“Kenapa duduk di sini bukannya masuk ke kamar, Nak? Minta satpam buat ambil barang-barang yang kamu bawa.”
Selesai sarapan Indira bingung mau melakukan apa di rumah kedua orang tuanya. Dia memutuskan duduk diruang keluarga sambil menunggu Bundanya mengantar Ayahnya yang akan pergi ke kantor.
“Dira hanya bawa baju, Bun.”
“Ayo kita naik ke atas. Bunda sudah membersihkan kamarmu.”
Indira berjalan menuju ke kamar yang sudah lama ditinggalkannya. “Bunda ...”
“Iya, sayang. Mau cerita?” Wulan bertanya dengan suara lembut membuat Indira semakin sedih. “Cerita dikamar saja ya.”
Keduanya berjalan menaiki satu persatu anak tangga dengan perlahan. Pelukan Indira pada lengan Bundanya sangat erat. Sesekali mereka saling menatap lalu tersenyum.
Seorang Ibu yang mendapatkan kabar jika Putrinya disakiti dan mendapatkan perlakuan buruk dari suami dan mertuanya pasti hatinya akan hancur, begitupun dengan Wulan.
“Kenapa diam saja, Nak?”
Tanpa mengucapkan apapun Indira langsung memeluk Bundanya. Rasa sesak dalam dadanya kembali muncul saat teringat dirinya yang memutuskan menikah tanpa restu dari kedua orang tuanya.
“Bunda, maafkan Dira.”
“Iya, Sayang. Bunda sudah memaafkan mu jauh sebelum kamu meminta maaf.” Wulan mengajak anaknya masuk ke dalam kamar. Ada sebuah sofa panjang yang biasanya dijadikan Indira tempat menonton film dan membaca buku setiap malam. “Kangen sama tempat ini apa tidak?”
“Iya, Bun.” Bukannya ikut duduk di sofa Indira justru bersimpuh di kedua kaki Bundanya. “D-dira sudah diceraikan oleh Mas Nizam karena tidak bisa memiliki anak, Bun.”
Wulan mengusap lembut kepala Putrinya dengan berlinang air mata. “Kamu masih punya Ayah dan Bunda, Nak.”
“Dira dibuang oleh Pria yang selama ini mati-matian aku perjuangkan. Aku dianggap sebagai aib oleh ibu mertua setelah rahimku diangkat. Apa itu balasan karena Dira telah menyakiti hati Ayah dan Bunda?”
Indira memeluk dan mencium kedua kaki Bundanya dengan tangis yang semakin menjadi. Wulan tidak bisa berkata apapun dadanya semakin sesak mendengar curahan hati Putrinya.
“Kemarin malam Mas Nizam datang membawa istri barunya. Mereka sudah menikah tanpa meminta persetujuan dariku.” Indira menarik nafas karena kesulitan bicara disela tangisnya. “Mama minta Maz Nizam menceraikan ku karena menantu barunya akan segera memberikan keturunan. Aku dianggap beban sekaligus aib harus segera dibuang agar tidak membuat jijik keluarga besarnya. Apakah sehina itu Dira, Bun? Apa Bunda juga merasa malu memiliki anak seperti Dira?”
Wulan menggelengkan kepala beberapa kali untuk menjawab pertanyaan Putrinya. “Dira anak cantik, anak pintar dan anak baik yang selalu membuat bangga Ayah dan Bunda.”
“Dira sampai mati rasa setiap hari dicaci dan dimaki oleh Mas Nizam dan Mama karena tidak bisa memiliki anak, Bun. Wanita mana yang tidak hancur hatinya saat Dokter mengatakan harus melakukan pengangkatan rahim? Jika boleh memilih Dira lebih baik kehilangan satu kaki dari pada tidak memiliki rahim.”
“Nak, jangan bicara seperti itu. Pasti ada hikmah di setiap kesulitan yang kita alami.” Wulan sudah berhasil mengendalikan emosinya. Dia harus kuat untuk membantu sang putri keluar dari kesakitannya. “Indira anak Bunda adalah seorang Wanita sempurna dalam kondisi apapun.”
“Bunda tidak menyesal ‘kan memiliki anak seperti Dira?”
“Tentu saja tidak, Sayang. Bunda justru bangga memiliki seorang Putri cantik seperti Indira.”
“Mulai hari ini anak Bunda dan Ayah resmi menjadi janda. Tinggal menunggu proses di Pengadilan Agama.”
“Tidak masalah. Kita akan menghadapi semuanya sama-sama. Indira tidak sendirian di dunia ini ada Bunda, Ayah dan Naura juga yang akan membantumu bangkit dari keterpurukan.”
Indira menyandarkan kepalanya pada lutut Bundanya. Tangisnya sudah mereda namun hati dan pikirannya menjadi kosong.
***
“Selamat siang, Bunda cantik.”
“Selamat siang, Sayang. Tumben jam segini sudah pulang kerja?”
“Sengaja ijin sama Papa pulang lebih awal agar bisa melihat kondisi janda kembang, Bun.”
“Hussstttt, kamu ini!” tegur Wulan pada Naura. “Ajakin Dira makan, Nak. Siapa tahu jika ada temannya dia mau makan.”
“Loh, sejak tadi pagi anak itu belum makan, Bun?”
“Katanya sudah sarapan di rumahmu.”
Naura mencebik saat mendengar sahabatnya berbohong dengan Bundanya. “Dira bilangnya mau sarapan di rumah Bunda.”
Wulan menghela nafas lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk Putrinya.
Sementara Naura sudah naik ke atas menuju kamar sahabatnya.
“Halo ... Naura cantik nan sexy datang. Kenapa kamar ini gelap dan sepi sekali sih?! Lagi irit listrik ya.” Tidak ada jawaban dari yang punya kamar saat Naura membuka pintu. “Indira kamu dimana?"
Suasana kamar yang sangat gelap tanpa ada cahaya membuatnya kesulitan mencari saklar. Saking paniknya Naura lupa menggunakan senter ponsel untuk mencarinya.
“Ah ini ketemu. Akhirnya ...” saat lampu kamar sudah menyala Naura kaget dengan keadaan Indira yang sudah tergeletak di lantai. “Astaga Dira! Bunda tolong Bunda ...”
Indira tak sadarkan diri didepan pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda percobaan bunuh diri saat Naura memeriksanya. Sepertinya dia lemas karena tidak makan sejak kemarin.
Wulan berteriak memanggil satpam untuk menggendong putrinya menuju ke mobil milik Naura. Semua orang panik melihat keadaan anak tunggal keluarga Rachman yang kini tak sadarkan diri.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Mbak Indira dalam kondisi yang tidak stabil, Pak Fathir. Tubuhnya sangat kurus karena jarang makan dan beban mental yang dialaminya. Saya menyarankan Mbak Indira melakukan konseling ke psikiater.”
“Apa Putri saya sudah sadar, Dok?”
“Saat ini sudah kembali tertidur setelah mendapatkan beberapa suntikan. Suster akan memindahkan ke ruang perawatan sebentar lagi.”
Fathir masuk ke ruang IGD setelah Dokter selesai menjelaskan. Kedua matanya langsung mengeluarkan air mata saat melihat Putri kesayangannya terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. “Nak, harusnya kamu pulang ke rumah Ayah saat suamimu tidak menginginkanmu lagi.”
Fathir menggenggam tangan Indira yang terbebas dari jarum infus. “Saat kamu kecil sering berkata jika Ayah adalah Superhero. Tapi kenapa setelah kamu dewasa tidak menganggap Ayah seperti itu lagi, Nak?”
Kantung mata yang menghitam, wajah tirus hingga tulang pipi menonjol dan bibir pucat adalah kondisi Indira saat ini membuat hati sang ayah semakin sakit.
Fathir harus melepaskan genggaman tangannya pada Putrinya saat suster datang ingin memindahkan Indira ke ruang perawatan.
“Naura, Ayah bisa minta tolong denganmu, Nak?”
“Iya, yah.”
“Tolong temani Bunda dan Dira. Ayah ada sedikit urusan yang harus segera diselesaikan.”
Naura mengangguk. “Siap, Ayah.”
Fathir berjalan mendekati istrinya yang sedang duduk di sebelah ranjang. “Ayah pergi sebentar ya, Bun.”
“Mau kemana?”
“Ada sedikit urusan. Hanya sebentar tidak akan lama.”
“Ayah tidak akan membalas perbuatan jahat keluarga Nizam, ‘kan?” Wulan paling tidak suka dengan yang namanya balas dendam. Dia lebih memilih mengadu pada sang pencipta jika sedang mengalami masalah.
“Tidak akan, Bun. Bukankah Ayah sudah berjanji dengan Bunda soal itu?”
“Iya.” Wulan kembali menangis dalam pelukan suaminya saat melihat kondisi putrinya yang sangat memprihatinkan. “Apa Dira bisa sembuh dari trauma yang dialaminya?”
“Tentu saja bisa. Ayah akan mencarikan Dokter terbaik agar Putri kita segera sembuh seperti sedia kala.”
“Dia akan selalu bersedih saat mengingat rahimnya.”
“Ajari Putri kita soal keikhlasan, Bun. Meskipun tidak memiliki rahim indira masih bisa memiliki anak dengan cara adopsi. Banyak anak-anak di luaran sana yang membutuhkan kasih sayang tulus dari seorang ibu.”
Takdir yang digariskan untuk manusia bukan soal kesempatan namun pilihan. Jika memilih bahagia dia harus meraih bukan menunggu atau menyesalinya.
Tanpa kita sadari selalu ada keindahan di setiap masalah yang tengah kita hadapi.