Sama-sama gelisah

1194 Words
Nich terus mondar-mandir di kamar yang disewanya selama beberapa hari ke depan, dengan pikiran yang sangat kacau. Ingatannya terus terpatri pada sosok perempuan yang dia temui di bar milik Daniel. Bahkan, berkali-kali Nich mencoba mengenyahkan kelebat wajah cantik itu dari memori masa lalu yang kembali berputar. Nich menggeram, mengepalkan tangannya, lalu meninju udara seraya mengumpat. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gwen? Kenapa dia bisa menjadi seorang penari? Bukankah keluarganya paling terpandang di London? Tetapi ... Bagaimana bisa?" Benar. Seingat Nich, Gwen terlahir dari keluarga paling terpandang di London. Bahkan, masuk dalam daftar urutan orang terkaya di ibu kota Inggris itu. Lalu, apa yang disaksikan oleh Nich benar-benar di luar dugaan. Seorang Gwen dari keluarga terpandang menari telanjang di sebuah Bar? Bukankah itu hal yang sangat mengejutkan? "Aku harus cari tahu. Kenapa dan bagaimana Gwen bisa menjadi seorang penari. Ya, harus!" Nich lantas menyambar ponselnya yang ada di ranjang, men-deal nomor sang asisten yang sempat terpana dengan sosok Gwen sewaktu di Bar tadi. Dean. "Dean, aku ada tugas untukmu." Nich langsung pada intinya. Dia berjalan menuju jendela besar yang ada di kamar hotel yang disewanya. Melihat indahnya malam kota Birmingham dari ketinggian mencapai 500kaki. "Tugas apa, Tuan?" "Cari tahu tentang kehidupan Gwen saat ini. Aku mau laporan itu segera," ucap Nich, sambil memijat pangkal hidung guna mengurangi pening yang mendadak hadir. Ditambah dengan bayangan Gwen yang telanjang waktu di Bar tadi. Jiwa primitif seorang Nicholas Kennedy seakan-akan kembali bangkit, dan ingin merasakan hangatnya tubuh indah itu lagi. Sial! "Gwen ... Ma-maksud saya Gwen penari di bar tadi, Tuan?" Dean bertanya ragu dengan perintah yang ditugaskan oleh sang majikan. Karena setahunya, Nich paling malas jika berurusan dengan seorang perempuan. Apalagi perempuan ini hanya seorang penari. Nich berdecak sebal, lalu menyahut, "Memangnya ada berapa banyak yang bernama Gwen di bar tadi? Bodoh!" Dean sang asisten terkadang membuat Nich kesal dengan tingkah konyolnya. Namun, tanpa Dean, seorang Nich tidak akan mampu berbuat apapun sebab asistennya itu juga merupakan orang yang cukup cerdas. "Ba-baik, Tuan. Saya akan cari tahu. Tapi Tuan, kenapa Anda tidak bertanya saja pada teman Anda. Bukankah dia bos-nya? Pasti Tuan Daniel tahu seluk beluk Gwen." Ah, kenapa Nich tidak kepikiran sejak tadi. ck! Benar 'kan? Dean memang memiliki otak yang encer dan cerdas. Idenya benar-benar membuka pikiran Nich yang sejak tadi buntu. Entah benar-benar buntu atau memang tidak dapat berpikir jernih karena terus terbayang kemolekan tubuh telanjang Gwen. "Iya, kau benar! Kenapa aku tidak berpikiran ke situ tadi. Baiklah, aku akan hubungi Daniel." "Baik, Tuan. Saya juga akan bantu cari." Nich pun memutus sambungan teleponnya dengan Dean, lalu segera menghubungi Daniel—teman lamanya. Lelaki berambut cokelat itu terus gusar, menggigit bibir bawahnya sambil memainkan ujung sepatu di lantai kamar hotel. "Ayolah, Daniel! Kenapa kau lama sekali!" Tangan kirinya yang bebas mengepal, lalu meninju pelan kusen jendela, tatapannya masih lurus ke depan, memandang hamparan kota Birmingham yang sangat indah. Hingga beberapa saat menunggu, sambungan telepon pun dijawab oleh Daniel. "Halo?" "Halo, Daniel? Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Nich, yang lantas mengernyitkan kening saat tak sengaja mendengar suara desah*n dari ujung sana. Pun dengan Daniel yang napasnya terdengar terengah-engah. "Ah, sial! Pasti Daniel sedang bercinta. Pantas saja dia sangat lama menjawab telepon dariku," gerutu Nich, mengurut pelipis yang makin berdenyut. "Kau mau tanya apa, Nich? Pasti hal yang sangat penting, kalau tidak, kau tidak akan menggangguku di tengah malam begini." Daniel berkata dengan napas terdengar putus-putus dan sesekali mengerang nikmat, membuat telinga Nich sampai sakit. "Ekhm!" Nich berdehem, merasakan tenggorokannya yang mendadak kering akibat suara-suara laknat tersebut. Memancing hormon testosteronnya yang sejak lama terpendam dan jarang disalurkan. " ... Begini, Aku mau tanya soal Gwen. Gwen yang bekerja di bar milikmu," lanjut Nich mulai serius. "Gwen? Kau mau apa? Apa kau tertarik? Kalau iya, aku bisa mengatur pertemuanmu selanjutnya dengannya. Bagaimana?" usul Daniel. Suaranya terdengar semakin tersengal. "Bisa?" Raut Nich berseri-seri seperti bias cahaya bulan yang tembus di kaca jendela. Sudut bibirnya menyeringai, dengan sorot mata yang sulit diartikan. Usulan Daniel jelas disambut dengan penuh semangat oleh Nich. Kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Gwen sudah sangat dinantikan. Ada banyak hal yang ingin Nich tanyakan, terutama soal kehidupan Gwen yang berubah drastis. "Tentu bisa. Asal kau berani membayarnya mahal. Aku jamin, Gwen akan menemanimu sepanjang malam." Kembali ke soal harga yang harus dikeluarkan Nich untuk bisa bertatap muka dengan Gwen. Soal itu Nich tidak akan perhitungan, apalagi jika menyangkut pada sosok di masa lalunya. Berapa pun akan Nich gelontorkan demi Gwen. Daniel lanjut berkata, "Baik. Besok kau bisa kembali ke bar. Pukul delapan. Aku akan mengaturnya untukmu." "Kau memang pengertian, Daniel. Terima kasih sebelumnya. Dan, ya, berapa yang kau inginkan?" tanya Nich, sekadar ingin memberikan imbalan yang setimpal atas bantuan Daniel padanya. "Tidak terlalu besar, Kawan. Beri aku lima juta dolar saja. Sisanya kau bisa berikan secara langsung pada Gwen." Daniel mengerang panjang, nampaknya dia sudah mencapai klim*ks. F*ck! Nich mengumpat. "Oke. Maaf mengganggu. Silakan kau lanjutkan." Nich segera memutus sambungan telepon sepihak. Dia lantas mendengus. "Sama sekali tidak beretika! Ck!" Salahnya, telepon di jam tengah malam, saat orang-orang tengah asyik bergelung dengan selimut atau dengan pasangan. Akan tetapi, ada hal yang membuatnya senang, karena besok dia bisa bertemu kembali dengan Gwen. "Kupastikan besok pertemuan kita yang paling berkesan, Gwen. Bersiaplah." Kilat mata Nich memancarkan sesuatu yang sejak lama tak terlihat di manik kelamnya. Semua itu hanya karena seorang Gwen. *** Sementara di tempat lain yakni di sebuah rumah sederhana, sosok gadis yang membuat seorang Nich gelisah sepanjang malam terlihat sedang merasakan hal yang sama. Matanya memang terpejam, tetapi tidak dengan pikirannya yang tidak bisa tenang. Perempuan berkulit putih itu nampak susah payah untuk terlelap ke alam mimpi. Padahal, tubuhnya lelah luar biasa. "Hfuuh …." Gwen bangkit dari tidurnya, membuang napas kasar lalu menyugar rambutnya ke belakang. "Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?" Sungguh, Gwen ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya malam ini, andai saja dia tidak mengingat jika di rumahnya sedang ada orang sakit. Pertemuannya dengan Nich adalah hal yang tidak pernah diduganya selama ini. Setelah hampir sepuluh tahun lamanya, dia berhasil mengenyahkan nama lelaki itu dari hatinya. Namun, takdir seakan-akan ingin mempermainkannya. Gwen harus apa? Gwen harus bagaimana? "Yang aku tidak habis pikir, kenapa dia masih mengenaliku? Padahal, kami sudah sangat lama tidak bertemu. Dia juga masih ingat namaku. Nicholas, kenapa kau harus kembali hadir? Kenapa?" Telapak tangan Gwen meremas kain sprei erat-erat, sesuatu di dalam dadanya seolah ingin meledak. Gwen memejam, mencoba untuk tetap tenang dan mengenyahkan bayangan wajah Nich. Sorot mata itu, seringai itu, sentuhan itu, bahkan masih terasa sama. Hanya penampilannya saja yang berubah. Gwen ingat sekali, bagaimana Nicholas yang dulu. Lelaki itu jauh dari kemewahan. Seorang pemuda sederhana yang pernah menjanjikannya sesuatu. Seorang pemuda yang hingga detik ini membuat Gwen tidak berani menjalin hubungan dengan siapa pun. Benarkah dia, Nicholas? Dia Nicholas yang dulu? Inginnya Gwen menampik semua yang dia lihat saat di Bar tadi, tetapi kata-kata Nich terus berdengung di telinganya. 'Apa kabar gadis liarku? Kau semakin cantik dan menggoda.' Bulu kuduk Gwen seketika meremang ketika mengingat seringai yang terbit di bibir Nich. Suaranya terdengar berat dan embusan napasnya terasa sangat panas saat menyapu tengkuk Gwen. "Oh, ya ampun ... aku benar-benar bisa gila jika memikirkannya terus menerus," geram Gwen frustrasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD