Roda Nasib

1141 Words
"Makasih, mas." Citra duduk di sebelah Dimas, sambil memegang kaleng minuman dingin yang diberikan oleh pria itu secara cuma-cuma. "Santai, eh ngomong-ngomong kamu kenapa Cit kok sampe mojok sendirian gitu? Lagi ada masalah?" Citra sedikit terenyuh, dari sekian orang, hanya Dimas yang mau menanyakan keadaannya. Senyum gadis itu muncul dengan lembut. "Nggak pa-pa, lagi banyak masalah aja saya." Wajah Dimas agak memerah melihat kecantikan Citra. Tidak dipungkiri lagi jika pria itu menaruh rasa pada gadis berusia 24 tahun tersebut. Dimas menggaruk bagian belakang kepalanya. "Um ... kamu malam ini ada waktu gak? Mau jalan-jalan?" Citra melebarkan matanya, apa Dimas sedang mengajaknya kencan? "Ta-tapi kalau kamu lagi sibuk atau sedang banyak urusan tidak usah menyanggupinya, Cit. Aku bisa kok kapan-kapan aja." Dimas melanjutkan ucapannya lagi, takut terdengar seperti orang kurang ajar. Citra tersenyum lagi, dia menghargai sikap Dimas yang sopan tersebut. Namun di dalam hatinya masih terbersit rasa untuk Raka, dan juga, nanti malam dia harus mengikuti kemauan bos menyebalkannya itu. "Maaf ya mas, lain kali aja." Citra menolaknya langsung, namun dengan nada halus agar tidak menimbulkan sakit hati. Dimas bukannya merasa sakit hati justru semakin berbunga-bunga saat mendengar suara Citra yang seperti nyanyian putri duyung tersebut, indah dan mendayu lembut. "Ah ... iya ..." dia menunduk, berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Citra memandang pria itu dengan tatapan kosong, ia kembali melamun. Kalau saja aku bertemu dengan mas Dimas terlebih dahulu daripada mas Raka, apa mungkin kehidupanku akan berbeda ya? "Cit?" Suara Dimas menyadarkannya kembali dan membuatnya langsung mengerjap. "Ya?" "Kau tidak apa-apa? Kau melamun lagi tadi," dia nampak khawatir. Citra melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul 17.00! Waktunya untuk jam pulang kantor! "Gak pa-pa mas, aku mau pulang dulu ya." Citra berdiri dan hendak berjalan pergi, namun langkahnya terhenti dan berbalik. "Makasih minumannya juga." Setelah itu, barulah dirinya berjalan lebih cepat menuju ruangannya untuk mengambil tas miliknya. Dimas yang ditinggalkan sendirian di sana hanya duduk sambil tersenyum kecil sendirian, seperti anak muda yang baru merasakan apa itu cinta. * "Kau lambat." Bryan sudah berdiri di depan lamborghini putihnya dengan bersedekap di depan d**a dan bersandar di pintu mobil. Citra yang sudah ngos-ngosan karena ngebut turun melalui tangga darurat dari lantai 8 sangat kelelahan dan ingin pingsan. "Mha ... af ... shayha tha ... di ... hiiik!" "Atur napasmu, kau bicara seperti kambing yang baru belajar mengembik." Bryan mengerutkan alisnya tajam. Citra megap-megap mencari oksigen untuk mengisi penuh paru-parunya kembali. "Hosh ... hosh ... sudhah pak," tutur Citra sambil menegakan tubuhnya kembali. Dia merasa seperti di ambang kematian tadi. Bryan mengangguk dan menunjuk ke arah mobilnya, "Masuklah." "Hah ... apa?" Citra tidak memahami maksud ucapan bosnya tersebut. "Aku tidak mengulangi perintahku dua kali. Masuk atau kau dipecat." segera setelah mendengar ancaman tersebut, Citra langsung berdiri tegap. "Siap, pak!" dan dirinya langsung masuk ke dalam mobil, di kursi penumpang. Di kursi depan ada Bryan dan juga Rey yang menyetir. Mobil dinyalakan, dan lamborghini putih itu melaju mulus di jalanan. Selama perjalanan, Citra tidak bicara apapun dan hanya mengamati desain interior mobil yang sangat mewah ini. "Wah, kalo dijual laku berapa ya ..." gumamnya tanpa sadar. "Kau ingin menjual mobilku?" ucap Bryan tiba-tiba, mendengar gumaman Citra barusan. Citra menutup mulutnya langsung, terkejut karena ternyata pria di depannya ini memiliki pendengaran yang sangat mengerikan. "Ma-maaf pak, cuma keceplosan." Citra menutup mulutnya terus, takut ada kata-kata kurangajar dan kampungan lainnya yang akan keluar dari sana. Rey menoleh ke arah Bryan dan memberinya kode untuk segera memberitahu Citra apa yang harus ia lakukan nanti. Bryan mengalihkan pandangannya, merasa malas untuk menjelaskan. Namun, dia akan tetap mengatakannya. "Hei, kau. Malam ini, kau akan berpura-pura jadi pacarku." tutur Bryan dengan singkat, jelas dan padat. Citra membelalak kaget. "Ha-HAHHHHHH?!" teriakan Citra menggema di dalam mobil dan membuat Rey sedikit kehilangan keseimbangannya. "Badanmu sangat kecil tapi kenapa suaramu seperti hendak menghancurkan satu kelurahan?" sarkas Bryan sambil menutup telinganya, Citra menutup mulutnya lagi. "Ya lagian, pak bos bercandanya aneh. Masa saya disuruh jadi pacar pura-puranya pak bos." Citra tertawa hambar, itu sangat tidak mungkin kan? "Memang. Kau akan berakting seperti itu malam ini." jelas Bryan lagi. Citra terkejut bukan main, "Ta-tapi kenapa saya?" "Soalnya hanya kamu yang sedang bisa kuancam saat ini." Bryan mengatakannya dengan enteng. Rey menghela napas berat setelah mendengar penuturan Bryan yang seolah tidak berdosa tersebut, sementara Citra ingin meloncat dari mobil sekarang juga. "Kalau saya tidak mau bagaimana? Saya masih punya pacar, tidak mungkin berpura-pura menjadi pacar orang lain." Citra mengangkat penawarannya. Bryan melirik dari spion dalam mobil. "Relakan saja posisimu." Glek. Citra meneguk ludahnya kasar, ancaman yang sangat kejam dan mampu memutar roda kehidupannya 180 derajat. Jika begini caranya, dia sudah tidak bisa menolak. "Lagipula, pria yang kau panggil sebagai pacar itu adalah yang kemarin mendorongmu sebanyak dua kali itu?" sindir Bryan, dengan salah satu bibir terangkat ke atas. Dia tipe pria pendendam rupanya. Rey memilih diam dan tidak ikut dalam pembicaraan antara bos dan juga karyawan yang berada di ambang pekerjaannya itu. Citra mendengus kesal, "Kau tidak tahu apa-apa tentangnya!" "Ya, ya, aku tidak tahu apa-apa tentang pria berengsek itu. Aku hanya tahu bahwa dia menghamili anak orang dan mencampakan pasangannya dengan sebegitu mudahnya. Hm, menarik." Bryan mengusap dagunya sambil berlagak seperti seorang detektif. Wajah Citra semakin memerah, dia kesal. "Sudah kubilang jangan berspekulasi apapun!" "Kenapa?" tanya Bryan langsung. Citra yang tadinya memasang raut wajah kesal langsung melebarkan mata. "Hah?" Bryan mendecak kesal, gadis itu selalu saja menguji kesabarannya. "Kenapa kau masih sangat begitu membelanya padahal kau tahu bahwa dia sudah mengkhianatimu?" "Karena aku mencintainya." "Pfft." Bryan tertawa mendengar jawaban yang dangkal seperti itu. Cinta? Hal abstrak paling omong-kosong yang pernah Bryan dengar. "Hei, kenapa tertawa?" tanya Citra kesal, dia bahkan sudah lupa jika pria di depannya ini adalah bosnya sendiri. "Tidak apa-apa, hanya merasa geli ketika kau mau bertindak bodoh dan menjijikan hanya berdasarkan cinta." Bryan tertawa sinis. Citra marah, namun kemarahannya mengundang senyuman sinis di wajahnya, "Apa kau belum pernah merasakannya? Kasihan sekali. Aku doakan kau akan menemukan seseorang yang sangat kau cintai sehingga kau akan tahu bagaimana rasanya bersikap menggelikan seperti yang kau katakan barusan." Bryan menoleh ke belakang, menunjukan wajah kharismatiknya sekali lagi. "Apa kau baru saja menantangku?" Citra menaikan sebelah alisnya, "Entahlah. Mungkin?" Bryan yang menatap ekspresi baru di wajah Citra itu hanya tersenyum sinis sebelum akhirnya kembali duduk menghadap ke depan. "Kita ke butik terbaik di kota ini, percepat laju mobil ini," perintah Bryan pada Rey. Citra menghela napasnya yang berat, Itu tadi sangat mendebarkan, darimana dirinya mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi barusan? "Bodoamat lah, yang penting gak dipecat." dia bergumam lirih sambil menatap ke arah jalanan, yang ia tahu, ia hanya perlu berpura-pura manis dan manja di sekitar bosnya itu hanya untuk malam ini. Pekerjaan yang mudah. Kau pasti bisa, Citra! *** A/N : Jangan lupa tekan tombol love dan tinggalkan jejak komentar ya^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD