"Assalamualaikum," Citra membuka pintu kontrakannya, masuk dan melepas sepatu kerjanya yang sudah nampak usang dan kotor. Satu-persatu saklar lampu ia nyalakan, membuat ruangan yang tadinya gelap gulita menjadi terang meski lampunya hampir habis daya hidupnya.
Citra tinggal sendirian di kontrakan ini, karena dia merantau ke kota dan meninggalkan ayah-ibunya di desa bersama adik perempuannya, Putri, yang masih duduk di jenjang SMP.
"Huft," Citra menghela napas saat melihat isi kulkasnya yang kosong, dia lupa untuk belanja bulanan dan masa gajian masih lama. Derita anak perantauan, semuanya harus ditanggung sendiri.
"Nanti beli mie instan aja deh di Alpamart." Citra menutup kulkasnya lagi dan mengambil segelas air untuk menenangkan perutnya yang sudah keroncongan minta diisi. Setelah itu, dia pergi ke kamarnya dan melepas satu-persatu bajunya dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Lima belas menit kemudian, Citra keluar dengan rambut basah dan wajahnya yang terlihat sedikit lebih hidup. Citra naik ke ranjangnya dan mengambil ponsel miliknya. Ada banyak panggilan tak terjawab yang tertera di sana.
Tanpa tunggu lama, Citra segera menelepon balik nomor tersebut.
"Halo, mas Raka?" ucap Citra setelah panggilan tersambung.
"Kamu kemana aja sih, Cit?! Aku telfon dari tadi siang ga diangkat-angkat, kebiasaan banget sih."
"Maaf, mas. Tadi Citra banyak banget kerjaan di kantor jadi ga sempet pegang HP."
"Halah, sok sibuk. Aku mau ketemu kamu sekarang."
Hati Citra sedikit mencelos ketika mendengar Raka berkata demikian. Raka adalah pacarnya, mereka sudah 3 tahun bersama, namun Citra tidak menyukai sifat Raka yang egois dan mementingkan dirinya sendiri. Tapi Citra juga tak bisa meninggalkannya karena dirinya sudah terlanjur cinta.
"Iya mas, mau ketemu di mana?"
"Di tempat biasa, jam 8 malem ini. Gak boleh telat—TUT!"
Citra hendak membalas lagi namun panggilan sudah dimatikan. Citra menatap nanar ponselnya sendiri, dia menghela napas dan meletakan ponselnya di sampingnya.
"Ya allah, kapan ya mas Raka bisa mulai ngertiin aku ..." gumam Citra. Dia lalu melirik jam dan melihat bahwa jarum jam sudah menunjukan pukul 19.00 WIB.
"Lebih baik aku sholat Isya dulu sebelum menemui mas Raka." Citra beranjak dari tidurnya dan menuju kamar mandi lagi untuk mengambil wudhu. Dia kemudian menggelar sajadah di pinggir kasur dan mengenakan mukena putih yang sudah sobek di bagian pinggirannya. Dia belum punya uang untuk membeli mukena baru.
Dia harap jika gaji perusahaan barunya cukup untuk membeli seperangkat alat sholat yang baru dan bersih. Terkadang Citra merasa malu untuk menghadap Allah dengan penampilannya yang lusuh, dia ingin berdoa kepada-Nya dengan pakaian paling bersih dan wangi yang Citra punya.
"Allahu akbar ..." Citra memulai sholatnya, dia sangat khusyuk dalam setiap gerakan, seperti tak mau menyia-nyiakan satu bacaanpun yang ada. Citra selesai lima belas menit kemudian, ditambah dengan doa dan dzikir yang cukup lama.
"Sudah jam 19.45, nanti mas Raka bisa marah sama aku." Citra melirik jam dan langsung tergopoh-gopoh berdiri dan melepas mukenanya. Dia mengikat rendah rambutnya dan memakai jaket untuk menangkal hawa dingin di malam hari.
Tempat pertemuan mereka ada di restoran yang tak jauh dari kontrakan tempat Citra tinggal. Citra memesan ojek online dan segera meluncur ke sana.
Sesampainya di sana, Citra turun dan membayar ojek. Dia segera masuk ke dalam restoran yang nampak semakin ramai meski waktu sudah malam. Selain citarasanya yang khas dan juga pelayanannya yang ramah, restoran ini sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu dan membuat siapapun merasa bahwa restoran lokal ini adalah rumah kedua mereka.
"Eh, neng Citra. Mau ngapain ke sini neng?" tanya pak Sugeng, salah satu pemilik restoran ini, yang mana Citra memang sering makan di sini.
"Pak, tadi mas Raka udah ke sini belum?" tanya Citra tanpa basa-basi. Karena pak Sugeng tahu jika Citra sering makan di sini bersama pacarnya, Raka.
"Oh, si Raka ... belum neng, bapak belum lihat dia. Duduk dulu aja neng."
"Iya pak, makasih. Kalo nanti mas Raka dateng, bilangin ya pak." Citra tersenyum tipis sebelum masuk ke dalam dan duduk di salah satu bangku kosong yang ada di pojok. Dia tidak memesan apapun, karena memang Citra tidak membawa uang sepeserpun ke sini, sudah habis buat memesan ojek. Nanti pulangnya juga dia akan meminta Raka untuk mengantarnya, atau skenario paling buruk, Citra harus jalan kaki.
Citra mengalihkan pandangannya ke luar jendela kaca, memandang jalanan sepi yang hanya diterangi oleh satu lampu jalanan yang dipasang pemerintah seadanya. Matanya tertuju pada sebuah lamborghini putih yang terparkir di parkiran restoran. Melihat mobil mewah itu membuat Citra berandai-andai perlu berapa lama dia harus mengumpulkan uang untuk dapat membelinya.
"Ah, seumur hidup juga ga mungkin, Cit. Kamu kan cuma orang miskin. Bisa makan tiga kali sehari aja bersyukur banget." Citra menepis pemikirannya yang menjurus ke rasa iri dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Baru saja beralih tatap, Citra bertubruk pandang dengan mata seseorang.
Citra tak kenal orang tersebut. Wajahnya yang memakai masker dan topi membuat Citra tak bisa mengenali wajahnya. Dia duduk di kursi depan seberang Citra. Di depan pria bermasker itu terdapat pria yang mengenakan jas coklat dan tengah berbicara cerewet. Pria bermasker itu tidak menggubrisnya dan justru menatap Citra dengan lekat.
Hiiiy! Jangan dilihat Citra! Siapa tahu penculik!
Citra langsung menundukan pandangannya, mencoba untuk melepaskan diri dari pandangan pria itu. Citra punya pengalaman buruk dengan penjahat.
Dia pernah hampir diculik namun untungnya Citra punya kemampuan beladiri yang membuatnya lepas dari cengkeraman penculik itu dengan cara menendang selangkangannya dan membanting penculik itu ke tanah sebelum akhirnya dia berteriak ketakutan dan para warga datang menolong.
"Mas Raka mana sih ... lama banget gak dateng-dateng." Citra memajukan bibirnya sebal, dia melirik jam di restoran yang menunjukan waktu 08.20 yang mana sudah lewat 20 menit dari waktu perjanjian.
"Cit,"
Citra mendongak, melihat pria berkaus polo dan mengenakan tatanan rambut ala korea berdiri di depannya. Wajahnya nampak enggan tak enggan.
"Mas Raka, kok lama banget datengnya? Duduk dulu mas." Citra berujar lembut sambil menarik kursi di sebelahnya untuk Raka duduk.
"Gak, gak usah. Aku gak lama." Raka menatap Citra sebentar sebelum akhirnya membuang tatapannya lagi ke arah lain. Citra menangkap gelagat aneh tersebut dan mulai khawatir.
"Ada apa mas? Kamu ada masalah?"
"Uhm ... gini, aku minta kamu buat ketemu itu gara-gara ..."
Raka menggantungkan kalimatnya.
"Gara-gara apa mas?"
Citra semakin penasaran, Raka menggigit bibirnya pelan sebelum akhirnya membuka mulutnya lagi.
"Aku hamilin seseorang. Dan, seminggu lagi aku bakal nikah sama dia. Jadi aku mau minta kita pisah."
JDARRRR!!!
Bagai petir yang menyambar, hati Citra pecah berkeping-keping ketika ucapan Raka meluncur begitu saja dari mulutnya.
Citra spontan berdiri.
"Gak bisa gitu mas, kita udah tiga tahun loh. Kamu mau ninggalin aku gitu aja? Aku gak bakal bisa hidup tanpa kamu, mas." Citra memegang lengan Raka dengan kuat, mencoba meminta penjelasan lebih. Namun Raka hanya memalingkan pandangannya, tak mau menatap Citra balik.
"Mas Raka, jawab aku!!!" teriakan Citra mengundang seluruh atensi ke arah mereka berdua. Citra tersedu-sedu karena sesak yang ia alami di dadanya.
"Cit, apa-apaan sih. Kamu buat aku malu tau gak." Raka berbisik kesal di hadapan Citra, dia menutupi wajahnya dan hendak berjalan pergi.
"Mas, jawab aku dulu!" Citra menahan lengan Raka agar pria itu tidak dapat pergi.
"CITRA! JANGAN KELEWATAN! LAGIAN SELAMA TIGA TAHUN INI KAMU ITU CUMA SELINGKUHANKU!" Raka melepas kasar genggaman Citra dan membuat gadis bertubuh cilik itu terhempas ke kursi-kursi dan jatuh terduduk.
Sakit tak lagi ia rasakan, kini pikiran Citra hanya terfokus pada kata-kata 'selingkuhan'. Citra tak habis pikir tentang satu-persatu kejutan yang datang ke hidupnya.
Apa selama ini aku seorang selingkuhan? Selama tiga tahun ini?
Pikiran Citra hanya berputar-putar di sana dan membuat tatapannya kosong. Sementara Raka tidak memperdulikan Citra yang jatuh dan fokus untuk menutupi wajahnya untuk menyembunyikan malu.
Baru saja hendak berbalik pergi, sebuah tinjuan keras mendarat di pipi Raka dengan sempurna.
BUAGH!