dan kamu dengan beraninya menghalangi jalan saya! Kamu mau saya pecat, hah?!" Teriakannya naik 3 oktaf, dan aku langsung merinding. Ya mana aku tahu, posisinya berjalan saja di bagia tengah. Biasanya kan, yang punya posisi tinggi di depan. Jadi, aku hanya punya satu karma di sini: dikeluarkan tanpa bekerja. "Maaf, Bu, tapi kita bisa telat jika mengurus wanita ini. Lebih baik, kita berangkat sekarang. Biarkan nanti, pihak HRD yang urus masalahnya di sini." Seandainya ... seandainya bukan si Zul yang memberi pembelaan, aku akan berterimakasih tujuh turunan padanya. Tapi, sial, kenapa harus dia? Kenapa Mas Aiden diam saja? Kenapa dia tidak membelaku? Ah, aku sebagai Binar di sini, bukan Ayya. "Beritahu pada bagian HRD, untuk memecat wanita ini!" titah wanita itu pada satpam tadi. Aku tidak punya kesempatan lagi. Hanya bisa menunduk dalam sampai semua rombongan itu melaluiku. Lalu perlahan menengadah. Menyadari bahwa Mas Aiden masih belum beranjak. Mampus (2) apa dia mengenaliku? Kepala semakin aku tundukkan lebih dalam ketika dia semakin mendekat. Seharusnya, dia tidak punya celah untuk mengenaliku. Aku sungguh berbeda 180° dengan Ayya. "Maaf, kalau saya buat kamu takut." Begitu yang diucapkan Mas Aiden. Amat ramah, seperti biasanya. "Saya salah fokus sama aroma parfum kamu. Mirip istri saya." Saat aku menengadah, ia tersenyum tipis sebelum menghampiri si Zul yang sudah membukakan pintu. Setelah empat mobil tadi sudah lenyap dari parkiran, aku langsung menghirup ketiak. Eh iya ding. Aku lupa ganti parfum. Mana ini parfum, Mas Aiden yang beli. Pastinya dia tahu. Sekarang, aku bingung harus pulang bagaimana tanpa ditanya Mas Aiden mengenai masalah parfum ini. Aku berjongkok sambil meringis. Sudah dimarahi. Dipecat sebelum bekerja. Dan, dikenali Mas Aiden. Mampus (3). ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD