BAB 3 : Penguntit Gatot

2086 Words
Setelah merapikan rumah sebentar, aku langsung ke walk in closet untuk mengganti baju. Tidak ingin ketinggalan satu pun kegiatan Mas Aiden, aku secara asal memilih sweater rajut kunyit, dan celana jeans hitam. Tak lupa mengenakan sneaker shoes hitam. Aku hendak keluar, tetapi setelah melirik cermin, niat tersebut batal. Aku akan mudah dikenali jika hanya seperti ini. Mengambil pita, aku melipat rambutku ke dalam agar terlihat lebih pendek. Lalu memakai kacamata. Uh, setidaknya aku sedikit berbeda sekarang. Tapi, tetap kentara sekali wajahku. Aku mencoba memakai make up tipis. Eh, wajahku semakin jelas. Segera saja aku menghapus make up dengan micellar water, dan uh, aku melihat zombie di cermin. Aku sedikit berbeda dengan ini. Shadow cokelat aku tambahkan di bawah mata. Aku semakin terlihat tua. Pinggiran bibir aku berikan warna gelap, dan bagian dalamnya kuberi warna merah. Bibir pucatku sudah berubah. Uh, aku tidak lagi mengenali bayangan sendiri. Saatnya menjadi detektif! Aku harus mencari tahu permasalahan Mas Aiden, lalu menanyakannya pada dokter. Itu jalan terbaik. Kami sudah hampir setahun bersama, tapi masih seperti itu-itu saja. Bodohnya aku, baru sekarang kepikiran melakukan hal ini. Setelah benar-benar siap, aku langsung keluar rumah dan mengunci pintu. Baru ke garasi untuk mengambil sepeda motor. Tapi, kalau aku naik sepeda motor, terlalu kentara aku mengikuti Mas Aiden. Maka, aku ke pergi ke pengkolan ojek. Menyewa salah satu dari mereka seharian ini dengan empat lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Penyelidikan dimulai! *** Saat sampai di kantor Mas Aiden, masih aku dapati punggung pria itu memasuki gedung 7 lantai itu. Ia menyapa beberapa orang dengan ramah, lalu masuk. Aku turun dan meminta si tukang ojek menunggu. Namun, baru di depan pintu, satpam menghalangi jalanku. Meminta alasan untuk masuk. Aku menggigit ujung kuku, karena tidak tahu alasan apa yang bisa aku berikan. “Silakan pulang, Mbak, kalau tidak punya alasan untuk masuk. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam.” Pria seusia Mas Aiden itu memasang badan tegapnya tepat di depan pintu. Aku mendengkus. Aku dan si tukang ojek mencari tempat berteduh untuk melihat Mas Aiden dari jauh. Tapi, sejak pria itu masuk, dia tidak pernah terlihat lagi. Sampai berjam-jam lamanya. Aku yang tidak sempat sarapan, mulai merasa lapar saat matahari sudah berada di atas kepala. “Dek, beliin saya roti dong, di warung.” Selembar uang seratus ribu aku berikan. “Roti 10, air mineral 2.” “Iya, Mbak.” Pria yang usianya lebih muda dariku itu langsung melesat pergi. Aku mengipas diri sendiri dengan tangan saat panasnya benar-benar tidak tertahankan. Bahkan, sampai si tukang ojek datang lagi, Mas Aiden belum keluar. Menyebalkan! “Nama kamu siapa?” tanyaku. Masa iya, sepanjang cerita nyebut si tukang ojek terus. “Adi, Mbak.” “Oh, Adi. Ini bantu aku makan, ya. Air mineralnya nih.” Aku menyodorkan roti juga di depannya. Juga air. “Mbak liatin siapa sih, sampai segitunya?” tanya Adi. “Ada deh.” “Kerjanya di dalam jadi apa, Mbak? Kalau orang kantoran mah, kemungkinan nggak bakalan keluar sampai jam istirahat.” Aku berhenti mengunyah. “Eh iya, ya?” Adi mengangguk-angguk. “Go*block!” “Siapa, Mbak?” tanya Adi cepat. “Aku,” jawabku malas. Jadilah, kami harus menunggu satu jam lagi, sampai akhirnya Mas Aiden keluar dari kantor. Tampak biasa saja. Aku langsung berpikir, bahwa usahaku setengah harian ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Namun, saat melihat pria lain menghampiri Mas Aiden, aku semakin fokus pada mereka. Percaya, cemburu sama perempuan lain mah biasa. Cemburu sama cowok kayak gini, rasanya nano-nano banget. Aku coba berpikir positif. Itu mungkin klien Mas Aiden. Tapi, mereka terlalu santai sebagai kerabat kerja. Apalagi, mereka masuk mobil Mas Aiden berdua. “Ikutin mobil itu!” pintaku pada Adi setelah mobil Mas Aiden lewat. Adi dengan sigap mengikuti perintahku. Untungnya, kami pakai helm, jadi tidak perlu khawatir lagi mereka tahu. Mereka berhenti di sebuah restoran Jepang, yang agak jauh dari kantor. Padahal, sebelum tempat ini, tadi ada dua restoran lagi yang bertema masakan Jepang. Mas Aiden santai banget sama pria itu. Bahkan, ketawa-tawa lebar. Sesekali, memukul lengan pria itu dengan tinju, yang ringan pastinya. Mereka ... sangat akrab. Keduanya memilih tempat di pojokan, yang jauh dari ramai. Sibuk mengobrol entah apa. Aku juga memilih meja yang lumayan jauh dari mereka, tetapi tetap bisa memperhatikan keduanya. Selama mereka makan, mereka bertindak normal. Tidak ada yang seperti dalam pikiranku—mereka akan saling bergelayut manja seperti orang pacaran pada umumnya. Aku mendesah kecewa. Eh, atau seharusnya lega? Karena itu artinya, peluang Mas Aiden belok jadi minim. Aku menurunkan kacamata demi melihat seksama Mas Aiden yang mengobrol dengan pria berjas itu. Ah, tidak ada yang aneh. Mungkin dia benar-benar klien penting Mas Aiden. Tapi, tunggu! Frekuensi Mas Aiden tersenyum lebih sering dengan pria itu daripada denganku. Apa ... benar mereka itu anu? Ah tidak mungkin. Kalau Mas Aiden g*y, kenapa harus dengan pria setua itu? Di mana-mana lebih menarik diriku. Aku mendengkus kasar. “Mbak kenapa sih, liatin mereka terus? Ada yang Mbak kenal?” tanya Adi. “Tugas kamu cuman perlu anter aku ke mana-mana!” ucapku. “Kalau misi hari ini gagal, kamu harus jadi tukang ojek pribadi aku hari selanjutnya.” “Ah, beneran, Mbak? Semoga misinya gagal terus, ya?” Aku meliriknya tajam. Dia langsung menutup mulut. Setelah makan siang, mereka kembali ke kantor. Bukti bahwa mereka punya hubungan spesial masih terlalu minim, hanya sebatas terlalu akrab. Aku tidak bisa mencetuskan begitu saja, lalu menghubungi dokter. Aku masih terus mengawasi mereka sampai tiba kantor. Uh, ini tidak akan bekerja baik, karena hanya mengawasi mereka dari luar. Aku perlu menyusup ke dalam. Sampai sore tiba. Mas Aiden sudah ingin pulang. Kali ini juga, pria yang begitu akrab dengannya itu ikut juga. Aish! Mereka kenapa kelebihan akrab begitu? Aku terus mengikuti sampai Mas Aiden berhenti di depan sebuah rumah minimalis berwarna biru. Pria itu keluar dan mengucapkan terimakasih. Mereka sudah sangat mencurigakan! Mas Aiden sudah akan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, aku baru ingat tidak menyiapkan apa pun. “Adi, ngebut!” pintaku. Adi langsung melajukan kecepatan motornya. Sampai di rumah, aku langsung buru-buru memasak, sambil merapikan penampilan wajah dan rambut secara asal, menyiapkan air hangat, lalu membersihkan rumah secepat kilat. Saat Mas Aiden tiba, aku tengah menyapu di depan saat itu. “Assalamualaikum!” sapa Mas Aiden. Dahinya sedikit berkerut saat melihatku. “Wa alaikumussalam.” Aku kalap. Masakan belum matang. Mampus! Segera, aku meraih tangan Mas Aiden untuk Salim, mengambil tas kerja dan jasnya. “Aku udah siapin air hangat, Mas.” Aku memberitahu. “Mau aku buatkan kopi?” “Iya.” Aku terus mengekor sampai di kamar. Selagi Mas Aiden mandi, aku buru-buru mempersiapkan pakaiannya, lalu segera menyapu kamar. Ini tadi kelupaan. Mas Aiden kayaknya kecepatan mandi. Aku baru selesai sapu, dia sudah keluar. “Eh, kopinya kelupaan. Bentar, ya, Mas.” Aku segera membawa sapu ke dapur. Gelas, kopi, dan gula aku persiapkan. Namun, saat menyalakan kompor. Zonk! Tidak mau hidup! Pas aku cek masakan, belum masak. Astaga, cobaan hidup! Kenapa gasnya malah habis sekarang, sih? Aku menyugar rambut frustrasi. Mana gerah banget. Aku semakin tambah stres. Mas Aiden pasti lapar sekarang. “Kenapa, Ay?” Kan ...! Aku langsung menoleh ke Mas Aiden yang sudah di ambang pintu dapur. Astaga, aku bingung harus memberi alasan apa. Bahkan, untuk berbohong sekalipun, otakku benar-benar blank. Hanya bisa terdiam saat Mas Aiden melewatiku, mengecek kompor. “M-maaf, Mas. Tadi, aku kelupaan ngecek.” Sumpah, ini aku takut beneran kalau Mas Aiden jadi kecewa. “A-aku beliin makanan di luar, ya? 5 menit doang.” Tanpa menunggu persetujuan, aku langsung ingin kabur. Tetapi tangan dicekal, membuatku terpental dan kembali berdiri di depan Mas Aiden. “Tidak perlu.” Dia diam beberapa saat. Oh Tuhan, aku kapok curigai suami kalau begini ending-nya. “Kita makan di luar,” lanjut Mas Aiden kemudian. Ah, aku secara refleks tersenyum, lalu mengangguk. “Ayo!” “Kamu tidak mandi, Ayya? Keringetan begitu?” Aku langsung menghirup aroma tubuh. Aish! “T-tunggu bentar, Mas. Lima menitan aja.” Aku mau kabur lagi, sumpah, malu banget. “Tidak perlu buru-buru. Saya bisa tunggu, kalau misalnya kamu mau dandan dikit, maybe? Perempuan kebanyakan seperti itu?” Oh Tuhan, tolong pastikan pria ini normal, tidak belok. Demi apa pun, Tuhan, aku tidak bisa ikhlas kalau pria perhatian nan sopan juga baik hati dan tidak sombong ini menjadi belok. Aku mengangguk pelan. Dia melepaskan tanganku, dan segera saja aku meninggalkan dapur. *** 20 menit berlalu. Aku tidak bisa menghabiskan waktu lebih banyak untuk dandan lebih cantik. Cukup bedak tabur, eye liner tipis, dan lip tint agar terlihat segar. Dengan tunik navy serta celana jeans biru, aku sudah siap. Tambahan flat shoes, agar simpel, tapi tidak malu-maluin saat jalan sama Mas Aiden. Uh, ini pertama kalinya kami makan di luar berdua. Awal pernikahan pernah memang, tapi itu dengan keluarga besar. Dan sekarang, hanya kami berdua. Tanpa orang lain. Mm ... ini nge-date kan namanya? Aku tidak perlu blush-on sekarang, karena sikap Mas Aiden selalu bisa membuat pipiku memerah. Setelah siap, aku menghampiri Mas Aiden yang duduk di sofa. Pria itu tampak sibuk dengan gawainya dan selalu tersenyum. Apa yang istimewa di sana? Apa ada chat spesial di ponsel itu? Aku lagi-lagi cemburu. “Mas!” panggilku. Mas Aiden menoleh cepat, dan membagi senyum padaku. Ponselnya dimasukkan ke dalam saku celana training, kemudian berdiri menungguku. “Kamu cantik.” Aku yang terkejut atas pujian yang terdengar sedetik itu, langsung menoleh ke arah Mas Aiden. Ia bersikap santai, sementara jantungku di dalam d**a sedang jumpalitan, loncat-loncat, salto, nge-DJ dan lain-lain. Pipiku memanas. “Sementara saya biasa saja, Ayya. Kamu tidak malu jalan sama saya?” lanjut Mas Aiden. “M ... Gimana, ya, Mas? Muka Mas itu, muka-muka mahal gitu loh. Mau pakai baju apa pun, kesannya tetap wah gitu. Beda sama aku. Kalau pakai biasa aja, terus jalan sama Mas, ntar aku disangkanya pembantunya Mas.” Niatku melucu untuk menormalkan perasaan, walaupun ya memang benar type wajah Mas Aiden itu mahal banget. Putih bersih, manis. Aku aja iri sebenarnya, tapi terima nasib aja sih. Dia tertawa ringan. Lalu berjalan lebih dulu keluar rumah untuk membukakan pintu. Setelah aku keluar, dia mau repot-repot nutup pintu—yang padahal harusnya itu tugasku karena terakhir keluar. Percaya, aku baper sama hal sekecil ini. Mas Aiden mengeluarkan mobil dari garasi. Setelah aku masuk, mobil langsung dijalankan. “Uang bulanan yang saya kasih, sudah habis?” tanya Mas Aiden. “Ah? Enggak, Mas. Masih ada kok,” jawabku gugup, karena yakin Mas Aiden masih kepikiran masalah gas habis tadi. “Kamu tidak perlu sungkan sama saya, Ayya. Tugas saya memang menafkahi kamu. Kalau butuh apa-apa, apalagi ini untuk keperluan kita juga, kamu bisa langsung bilang sama saya.” Aku semakin tidak enak. “Ini.” Dia menyodorkan sebuah kartu kredit. “Kamu bisa pakai sesuka kamu.” “N-nggak perlu, Mas. Seriusan, masalah gas tadi itu karena kurang perhatian aku. Uangnya masih ada.” “Ya, tidak masalah. Kamu tetap ambil ini. Kamu pasti juga punya keperluan kan? Seingat saya, kamu jarang, bahkan saya tidak pernah lihat kamu belanja sesuatu untuk keperluan pribadi kamu.” Jarang sih, iya. Tapi, “Sering kok, Mas,” jawabku. “Kalau begitu, seringin lagi ya.” Dia tetap memaksaku menerima kartu itu. Dengan segan, aku menerimanya. Bagaimana ya. Uang bulanan 4 juta, belum termasuk beras, karena Mas Aiden yang biasa beli setiap bulan. Lalu ditambah kartu kredit seperti ini. Rasanya, buang-buang aja gitu. Melihat bagaimana baiknya Mas Aiden, aku jadi segan. Aku jujur saja, ya? “Mas, aku beneran minta maaf, ya, soal tadi. Aku tadi keluar sampai sore buat—” “Tidak masalah, Ayya. Kamu santai saja sama saya. Lagipula, kamu jarang keluar rumah. Saya malah seneng kalau kamu mau keluar jalan-jalan atau ke mall, atau ke manapun yang kamu mau.” Dia tersenyum hangat saat menoleh sebentar padaku. Dari caranya yang memotong ucapanku yang akan jujur, seakan Tuhan mendukung agar aku melanjutkan penyelidikan ini. Ini demi kebaikan Mas Aiden. Kalau aku tahu masalahnya, aku bisa konsultasi ke dokter atau siapapun yang paham dengan masalahnya. Dan kami bisa menjadi pasangan bahagia dunia-akhirat. “Oh ya, omong-omong masalah keluar. Tadi siang kamu ke restoran Jepang di perempatan dekat SMA Negeri itu, tidak?” Aku melotot mendengar sambungan pertanyaan dari Mas Aiden. Dia tahu aku tadi mengikutinya ke restoran? “Soalnya, pemanpilan kamu agak mirip tadi sama perempuan di restoran itu.” Dia lalu mengusap wajahnya. “Ah, maaf, Ayya. Seharusnya saya tidak cerita tentang perempuan lain ke kamu. Saya kiranya itu kamu, tapi sepertinya bukan, ya?” Aku hanya bisa menggeleng pelan. Mam-pus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD