Tujuh

1120 Words
Aisya pov "Mas aku mandi dulu ya? Setelah itu kita baru sholat dan makan!" Ucapku sambil membereskan dapur dan menyiapkan masakan di meja makan sedang Mas Ardan masih melanjutkan mencuci wadah bekas memasak, inilah salah satu sikap mas Ardan yang menurutku so sweet, dia selalu membantuku mengurus pekerjaan rumah, sebenarnya Mas Ardan sudah menawariku ART tapi aku menolak, sejak mama dan papa berpisah aku hidup serba sederhana bukan karena mama tidak memiliki uang tapi mama hanya ingin menghemat tabungannya untuk sekolahku, jadi semua pekerjaan rumah aku dan mama yang mengerjakan. "Boleh ikut mandi!" Godanya sambil memelukku dari belakang, aku terkesiap saat merasakan hangat nafasnya membelai tengkukku. Tubuhku menegang merasakan kecupan singkat di leher jenjangku. Sekujur tubuhku menghangat seketika. "A..apa Mas!" Jawabku terbata sambil berusaha melepas pelukkannya. "Bercanda sayang, atau... Kamu memang ingin mandi ber..!" ucap Mas Ardan menggantung. "Stop Mas..!" Jawabku cepat dan Mas Ardan tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku, aku bukan gadis polos yang tidak mengerti maksud ucapan suamiku, aku sering membaca n****+-n****+ romance yang banyak mendeskripsikan adegan-adegan dewasa, dengan cepat fantasi liarku bekerja namun seketika berganti terpesona wajah Mas Ardan yang sedang tertawa, dan ini adalah pertama kali aku melihatnya. Ganteng premium. Merasa kuperhatikan, tawa Mas Ardan berhenti berlahan menyisakan senyum jail. "Wajahmu kenapa sayang merah begitu!" Masih menggodaku lagi, dengan malu aku bergegas pergi ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi aku langsung menyalakan sower tanpa melepas baju, air dingin mengalir dari ujung kepala hingga ke ujung kaki menghilangkan rasa panas yang tadi rasanya hampir membakar tubuhku. Setelah 30 menit berlalu aku dengan santainya ke luar kamar mandi tanpa sehelai benang pun, karena tadi saking malunya aku tak membawa handuk ataupun baju ganti saat mandi, aku tak berpikiran apapun karena aku dan Mas Ardan memang tak sekamar. Jadi aku bisa leluasa melakukan apapun. "Jangan menggodaku sayang!" Ucapnya dari belakangku dengan suara parau. Aku terperanjat sejak kapan Mas Ardan di kamar ini, tubuhku membeku namun aku segera sadar dan ingin meraih selimut di ranjang namun secepat kilat selimut itu sudah di tangan Mas Ardan. Dia mendekatiku dengan ekpresi seperti singa yang sedang kelaparan yang ingin menerkamku. Karena takut tiba-tiba tubuhku menggigil dan aku terduduk lemas di lantai. Mas Ardan panik dan segera menutupi tubuhku dengan selimut itu lalu menggendongku ke atas ranjang. "Maaf,,, maaf sayang!" Sambil terpejam menyatukan keningnya ke keningku dengan kata maaf berulang kali. Sebenarnya bukan karena aku punya trauma terhadap sesuatu tapi entah mengapa karena paniknya tubuhku tiba-tiba lunglai. Hal ini sebenarnya sudah beberapa kali terjadi sejak aku masih SD, setiap ada peristiwa yang membuat aku syok tanpa aba-aba tubuhku akan lemas seperti tak bertulang. Melihat Mas Ardan seperti ini aku menjadi merasa bersalah. "Mas maaf ya aku bukan istri yang baik!" tangisku pecah lalu memeluknya erat. "Ssttt... I love u so much Aisya!" Ucapnya lembut dan aku semakin terisak dalam pelukkannya. Rasa bersalahku semakin besar dengan tiga kata itu karena aku belum bisa membalasnya. "Kamu pakai baju dulu dan ambil mukena kita sholat dulu lalu kita makan, aku sudah lapar!" Kulihat tak ada amarah sedikit pun dalam netra kecoklatan itu, lalu ia mengacak rambutku lembut sebelum keluar kamar. *** Ardan pov "Aku pasti melukai hatinya, bodohnya aku terbawa nafsu tanpa memikirkan perasaanya, sungguh aku takut jika harus kehilangannya lagi!!" Jerit batinku sambil mengacak rambut dengan frustasi, setelah peristiwa tadi siang Aisya lebih banyak terdiam padahal ia mulai membuka dirinya untukku. Kurebahkan tubuhku di sofa depan televisi, entah berapa kali hanya kupencet remot tv tanpa tau acara apa yang sedang aku tonton, setelah makan siang tadi Aisya belum keluar kamar sama sekali aku sangat khawatir. Klek.. Suara pintu kamar terbuka, bukannya menoleh justru aku pura-pura serius menonton berita di tv, deru jantungku seperti genderang perang saat kudengar langkahnya mendekat dengan ragu, ia berdiri di samping sofa sambil meremas ujung kaosnya, karena tak sabar akhirnya aku menoleh dengan tersenyum canggung, kugeser dudukku lalu menepuk sofa kosong di sebelahku, kurasakan sofa bergerak karena ia sudah duduk di sampingku. Tubuhku menegang saat tanpa aba-aba Aisya memelukku. "Mas maafkan aku, seharusnya aku bisa melayani Mas dengan baik, Mas punya hak atas aku dan tubuhku, maaf!" Ucapnya lalu menenggelamkan wajahnya di dadaku. "Kamu nggak salah Sayang!" Kubalas pelukannya, kunikmati aroma rambut dan tubuh Aisya yang sudah menjadi candu bagiku. Saat kubuka mata pandangan kami terkunci kucoba menyelami rasa, kutemukan cinta di sana namun masih tampak ragu. Tanpa sadar bibirku dan bibirnya sudah beradu, dia tak menolak ataupun membalas tapi aku tau dia menikmatinya. Kulepas ciumanku di saat nafas kami mulai terengah-engah, aku tak mau meneruskannya karena khawatir akan khilaf, aku laki-laki normal tak munglin betah dengan gadis secantik ini tanpa menyentuhnya, kulihat wajahnya memerah malu lalu menyembunyikannya di dadaku, kuhujani kecupan di puncak kepalanya. Entah kebaikan apa yang pernah kulakukan hingga Allah memberiku kebahagiaan sebesar ini. "Aisya?" Panggilku mesra masih dengan memeluk dan membelai rambutnya. "Apa Mas!" Jawabnya singkat tanpa bergerak. "Aku mau cerita mengenai Aira aku nggak mau kamu salah paham, apa kamu nggak cemburu aku dekat-dekat dengannya?" Kurasakan tubuhnya menegang namun tak lama terasa rileks kembali. Kulihat wajahnya saat ia mendongak lalu menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban, kueratkan lagi pelukanku. Kuhempuskan nafas panjang sebelum aku bercerita tentang Aira. "Aku mengenal Aira saat ia masih duduk di bangku kelas X SMA, karena ayah kami bersahabat kami menjadi semakin dekat dan sering bertemu di setiap acara, itu dulu saat kami masih tinggal di Kediri, entah mengapa setelah lulus SMA dia pindah ke Jakarta, aku juga sempat syok saat ia menyatakan cinta padaku padahal aku hanya menganggapnya saudara seperti Anton yang menyanyanginya layaknya adik, namun diluar ekspetasiku dia marah dan mengatakan bahwa hanya dialah yang akan menjadi istriku kelak. Jadi setiap perempuan yang dekat denganku akan ia kacaukan. Aku lega saat kita menikah dia tidak bisa hadir, aku tak bisa membayangkan apa yang akan Aira lakukan untuk menggagalkan pernikahanku denganmu!" Kupererat pelukanku dia hanya tersenyum, ia tampak lelah namun selang beberapa menit ia berkata lirih. "Mas boleh aku pinjam bahunya sebentar." Kulihat ia tenang, ia tak berkomentar sedikitpun tentang Aira, aku semakin bingung dengan sikap Aisya yang acuh. "Tentu Sayang!" Kusisir rambutnya dengan jemariku lembut setelah itu kurasakan nafasnya teratur dan dengkuran halus terdengar menandakan ia tertidur pulas, akupun membenahi posisi dudukku menjadi terlentang dan Aisya tidur di dalam dekapanku, perasaan nyaman melenakanku hingga akupun terpejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD