Bernar-benar terlambat! Damn!
Sherina berlari, segera memasukkan tas kedalam loker, tak lupa mengunci pintunya. Lalu absen ketok di samping seorang satpam wanita. Cek badan sebelum turun, lalu masuk kedalam lift agar cepat sampai dilantai dua, tempat para karyawan toko diadakan briving.
Semua sudah duduk dilantai menyimak manager utama menjelaskan promo hari ini. Duduk tepat disebelah Leon dan Grece. Mengatur nafas yang ngos-ngos’an karna lari-lari’an.
Grece memandanganya heran, lalu menatap Leon yang juga menatap Sherina heran. “She, lo kenapa?”
Sherina masih mengatur nafasnya. “Capek, lari dari atas, kebawah, lalu lari lagi kesini. Huuftt ....”
Leon hanya nyimak tanpa berniat menimbrung.
“She, kemaren yang jemput lo siapa? Cekep deh.” Tanya Grece lagi.
“Iisshh, lo liat? Dia yang naruh motor ditengah jalan itu? Bikin macet jalan?” tanya Sherina sedikit kesal mengingat kejadian kemarin.
Grece ngagguk. “Gue kemaren ikut dalam kemacetan. Tiba-tiba liat lo naik ke boncengan cowok SMA itu.”
“Jadi, pacar lo masih sekolah SMA?” Leon ikutan nimbrung dengan sangat terkejut.
Wajah Sherina berubah menjadi lesu, bibirnya manyun. “Dia bukan pacar gue. Gue aja baru kenal dua hari yang lalu. Kan aneh kalo kita ini pacaran.”
Leon terkekeh, wajah yang tadi sempat kesal itu bisa tersenyum kembali. “Semalam bukannya yang bales wa gue, dia ya?”
Sherina ngangguk dengan wajah lesunya. “Gue nyesel deh selametin cowok sinting itu.”
Grece mengeryit. “Maksud lo, dia cowok yang pernah mau bunuh diri itu?”
Sherina ngangguk lagi.
“Bunuh diri?” Leon membeo.
Grece ikutan ngangguk. “Jadi ...”
“Ayo, ayo sekarang kita mulai. Semangat! Bravo!” teriak pak manager yang dari tadi berdiri didepan.
Semua karyawan berdiri, segera berjalan menuju ke stand masing-masing. Grace, Leon dan Sherina berpisah, karna mereka beda stand.
**
Pukul 11.30am
Sherina dan Grece bersiap untuk istirahat. Dua wanita ini mengambil tas yang ada didalam loker sebelum makan ke kantin. Begitu tiba dikantin, Sherina ngambil piring, ngantri dibelakang Grece untuk ngambil nasi.
Ddrtt ... ddrtt ....
Ponselnya bergetar cukup lama, menandakan jika ada panggilan masuk. Segera merogoh ponsel dari dalam tas. Membuang nafas kasar saat mengetahui si penelfon. Memilih memasukkan kembali kedalam tas. Lalu melanjutkan ambil makanan.
Leon melambaikan tangan, menyuruh dua wanita ini untuk duduk bersamanya. Sherina duduk tepat disamping Leon, mepet karna memang tempat penuh dan kursinya agak panjang, muat untuk duduk bertiga, tapi mepet begini.
“Siapa sih yang telfon? Napa nggak lo angkat?” Grece yang sejak tadi tau, mulai kepo.
“Gue laper, butuh tenaga buat angkat telfon.” Jawab Sherina dengan malas.
Leon hanya tersenyum kecil mendengar obrolan kedua temannya. “She, pulang nanti temenin beli jeruk ya. Nenek minta dibeliin jeruk. Lo kan tau, gue nggak bisa milih buah jeruk yang manis. Kasihan nanti kalo dapatnya yang asem.”
Sherina ngangguk. “Lo ikut nggak, Grec?”
Grece menggeleng. “Gue ada janji sama Mico. Eh, kalo beli buah, mending ke toko buah yang ada disamping kampus orange itu. Buahnya masih seger-seger. Kemarin mama beli disana, klengkengnya enak.”
“Ok, deh. Nanti gue coba kesana.”
**
Pukul 4.00pm
Vasco sudah standby dibelakang kantor sejak setengah jam yang lalu. Melepas helm, lalu menatap ponselnya yang tak ada notifikasi apapun. Bahkan telfon dan chat dari siang nggak ada balasan. Mulai merasa khawatir akan kekasihnya. Tentu takut terjadi sesuatu. Kembali melakukan panggilan telfon, sekarang nomornya nggak aktif.
Vasco menjalankan motor, ikut parkir diparkiran para karyawan, lalu masuk kedalam mall. Menyusuri swalayan tempat Sherina bekerja, mulai dari lantai satu sampai kelantai dua. Namun kekasihnya itu tak ada.
“Mbak, tau Sherina yang jadi kasir disini nggak?” tanyanya pada seorang kasir yang kebetulan sedang tak menangani pembeli.
“Iya, kenal, mas. Kenapa?”
“Dia sekarang jaga dimana ya?”
“Sherina udah pulang, mas. Jadwalnya Cuma sampai jam tiga. Tapi dia keluarnya jam tiga lebih sih.”
Ada perasaan kecewa, karna Sherina tak mengabarinya. Padahal pagi tadi dia sudah menyetujui untuk dijemput. “Ok, makasih ya.”
Vasco berjalan keluar dari mall. Kembali mengambil motor diparkiran, saat hendak keluar dari parkiran, ia berpapasan dengan Grece yang juga mau keluar.
“Eh, lo bukannya ... pacarnya Sherina ya?” tanyanya saat melihat Vasco yang mau memakai helm.
Vasco kembali menaruh helm, menatap Grece tak ramah, lalu ngangguk. “Lo kenal Sherina?”
Grece tertawa kecil. “Kenal, lah. Kita lumayan dekat.”
“Dia tadi pulang jam berapa?” tanyanya lagi.
“Tadi dia pulang jam tiga. Sekarang pergi, nemenin Leon beli buah. Mungkin sekalian mampir jenguk neneknya Leon.” Jawab Grece santai.
Mendengar nama Leon, raut wajah Vasco berubah. “Dimana rumah Leon?”
**
Ninja merah itu melaju dengan brutal menuju tempat yang sudah di catat didalam otak. Raut marah dan kecewa membuatnya ugal-ugalan dijalan. Motornya berhenti tepat didepan rumah yang ada dibelakang sekolahan SD. Melepas helm, matanya menatap rumah kecil bercat biru yang terlihat sudah usang. Ada motor pitung yang terparkir didepan rumah itu. Tak begitu lama gadis cantik yang sejak tadi ia cari keluar dari dalam rumah, lalu disusul seorang pria tampan yang berseragam sama dengan si gadis.
Cepat Vasco turun dari motor, berjalan sedikit berlari kearah dua manusia yang ngobrol didepan pintu. Tanpa ngomong apapun, Vasco mendorong bahu Leon, lalu menarik tangan Sherina kasar.
“Semalam kan gue udah bilang. Jan lagi deket-deket Sherina. Dia pacar gue!” teriaknya.
“Vasco!” Sherina ikut berteriak. “Leon ini temenku. Kita temenan udah lama. Aku kesini karna jenguk neneknya yang sedang sakit.”
“Nggak usah banyak alasan deh. Kenapa nggak angkat telfonku? Kenapa nggak bales chatku? Kenapa pulang nggak ngabari? Kenapa harus bohong? Bukannya kamu tadi pagi bilang kalo pulang jam empat? Kenapa jam tiga udah pulang? Gini cara kamu perlakuin aku? Aku ini pacar kamu!” omel Vasco panjang lebar. Mengeluarkan semua kekesalannya.
Sherina terlihat gelagapan. Mulai bingung dengan perasaannya, bahkan ini adalah rencananya tadi untuk membuat Vasco menjauhinya. Tapi melihat raut kecewa diwajah tampan kekasihnya malah membuatnya makin merasa bersalah. Meraih tangan Vasco, lalu menggengngamnya.
“Maaf, maafin aku. Ponselku mati. Aku nggak sempat ngabari kamu. Maafin aku, ya. Udah jangan marah.”
Vasco menatap Leon yang sejak tadi diam memperhatikan Sherina dan dirinya. “Kenapa harus pergi sama dia? Kenapa nggak nungguin aku? Kamu nggak tau, aku hampir satu jam nungguin kamu dibelakang mall?”
“Maaf, brew. Gue yang minta dia nemenin beli buah. Karna gue nggak bisa bedain buah yang rasanya asam dan yang udah manis. Jadi, tadi gue minta bantuan Sherina. Lo tenang aja, gue sama Sherina Cuma temen kok. Kita temenan udah lama, dan nggak ada hubungan yang special.” Leon ikut menjelaskan, tak ingin hubungan percintaan sahabatnya jadi berantakan.
“Sekarang lo dengerin gue, ya.” Menuding Leon tepat didepan wajahnya. “Sherina pacar gue, dan gue nggak ijinin lo dekat sama dia. Apa lagi ngebawa dia seenak jidat. Gue nggak ijinin.”
“Vas! Enggak gini.” Sherina menarik lengan Vasco yang menuding wajah Leon. “Aku akan tetap temenan sama Leon. Kamu nggak bisa atur aku sampai seperti ini.”
“Sayang ... pliis, ngertiin aku dong.” Memohon, memegang kedua bahu Sherina. “Ayo pulang.”
Sherina cemberut, terlihat marah, melipat kedua tangan didepan d**a. “Gue masih mau disini.”
“She, mending lo ikut dia deh. Gue takut dia akan hancurin rumah gue yang udah reot ini.” Leon ikut bicara.
Sherina menatap Leon tak suka. “Iih, ngusir!”
“Ayo, pulang.” Menarik tangan Sherina untuk menjauh dari rumah Leon.