Panas!

1140 Words
Sepanjang bersiap-siap, Gwen tak berhenti menggerutu. Bersumpah serapah segala rupa. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra, berharap dia bisa berpindah ke dimensi lain agar tidak dipertemukan dengan sosok menyebalkan itu. Ya, bagi Gwen, Nicholas masih sama seperti dulu. Menyebalkan dan arogan. Kalau tidak, untuk apa lelaki itu sudi membuang-buang uang hanya sekadar ingin menemuinya lagi? ck! "Sekarang dia sudah banyak uang, karena itu, dia berubah menjadi si Tuan sombong dan sok! Ck!" gerutunya lagi yang entah sudah ke berapa kali, bila mengingat Nicholas yang dulu dengan yang sekarang. Perbandingan yang cukup signifikan, memang. Lipstik warna merah Gwen sapukan di bibirnya yang sensual, hingga dalam sekejap bibir itu berubah bak kelopak mawar yang merekah nan ranum. Seksi dan nampak menggoda. Lalu, tak lupa dengan parfum favoritnya, Gwen menyemprotkannya ke setiap titik sensitifnya; belakang telinga, pergelangan tangan, dan terakhir tepat di belahan dadanya yang padat dan membusung. Sebelum menemui tamu VIP yang katanya sudah membayarnya sangat tinggi, Gwen lebih dulu memastikan lagi penampilannya. Lingerie potongan berwarna hitam metalik, yang hanya menutupi sebagian d**a dan inti tubuhnya itu semakin menambah kesan seksi. Kaki jenjangnya tertutup stoking jaring dan Stiletto bertali menyilang sampai sebatas betisnya yang ramping. Berwarna senada dengan kostumnya. Bulatan dan tonjolan depan belakang, yang terpampang jelas begitu memanjakan mata yang memandang. Terlihat menggairahkan dan sangat menggoda. Lekukan pinggul itu, rambut bergelombang yang diikat tinggi itu, dan kulit seputih salju itu adalah ciri khas dari seorang Gwen atau yang biasa dijuluki Queen Flo. Senyum Gwen terbit saat sudut matanya menangkap topeng mirip kepala kelinci yang ada di meja riasnya. Pasti akan sangat menarik, pikir Gwen sambil meraih benda itu, lalu memasangnya di wajah, yang hanya menutupi sampai batas hidungnya. "Hmm …." Telunjuk Gwen menyentuh topeng yang telah terpasang sempurna di wajahnya, menyusurinya pelan, lalu turun tepat di lekukan lehernya yang jenjang. Gwen bergumam, "Kau penasaran denganku, bukan? Kita lihat, apa setelah ini kau masih mau mengejarku? Atau kau akan merasa jijik padaku." Di ruangan yang sudah dibooking secara khusus itu, Nich tengah menunggu dengan tidak sabar. Malam ini dia akan menikmati pertunjukan hanya seorang diri tanpa diganggu oleh siapa pun. Gelas berisi red wine di tangan dia taruh ke meja, lalu merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. Nich ingin menghubungi Daniel, dan menanyakan, kenapa Gwen tak kunjung muncul. Sebelum niat Nich terealisasikan, suara ketukan ujung heels menggema di ruangan minim cahaya tersebut. Menarik perhatian seorang Nich yang seketika terhipnotis pada siluet bayangan di balik tirai. Itu bahkan baru bayangannya saja. Namun, berhasil memukau mata Nich hingga menyipit seraya menegakkan punggung. Jantungnya memacu dengan cepat, tak sabar ingin melihat perempuan yang pernah mengisi hatinya itu. Ketika sorot lampu menyala, tirai berwarna merah itu perlahan terbuka, seiring musik pembuka yang seringkali diputar mulai terdengar mengalun merdu di telinga. Nich semakin menajamkan tatapannya, seakan-akan jika dia berkedip maka Gwen akan hilang dalam pandangannya. "So hot, Gwen." Bahkan, mulutnya secara sadar menggumamkan kata pujian itu. Nich seperti melihat seorang Gwen yang sangat berbeda dari ingatannya di masa lalu. Tentu jelas berbeda. Gwen yang dulu dia kenal masih sangat lugu dan naif. Meskipun, kala itu Gwen terlahir dari keluarga kaya dan terpandang, tetapi kepribadiannya sangatlah tertutup. Lalu sekarang, Gwen telah menjelma menjadi wanita dewasa yang sangat cantik dan berani. Menjadi seorang penari telanjang diperlukan nyali yang cukup besar, dan muka tebal. Setiap harinya akan ada banyak pasang mata hidung belang yang menatap lapar tubuh telanjangnya, atau mungkin saja berminat untuk mencicipi. Dari atas panggung, Gwen bisa melihat dengan jelas wajah Nich yang tak berkedip. Seraya meliukkan tubuhnya pada tiang yang menjulang, Gwen tetap berkonsentrasi dengan tariannya. Pesona seorang Nich masih sama seperti dulu. Bahkan, bertambah berkali-kali lipat. Memang, uang itu sangat ajaib. Bisa merubah kepribadian seseorang sekaligus. Nich yang sudah tampan dari lahir, semakin memukau dengan balutan jas mahal yang Gwen taksir harganya tidak murah. Mungkin dengan gajinya satu pekan, Gwen tidak akan mampu membelinya. 'Ck, kenapa kau repot-repot memikirkan itu, Gwen? Ayo cepat selesaikan ini, dan kau tidak perlu repot-repot melihat wajahnya lagi.' Batin Gwen di sela tariannya. Selang beberapa menit, musik pun berganti. Gwen lantas berpindah tempat, dia turun dari panggung dengan gaya seperti biasa. Jarak antara panggung dan meja hanya beberapa meter. Hanya lima langkah, Gwen sudah berada tepat di depan muka Nich. Jakun Nich naik turun, tatapannya tak sedetikpun berpindah dari pemandangan panas dan indah tersebut. Wangi perpaduan buah dan bunga langsung tercium di penciuman Nich, saat Gwen melewatinya. Parfum yang sama, pikir Nich. Musik terus mengalun, Gwen memutari meja Nich sambil mengulurkan tangannya. Menyentuh kain yang melapisi pundak lebar Nich, dan menyusuri dengan telunjuknya sampai lengan kokoh sang lelaki. Manik Gwen menatap Nich, seraya membungkuk. Lantas, memindahkan telunjuknya di rahang Nich yang menatapnya tanpa berkedip. Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang tegas Nich terasa menggelitik permukaan kulit telunjuk Gwen yang bermain-main dengan nakal. Nich menarik sudut bibirnya ke samping, merasa bila saat ini Gwen tengah menggodanya. Inginnya dia membalas sentuhan itu, akan tetapi ini belum saatnya. Masih ada waktu untuk menghabiskan malam ini. Karena itu, untuk apa dia tergesa-gesa? Lampu-lampu berkelip, berganti-ganti warna menyesuaikan ritme musik yang mengalun. Gwen menyudahi menggoda Nich, menegakkan badan, kemudian mengangkat tungkai kirinya, menaruhnya tepat di paha Nich yang seketika menurunkan pandangan ke kaki ramping berlapiskan stoking tersebut. Tak mau pasif, Nich berinisiatif mengangkat tangannya, memegang betis Gwen yang sangat cantik, lalu mengelusnya naik turun. Nich bebas melakukannya, bukan? Ini benar-benar menantang adrenalin Nich. Jiwa kelelakiannya seolah tengah diuji. Gwen yang tak menyia-nyiakan kesempatan, lantas membungkuk lagi, hingga Nich bisa dengan puas menatap belahan d**a yang mengintip. Beringsut maju, Gwen menampilkan seringai di depan muka Nich yang sudah memerah. Dia yakin seratus persen, jika lelaki itu pasti sedang berpikiran m***m. Terbukti dari sorot matanya yang sayu saat menatap tungkai Gwen dan mengelusnya. "Apa kabar, Gwen?" tanya Nich serak sembari tangannya tak berhenti mengelus hamparan stoking yang menutupi tungkai Gwen. "Apa kita saling kenal, Tuan?" Jawaban Gwen melunturkan senyum Nich seketika. "Kau tidak ingat, atau pura-pura tidak mengingat?" Sebelah alis Nich terangkat. "Maaf, terlalu banyak pria yang datang, jadi saya tidak bisa mengingat dengan jelas satu persatu pria mana saja. Termasuk Anda." Gwen tetap berkelit, tak ingin membuat Nich besar kepala dengan sama-sama mengingatnya. Bukankah, itu sudah sangat lama? Waktu sepuluh tahun terakhir dia bertemu dengan Nich. "Oh, begitu rupanya? Jadi, perlukah saya memperkenalkan diri saya lagi, Nona?" Nich tersenyum kecut, merasa bila saat ini Gwen tengah mengujinya. Padahal, sudah jelas-jelas kemarin dia sangat syok waktu pertama kali Nich menyebut namanya. "Silakan," ucap Gwen, sembari menarik mundur wajahnya, dan menegakkan punggung. Dia juga menarik tungkainya dari paha Nich, lalu meraih gelas yang ada di meja. Nich memerhatikan Gwen yang sedang menuangkan red wine ke dalam gelas bekasnya tadi. Lalu, menyodorkan gelas tersebut kepada Nich. "Minumlah," pinta Gwen dan segera disambut baik oleh Nich. "Manis." Nich menelan cairan berwarna merah itu, merasakan sensasi yang ditimbulkan tiap detiknya. Kerongkongannya terasa panas, sepanas Gwen yang sedang membuka penutup dadanya. sial!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD